19. Kapalku Berlayar Di Lautan Yang Salah

28.7K 2.4K 266
                                    

"Aku terlalu menutup jati diriku hingga aku lupa bahaya kapan saja bisa mengincarku"

Selamat membaca. Tolong, jangan jadi reader silent, ya!

 Tolong, jangan jadi reader silent, ya!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Udah, Rez. Udah!"

"Udah cukup!" Revan mengapit tubuh Alvarez dari belakang, ia menghentikan kegilaan sahabatnya.

Bughk

"Lo bisa tenang nggak? ini di rumah sakit!" sentak Cakra melindungi Gibran, Alvarez hilang kendali melayangkan pukulan bertubi-tubi, bukannya melawan justru Gibran memilih diam.

"Dia sentuh cewek gue! Dia bunuh Aileen!" berang Alvarez menatap nyalang, tak peduli dengan keadaan Gibran yang terkulai lemas di bawah kakinya. 

Cakra memutar kepala Alvarez, mereka bertatapan marah. "Aileen masih bisa di selamatin, dia baik-baik aja." 

"Apa jaminan dia bisa selamat?" amuknya. "Apa, hah?"

"Banyak jaminannya, Rez. Peluru itu nggak menembus organ vital Aileen, dia juga udah ditanganin sama Dokter. Jadi, lo cuma perlu berdoa supaya apa yang lo pikirin nggak terjadi!"

Alvarez berseringai. "Itu jaminan yang lo maksud? Bilang sekali lagi ke gue!"

"BILANG!"

Lorong rumah sakit menjadi pelampiasan laki-laki itu mengamuk, selain karena cemas, Alvarez juga marah. Bagaimana paniknya wajah itu mondar-mandir di depan ruang perawatan, menunggu Dokter keluar menambah pacu jantung Alvarez tak karuan. Ia mencoba tenang tetapi tidak bisa, melihat noda darah di bajunya semakin mengingatkannya pada senyuman terakhir yang diberikan Aileen sebelum menutup mata.

"Gib." Ghazi membantu Gibran. 

"Akhh ... Uhuk ... Uhuk ..." Nafasnya tersengal-sengal, ia terbantuk mengeluarkan darah kental. Ia bahkan baru keluar dari rumah sakit setelah mendapat luka tembak dari anggota Blackcrow, Alvarez melupakan hal itu.

"Lo duduk di sini bentar, jangan ngusik Alvarez dulu, dia lagi nggak bisa nahan emosi," kata Ghazi khawatir.

"Biar yang lain turun tangan buat tenangin dia, luka lo belum sembuh total, pikirin diri sendiri."

Gibran merintih sembari duduk di kursi, erangan rendah keluar menahan perih dan ngilu. "Ini salah gue."

Mendengarnya, Alvarez nyaris menendang kursi dan tempat sampah di sekitar sana. Ia mencoba mengontrol diri, mengatur nafas, dan bersikap tenang. Ia sudah tak lagi memikirkan siapa yang salah, otaknya penuh dengan kondisi Aileen bertaruh nyawa di dalam sana.

Egois memang, konyol pun iya. Melawan sikap Alvarez yang pasang surut memang tidak mudah, terkadang apa perintahnya sekarang bisa berubah setelah mendapat pemikiran baru. Di sini, laki-laki itu sedang berperang dengan hati dan perasaannya, supaya tidak melibatkan apa-apa ketika menjalin hubungan dengan Aileen.

Calveraz Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang