Part 9

239 22 2
                                    

Matahari mulai menampakkan diri di ufuk timur. Sepoi angin di bulan Oktober dan pergerakan awan menandakan musim penghujan segera tiba. Pagi ini suasana ibu kota terlihat sepi. Long weekend, orang-orang menyebutnya.

Yuri dan Amelia tengah memasak di dapur. Dengan riang keduanya memasak sambil berbincang. Hanya obrolan ringan diselingi canda dan tawa antara ibu dan anak. Suasana hati Yuri kian membaik. Dirinya sudah berdamai dengan Amelia.

"Cerianya, dua bidadariku."

Ucapan seseorang menghentikan kegiatan Yuri dan Amelia. Vero terlihat baru bangun tidur, lelaki itu duduk sambil memperhatikan ibu dan anak itu dari Kitchen Island. Rambutnya terlihat sedikit acak-acakan, tapi tidak mengurangi ketampanannya.

"Loh, Ver. Sudah bangun? Tadinya mau aku bangunkan kalau masakan sudah jadi."

Mendengar ucapan Yuri, Vero mengernyitkan hidung sambil tersenyum.

Melihat sang paman, Amelia langsung berlari minta di pangku. Vero memangku Amelia di pahanya. Amelia memang paling dekat dengannya, sejak bayi Verolah yang selalu menimang Amelia. Seperti menggantikan peran ayah bagi Amelia sejak sang kakak wafat. Lelaki itu langsung menyuapi Amelia dengan potongan semangka yang sudah disajikan Yuri di meja makan.

Yuri memindahkan capcay yang dia masak ke dalam sebuah piring saji besar. Tangan Vero hendak mengambil makanan yang tengah di bawa Yuri. Tapi perempuan bertubuh mungil itu langsung menepisnya.

"Hey, cuci tangan dulu. Terus cuci muka," cegah Yuri.

Dimarahi begitu Vero malah tertawa.

"Sudah tadi. Sudah sikat gigi juga, Mama cantik."

Jujur saja, kata-kata Vero terkadang membuatnya kaget. Dan Yuri merasa Vero belakangan semakin sering merayu. Entah itu memanggilnya dengan panggilan - panggilan manis atau perhatian - perhatian kecil lain.

"Hari ini mau nggak kalau kita jalan-jalan?" tanya Vero.

Amelia tampak begitu sumringah mendengar ajakan sang paman. Gadis itu berteriak senang, "Yaaaaay, mau Om. Amelia ingin lihat dinosaurus di Taman Mini."

Vero menatap gadis kecil, mata lelaki itu membulat.

"Dino?"

"Iya, Om. Amelia lihat di Yutob. Katanya lagi tren. Teman-teman aku sudah pada kesana. Aku juga mau, tapi Mama kan masih sakit." Gadis kecil itu tertunduk lesu.

Vero melihat ke arah Yuri. Pria itu mendekatkan bangku duduknya saat Yuri tengah makan. Lelaki berkulit honey itu menyibak anak rambut perempuan di sebelah
nya. Memeriksa apakah luka lebam itu masih terlihat atau tidak.

Karena wajah mereka terlalu dekat Yuri jadi tidak nyaman. Perempuan berusia 25 tahun itu menghentikan kegiatannya dan mematung. Dia tidak jadi menyuapkan nasi.

Sementara Vero seperti tidak peduli, lelaki itu terus saja mengusap beberapa titik di wajah Yuri. Memeriksa sisa-sisa lebam yang nyaris tidak terlihat.

"Yang ini masih sakit nggak?" tanya Vero.

Yuri bahkan bisa merasakan hangatnya hembusan nafas Vero di kulit pipinya.

***

"Yang ini masih sakit nggak?" tanya Vero. 

Yuri bahkan bisa merasakan hangat hembusan nafas Vero di kulit pipinya. Suara bariton Vero terdengar sangat jelas, membuat jantungnya berdegup kencang tak terkendali. Rasanya ada sembilan kupu-kupu tebang di perutnya. . 

"Ver. Besok aku mau kembali ke apartemenku," ucap Yuri. 

Mata Vero membulat, lelaki itu terdiam. 

"Kita bicarakan itu nanti ya," bujuk Vero. 

Perhatian lelaki itu kembali pada Amelia yang kesulitan memotong daging. Vero tersenyum melihat tingkah lucu keponakannya, lelaki itu membantu Amelia lalu menyuapinya dengan telaten.

Yuri bersikap seperti itu bukan tanpa alasan. Dia tidak ingin ada orang salah paham dengan kedekatan mereka. Baru saja masalah dengan Ameri selesai, dia tidak ingin menimbulkan masalah baru. Mungkin bagi Vero, Yuri adalah sahabat sekaligus kakak ipar, makannya tidak ada rasa canggung di hatinya. Tapi akan berbeda jika kerabat lain melihat, apalagi dengan status janda muda Yuri yang seringkali dipandang negatif orang. Perempuan itu tidak mau orang salah sangka lagi padanya. 

"Kamu tetap mau pindah ke rumah lamamu?" 

Lelaki itu bertanya sambil mencuci piring, sementara Yuri tengah membereskan dan merapikan piring di meja makan. 

"Iya, kupikir aku sudah kelamaan di sini Ver," jawabnya. 

"Nggak masalah kok." 

Yuri sedikit tercengang saat Vero mengatakan itu, sepertinya pemikiran mereka tidak sejalan. Lelaki itu mengatakannya dengan wajah datar. 

"Buat aku nggak masalah kalau kamu sama Amelia mau tinggal di sini." 

Yuri hanya bisa melihat punggung Vero dari belakang. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya, gelisah. Dia sudah menduga kalau lelaki itu akan mencegahnya pergi. Yuri tidak tahu lagi bagaimana cara agar Vero memahaminya. Dia juga tidak mungkin bicara tentang kegundahannya, tentang omongan orang lain jika mereka tinggal satu atap. 

"Ver. Nggak bisa begitu, apa kata orang nanti kalau aku terus tinggal di sini. Jangan ngelucu, deh." Yuri memberanikan diri mengutarakan pikirannya. 

Vero segera mengelap tangannya dengan kain lap kering yang menggantung di atas kitchen set. Setelah selesai lelaki itu membalikkan badan, berjalan ke arah Yuri lalu menarik kursi untuk duduk. Tidak lupa dia menarik tangan Yuri untuk ikut duduk di sampingnya. 

"Dengar, entah apa yang kamu pikirkan. Tapi Amelia itu keponakan kandung aku, loh Ri. Aku hanya melindungi kalian sebagai seorang paman. That’s it." 

Yuri sadar, Vero memiliki hubungan darah dengan putrinya. Vero dan keluarganya jauh lebih berhak atas pengasuhan Amelia ketimbang dirinya. 

"Ve- Ver, apa keluarga kalian akan mengambil Amelia dariku?" tanya Yuri. 

Raut cemas jelas terlihat di wajah ayunya, dia tidak ingin kehilangan putri semata wayangnya. Meskipun Amelia bukan putri kandung, tapi Yuri rela berkorban apapun demi anak itu. 

Vero tidak ingin mengatakannya. Kedua orangtuanya sejak awal tahu mengenai Amelia. Karena itu, mereka tidak begitu mengakui gadis kecil yang dianggap sebagai aib keluarga. Meskipun kedua orangtua Arjuna baik terhadap Yuri, mereka sebenarnya tidak menerima kehadiran Amelia. 

Kedua orangtua Vero memutuskan untuk pergi ke Belanda agar tidak perlu bertemu dengan Amelia, cucu pertama mereka. Mereka begitu malu kepada Yuri dan kecewa pada anak mereka Arjuna. 

"Kamu nggak perlu khawatir soal itu, Ri. Kamu tahu alasannya kan?" 

Yuri paham betul arti ucapan Vero. Perempuan itu memandang Amelia yang sedang menonton kartun pororo di televisi tengah rumah. Gadis kecil itu masih sangat polos, dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. 

Walaupun Yuri bukan ibu kandungnya, perempuan itu sangat menyayangi anak itu. Yuri tidak mampu membayangkan, anak sekecil itu harus memikul beban yang besar. Bagaimana jika suatu saat dia tahu siapa dirinya? Bagaimana jika Amelia merasa tak diinginkan keluarga kandungnya? Itulah alasan kuat Yuri mau mengasuh bayi kecil yang dibawa Arjuna di gendongannya malam itu. 

Saat Arjuna membawanya ke rumah mereka, sebenarnya hati Yuri sangat sakit. Apalagi melihat wajah bayi Amelia yang sangat mirip dengan kedua orangtuanya. Tapi dia sudah berdamai dengan keadaan. Yuri yakin, Tuhan memberinya ujian bukan tanpa tujuan. 

Riak gelisah itu terlihat, saat pikiran Yuri mengawang membuat keningnya berkerut. Vero yang mengerti, memegang tangan lembut Yuri. 

"Don't think too much. Apapun yang terjadi, aku akan selalu melindungi kalian," janji Vero. 





Turun Ranjang (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang