Part 1

451 25 1
                                    

Forgiveness is the final form of love
Anonim -

"Masih bisa ya kamu, manfaatin harta Abangku. Dasar, perempuan nggak tahu malu!" Suara Ameri begitu memekakkan telinga. Gadis berusia dua puluh empat tahun itu berkacak pinggang seraya menghardik kakak iparnya, Yuri.

Pagi yang kelam, tapi Yuri seperti terbiasa dengan hal itu. Sudah lima tahun sejak wafatnya sang suami, Arjuna Elderenbosch. Yuri, janda beranak satu itu kerap kali mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari adik iparnya Ameri. Tak banyak yang bisa dia lakukan saat ini. Yuri menepuk - nepuk pundak Amelia sang putri, menenangkan malaikat kecilnya yang tengah menangis. Gadis kecil itu kerap kali menjadi sasaran amarah Ameri.

Yuri tidak paham dengan Ameri, gadis itu seperti memiliki dendam kesumat kepadanya. Demi menghindari pertengkaran, Yuri bahkan sudah berkali-kali pindah apartemen. Akan tetapi Adik iparnya itu selalu punya cara untuk menemukan dimana dirinya berada.

Pagi ini, sepertinya suasana hati Ameri sangat buruk. Gadis itu tiba-tiba saja datang menggedor pintu rumah Yuri sambil mencaci maki. Karena takut didengar tetangga dan menyebabkan keributan, perempuan bertubuh mungil itu terpaksa membuka pintunya.

"Dasar, tidak tahu malu. Kakak aku meninggal, semua pasti gara-gara kamu," tuduh Ameri seperti kehilangan kendali. Tiba-tiba saja gadis itu berjalan ke arah Yuri, menarik lengan kakak iparnya dengan kasar.

"Bisa-bisanya kamu malah milih merawat anak itu. Memaksakan sebuah beban besar masuk ke keluarga ini. Kamu pikir kenapa Abangku sampai bunuh diri, hah?" Gadis itu berjalan semakin dekat ke arah Yuri. Kilatan amarah dari sorot matanya begitu jelas. Seolah dia ingin menghabisi nyawa kedua manusia yang berada di depannya.

Yuri melepaskan Amelia dari pangkuannya. Gadis kecil yang masih menangis sesegukan itu segera berlari menjauh.

“Kamu lebih milih anak haram itu.” Tanpa merasa bersalah, Ameri menunjuk ke arah keponakannya.

Rasanya ulu hati Yuri sakit. Meski sering mendapatkan sindirian, baru kali ini Ameri tega mengucap kata-kata jahat di depan anaknya secara langsung.

“Cukup, Ami!” ucapan itu keluar dari mulut Yuri. Tidak masalah jika dirinya dihina, tapi Yuri tidak akan pernah membiarkan siapapun menghina putrinya.

Tapi gertakan Yuri tampaknya malah membuat kobaran emosi Ameri memuncak, gadis itu tersenyum sinis menatap tajam kakak iparnya. “Oh, jadi kamu sudah berani sama aku?”

“Oh, jadi kamu sudah berani sama aku?” 

Ameri memicingkan mata, dia berjalan mendekat ke arah Yuri. Ketukan heels sepatu pada lantai marmer putih itu terdengar menggema. Manik matanya berkilat, ada sejuta amarah yang memuncak hingga ingin meledak saat itu juga. Tanpa ragu, gadis itu menarik kerah piyama putih yang dipakai Yuri dengan kasar. 

“Kau,”

“Perempuan kotor, berani sekali kamu melawanku?”

Perempuan kotor. 

Demi Tuhan, sebutan perempuan kotor itu sangat menyakitkan. Rasanya tenggorokan Yuri seperti tercekat, ulu hatinya sakit dan perih seperti disayat. 

“Dengan bangganya kau membawa anak hasil perbuatan kotormu kerumah Abangku. Dasar pembunuh!” tuding Ameri.

Cukup!

Yuri tidak tahan dengan tuduhan gadis itu. Amerie boleh menghinanya, tapi dia tidak akan pernah membiarkan siappaun menghina putrinya. 

Bolehkah dirinya melawan

Perempuan bertubuh mungil itu menarik lengan saudara iparnya, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Ameri. 

Nalar Amerie seperti terkikis saat melihat perlawanan perempuan yang seharusnya dipanggil kakak ipar itu. Tarikan itu kini berubah menjadi sebuah cekikan.

"Ughh!" 

Tenggorokan Yuri tercekat begitu kuat, demi anaknya dia mencoba melawan sekuat tenaga. Jika dirinya berakhir, siapa yang akan menjaga putrinya?

Amelia, hanya itu yang Arjuna tinggalkan untuknya. 

Di sisi lain, seorang gadis kecil yang sedari tadi melihat adegan tidak pantas itu berusaha menahan tangis. Melihat ibunya terbatuk akibat cekikan sang tante, Amelia berteriak sambil menangis keras. 

"Mama!!" 

Anak kecil itu mencoba menarik tangan sang tante dari leher ibunya. Tapi tenaga Amelia tidak sepadan dibandingkan dengan tenaga perempuan dewasa itu. 

“Tante, jangan sakiti Mama!” Gadis kecil itu memukuli pinggang Amerie. Berharap tenaga kecilnya bisa menyelamatkan sang ibu dari perbuatan jahat tantenya.  

Saat ini Amerie tidak lebih dari seekor monster. 

Gadis kecil yang polos itu tidak pernah tahu mengapa sang tante sangat membenci dirinya. 

Amerie tidak segan berkata kasar atau mencemoohnya, baik itu dirumah atau bahkan di acara keluarga besar. Tapi Yuri tidak pernah sekalipun membalas perbuatan adik iparnya itu. Bahkan Yuri selalu mengajari putrinya untuk memaafkan dan mendoakan Amerie agar berubah sikap. 

"Siapa yang kau panggil Tante, anak sialan?" hardik gadis bertubuh tinggi itu sambil mendorong tubuh kecil Amelia hingga tersungkur. 

Gadis itu tersenyum puas saat keponakannya meringis kesakitan, dia melepas cengkeramannya dari leher Yuri. 

Ameri mendaratkan pandangannya pada gadis kecil yang tengah menangis karena lututnya berdarah. Dia berjalan ke arah anak kecil itu dengan tatapan pembunuh. 

Yuri yang melihatnya tentu saja panik setengah mati. Perempuan itu langsung yang menarik tangan Amerie agar menjauh dari putri kecilnya. Kali ini sikap dan tindakan Amerie sangat keterlaluan. 

“Jangan sentuh anakku, Amerie!” Yuri memperingatkan. Ibu muda itu menghalau Ameri agar tidak mendekati putrinya.

Teriakan sang ibu membuat Amelia waspada. Sambil menangis dan menahan tubuh Amerie, Yuri mengibaskan tangan meminta sang putri untuk lari ke kamar. 

Saat melihat isyarat dari sang ibu, gadis itu langsung berlari. Amelia sangat ketakutan bahkan dia berlari tanpa mempedulikan lututnya yang berdarah. Dia mengunci kamarnya lalu berjongkok sambil menutup kedua telinga. Gadis kecil itu berdoa kepada Tuhan agar pertolongan segera datang. 

Amerie tidak mengindahkan ucapan kakak iparnya, gadis itu kalap. Meski berkali-kali dihalangi, Amerie tetap bisa mendorong tubuh Yuri yang lebih kecil daripadanya. 

Berkali-kali pula Yuri terhempas dan jatuh tersungkur. 

Sambil mengumpat dan berteriak Ameri menggebrak-gebrak pintu kamar keponakannya. Berteriak-teriak seperti kesetanan menyuruh anak kecil itu keluar. Bentakan dan kata kasar bergema seiring bunyi tendangan di pintu kamar. 

Amelia yang malang menutup telinganya dengan kedua tangan, dari suara gaduh di luar kamarnya dia tahu apa yang tengah terjadi pada sang ibu. Suara tamparan dan jeritan membuatnya takut. Sambil menangis, Amelia membuka ponsel milik ibunya yang kebetulan ada di atas nakas. Gadis kecil itu menghubungi seseorang. 

Beberapa kali terdengar bunyi sambungan telepon, hingga suara seorang pria terdengar dari seberang sana.

“Ha...halo, Om Vero….” ucapnya sambil menangis


Turun Ranjang (completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang