7. Semangat, Penolakan & Bangkit

30.8K 2.6K 96
                                    

"Mencintai laki-laki berandal itu seru, tapi juga banyak air matanya."


Selamat membaca. Jangan jadi reader silent, oke!.

Langit jingga datang menyambut petang. Aroma tanah sedikit basah menguar dalam indra penciuman, wewangian bunga-bunga yang baru saja ditabur di gundukan menimbulkan kesedihan. Dua makam berdampingan terlihat indah setelah dibersihkan, sudah lama Aileen tidak berkunjung, tidak menyapa kedua orang tuanya setelah pindah ke Jakarta. Hari ini, pemakaman tampak sepi tidak ada seorangpun berziarah, angin menerbangkan rambut, rumput dan dedauanan di sekitar sana.

Nafasnya mulai tersengal, air mata luruh membasahi pipi dan menetes di atas tanah pemakaman. Sebenarnya, bukan karena tidak ada waktu atau lupa terhadap kewajibannya sebagai anak, melainkan karena tidak sanggup harus mengingat duka terdalam 5 tahun silam atas meninggalkan orang tuanya.

Aileen mengusap batu nisan, tersenyum tipis lalu berkata, "Assalamualaikum, Ma, Pa."

"Maaf, Aileen datang terlambat. Mama sama Papa, apa kabar di sana? Surga pasti indah banget, ya? Sampai-sampai kalian nggak pernah datang ke mimpi Aileen."

"Aileen kangen, kangen setiap momen yang selalu kita habiskan sama-sama. Udah 5 tahun tapi kejadian itu masih berputar diingatan Aileen, sulit sekali harus dipaksa lupa sama apa yang nggak bisa Aileen lupain."

"Dunia terlalu keras, semua orang jahat dan nggak ada yang sebaik Mama dan Papa. Aileen harus hidup sendirian di sini tanpa kasih sayang kalian berdua."

"Di sekolah, teman-teman Aileen punya orang tua, kalau ada pertemuan wali murid, pengambilan raport, atau acara yang lain, pasti mereka selalu datang."

"Aileen juga pengen, Ma. Aileen mau merasakan bagaimana Mama dan Papa bangga sama Aileen. Jangankan nilai, semua bidang pun pasti Aileen perjuangkan."

"Tapi, semua itu cuma angan-angan karena sampai kapanpun, hal itu nggak akan pernah terjadi. Semua hanya mimpi." Ia mencengkram gundukan tanah, terisak pilu menahan sesak dalam dada.

Bahwasanya dari sekian rasa sakit kehilangan, paling berat mengetahui di bawah tanah bertabur bunga bukan jasad kedua orang tuanya melainkan barang-barang peninggalan mereka. Aileen mau mengenang, mau singgah sebentar bila rindu, jikalau kala itu tidak ada pemakaman maka sampai saat ini tak mungkin punya semangat.

Di samping Aileen ada Dara. Mereka datang sama-sama dari Jakarta, hari libur digunakan untuk mengunjungi orang-orang tersayang yang telah lama pergi meninggalkan. Tidak sopan sekali, tidak ada kata perpisahan di hari terakhir kali.

Dara meletakkan buket bunga yang dia bawa, melirik Aileen lalu berkata, " Om, Tante, ini aku Dara. Aku dan Aileen ada di satu sekolah yang sama, dia tumbuh dengan baik, makan dan tidur dengan nyaman."

"Sesuai janji aku, menjaga Aileen dari orang-orang jahat yang mau menjatuhkan dia. " Dara mengusap punggung Aileen pelan. Berniat menenangkan. 

"Hidup sendiri memang tidak mudah, tapi Om, Tante, percayalah, Aileen sekarang jauh lebih dewasa, lebih bisa menata diri, poin tambahannya, parasnya cantik dan punya jiwa pemberani."

"Pokoknya, Om dan Tante nggak perlu kuatir soal kehidupan Aileen. Dia kuat, banyak yang sayang sama dia, aku salah satunya."

Dara mengangguk sejenak, berbicara dengan sahabatnya melalui bahasa mata. Kalau bukan dirinya yang menguatkan Aileen, lalu siapa? Tidak apa-apa sedikit bohong soal kondisi Aileen yang baik-baik saja, intinya tidak masalah bila harus hidup sendirian di Jakarta. Lagi pula, sudah 2 tahun menetap dan menjadi murid SMA Mandala.

Calveraz Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang