30. Garis Tengah Hubungan Kita

32.1K 3.2K 1.3K
                                    

"Banyak yang menuntutku untuk selalu bisa melakukan semuanya, tapi tidak ada satu pun yang pernah bertanya apakah aku baik-baik saja"

🦋

Selamat Membaca. Tolong, Jangan Jadi Reader Silent, Ya!

Part ini agak panjang :)

♡♡♡

"BANTU SIRAM WOIII ..." Teriakan Jeno membahana, mengintrupsi teman-temannya untuk segera mengambil tindakan.

"PEMADAM MANA, ANJING!! KENAPA LAMA BANGET!!" Cakra melempar ember yang ia jadikan sebagai alat mengambil air. "PAKAI SELANG TETANGGA DULU!"

"Sialan, sandal gue putus!" decak Cakra, kesal.

"Woi, Cak. Apinya makin besar, lo jangan deket-deket pagar! Kebakar hidup-hidup tau rasa lo!" sembur Jeno sibuk membawa dua ember.

"Lo udah telpon pemadam belum sih? Jangan sampai gue sendiri yang supirin biar cepet sampai sini!"

"Sabar, bangsat! Daripada lo banyak omong mending bantuin yang lain ambil air di rumah tetangga," sahut Jeno menunjuk ke rumah sebelah, ada anggota Calveraz sedang bergantian mengambil air di sana.

Mereka sepakat bekerjasama, menunggu pemadam kebakaran akan semakin membuat satu komplek perumahan terbakar habis. Dari Senopati ke Kemang tidak membutuhkan waktu lama tetapi tidak ada kemunculan atau tanda-tanda pemadam telah tiba, seolah kejadian ini sudah direncanakan oleh seseorang dan memang sengaja ingin membuat rumah Yura rata dengan tanah.

Tidak sedikit anggota Calveraz turun tangan usai Alvarez memberi perintah secara tegas, apa yang dikatakan, diucapkan, siapa pun tidak berani menolaknya. Di depan rumah berjarak 50 meter, Yura bersimbuh lemah, menangisi rumah satu-satunya yang dilahap oleh kobaran api.

"Rumah gue ... Hiks ... Hiks ..."

"Gue mau tinggal di mana setelah ini, Gib," lirih Yura bersuara parau.

"Sebelum gue pergi semua keadaan baik-baik aja, rumah gue masih berdiri tegak, setelah gue balik, gue dikejutkan dengan api dari samping rumah, terus apinya membesar dan menyambar semua is rumah," jelasnya terisak.

Gibran memberikan jaketnya pada Yura. "Semua hanya titipan, apa yang kita punya sekarang nggak akan bertahan lama."

"Tenang aja, gue sama Alvarez akan cari tahu siapa pelakunya," tambah Gibran. Sebagai seorang laki-laki sejati, tentu tolong menolong tidak lepas dari prinsip hidupnya.

"Ini musibah, dan semua yang terjadi hari ini adalah takdir, lo harus bisa menerima, Tuhan nggak mungkin menguji umatnya melebihi batas  kemampuannya."

"Ta-tapi gue ha-harus gimana sekarang, ini rumah peninggalan bokap gue,"

"Alvarez nggak akan diem aja sama orang yang udah berbuat seperti ini sama lo! Lo tenang aja," sahut Ghazi. Terlepas ketidakpercayaannya pada identitas Yura, ia tetap peduli karena musibah tidak pernah memberitahu kapan datangnya.

"Makasih, ya, kalian baik banget," ucap perempuan itu memeluk pinggang Gibran dan Ghazi. Posisinya berada di tengah-tengah tetapi dua laki-laki itu tidak berekspresi apa-apa selain datar.

"Woi, Gib, Zi. Bantuin, anjing! Lo malah cari kesempatan dalam kesempitan!" raung Cakra menuding dua sahabatnya.

"Gue udah ngos-ngosan bolak-balik ambil air sama yang lain, lo berdua enak-enak berdiri nggak ngelakuin apa-apa!"

Calveraz Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang