Selamat membaca. Tolong, jangan jadi reader silent, ya!
•
•
•"Nggak bisa, gue nggak mau!"
"Terus, lo maunya gimana?" tanya Ghazi menikmati es teh yang dia pesan.
"Biar gue aja, lo semua tinggal terima beres," timpal Cakra.
"Nggak! Apaan, lo pikir, gue kere?" Jeno menyungut tidak terima.
"Lo jangan bikin orang tua kesusahan. Mbak Tut udah nungguin, Jen." Revan menengahi percakapan mereka. Dia merapikan mangkok menumpuknya menjadi satu.
Keadaan ramai di mana-mana, kantin penuh hanya dalam 3 menit setelah bel istirahat dibunyikan. Dari paling depan, tengah, dan pojok sudut ruangan tidak ada meja yang kosong, sebagian dari banyaknya orang yang di sana, anggota Calveraz lah yang memenuhinya. Suara mereka mendominasi ruang dalam keramaian.
Kebiasaan buruk ketika hendak membayar makanan harus berdebat siapa yang akan membayar. Mereka tak mau menyusahkan apalagi menumpang makan. Prinsip mereka itu luar biasa, tidak pernah mempermasalahkan berapa uang yang keluar, asalkan kenyang maka semua senang.
"Pakai duit gue aja." Ghazi menyerahkan uang seratus ribu tiga lembar. "Jangan lupa meja anak-anak juga."
Jeno menolak dengan keras, mengembalikan uang itu ke dalam saku Ghazi. "Ada ATM gue, giliran gue sekarang yang bayar, uang lo buat Queen aja."
"Mbak Tut masih harus ngegesek ke mesin EDC. Ada yang mudah kenapa cari yang ribet sih lo?"
Ghazi segera berdiri melambaikan tangan. "Mbak Tut, udah," katanya sedikit keras.
"Oh, iya, Mas Ghazi," sahut Mbak Tut dari seberang sana, ibu kantin itu berjalan ke meja Calveraz sembari membawa nampan kosong.
"Totalnya berapa, Mbak?" tanya Gibran "Semua saya yang bayar."
"Kok lo sih, Gib." Jeno menahan tangan Mbak Tut yang hendak menerima uang dari Gibran. "Udah, Mbak. Makanan ini
dibayar pakai ATM saya, jangan ladenin mereka," sergahnya.Di tempat duduk, Revan membuang nafas kasar. Perdebatan semakin sengit karena tidak ada yang mengalah. Inilah alasannya tidak ikut angkat bicara, masalah akan semakin bertambah panjang. Melihat wajah bingung dari Ibu kantin sungguh membuatnya kasihan, menganggap teman-temannya mempermainkan orang tua. Apa lagi, Cakra, Ghazi, dan Jeno menyerahkan uang dan ATM ke tangan Mbak Tut secara bersamaan.
"Pakai punya saya saja, Mbak."
"Nggak bisa! Gue duluan," sanggah Jeno. "Mbak, totalin berapa jumlahnya, terus ini ATM saya dibawa aja."
"Aduh, ini jadinya gimana, Mas? Pakai kartu ATM atau uang cash? Saya bingung." Mereka benar-benar berdosa, Mbak Tut sampai kebingungan. Namun, hal seperti ini bukanlah yang pertama melainkan setiap hari.
"Saya, Mbak." Secara kompak ketiganya menjawab.
"Totalnya cuma 65 ribu, Mas. Ini kebanyakan."
"Sama meja yang lain sekalian, Mbak. Berapa?"
Ghazi menunjuk lima meja yang ditempati anggota Calveraz, mereka lantas bersorak senang lantaran tak perlu mengeluarkan uang. Banyak menu yang mereka pesan dan berbeda-beda, Mbak Tut tanpa pikir panjang menghitung semuanya, termasuk pesanan Alvarez yang dibungkus.
"Totalnya 200 ribu, Mas," kata Mbak Tut.
"Ini, kembaliannya ambil aja, Mbak."
"Wah, Mas Ghazi. Terimakasih banyak, ya, Mas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Calveraz
Teen FictionFOLLOW SEBELUM MEMBACA!!! Cerita ini mengandung kata-kata kasar, Action, dll. Bijak dalam membaca❗ TERBIT‼️ "Jangan buat gue hilang kontrol, Aileen!" "Maaf." "Jangan pernah main-main sama dunia gue!!" **** Tentang perempuan sedang berusaha menda...