28. Filosofi Dusta & Waktu

31K 3.3K 1.1K
                                    

"Manusia itu kehilangan dulu baru menyesal"



Selamat Membaca. Tolong, Jangan Jadi Reader Silent, Ya!

♡♡♡

"Minum obat dulu, Aileen. Jangan buat gue kuatir, gue panik liat lo begini." Ini bukan pertama kalinya Dara melihat Aileen sesak nafas sampai mimisan, tapi tetap saja ia merasa cemas.

"Gue nggak apa-apa, Dar," kata Aileen seraya membersihkan lubang hidungnya dengan tissu.

"Lo sakit, lo keluar darah dan bisa-bisanya lo bilang nggak apa-apa?"

"Kesehatan itu mahal, kita harus mencegah sebelum mengobati," omel Dara, ini demi kebaikan sahabatnya.

"Iya, gue paham."

Aileen menerima dua butir obat dan Inhailer, perlahan nafasnya mulai teratur. "Thanks, Dar."

"Setelah ini kita ke rumah sakit, gue udah bilang ke Ajudan lo."

"Nggak usah," tolak Aileen. "Ini bukan masalah serius, gue cukup istirahat setelah itu baikkan. Kondisi gue bukan di tahap yang butuh penanganan serius. Jadi, lo nggak perlu berlebihan."

Bukan masalah serius, tiga kata untuk menutupi luka. Bagi Aileen, mendapat perhatian tidak semenyenangkan dulu, ia hanya mau memperlihatkan bagaimana kondisinya di depan layar tanpa ingin menampilkan kesedihannya ketika sendirian.

Situasi yang cukup terbilang membosankan karena hidup harus berpusat pada obat-obatan dan masalah, dua hal yang sering kali bertengkar memperebutkan siapa yang menang, seolah ingin Aileen fokus pada satu tujuan, kesembuhan atau keadilan.

Di samping brankar UKS, perempuan itu mengatur nafas sembari mendengarkan omelan Dara, dimulai dari huruf A sampai Z, semua disebutkan demi kebaikan Aileen sendiri.

"Gue takut lo koma lagi di rumah sakit, Ai. Asma lo yang bikin gue nggak bisa tenang, kapan pun gue bisa kehilangan lo kalau Tuhan udah berkehendak."

"Gue begini karena nggak mau ada yang hilang lagi, cukup tiga sahabat kita, lo jangan," tegas Dara, matanya memanas merah.

"Lo percaya sama gue, kan?"

Aileen menarik nafas bersamaan menekan tutup Inhailer melepaskan obat. "Gue nggak akan ke mana-mana, kalaupun gue pergi, gue pasti tulis wasiat dulu banyak-banyak."

"Gue nggak mau sahabat gue sengsara kalau gue tinggal," lanjutnya kemudian terkekeh kecil.

"Udah, gue udah mendingan, mana seragam baru gue?"

Satu set seragam baru tak kunjung diberikan, Dara ingin menangis di pelukan Aileen tetapi keinginannya ditolak secara terang-terangan. Semakin bersedih-sedih maka akan terlihat tidak berguna, lebih baik mengangkat kepala dan orang lain tidak menginjak semena-mena.

"Dar?" panggil Aileen, dia menatap geli ke arah Dara yang menampilkan bibir mengerucut.

"Iya-iya ..." Seraya menyerahkan satu set seragam ke tangan Aileen.

Calveraz Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang