🦋 Halohai! 🦋
Ternyata udah sepuluh hari lebih aku absen dari dunia oren, hehe, maaf, ya semuaaa~ 😬
Kemarin itu diluar dugaan banget, selesai UTS kirain beban berkurang ternyata malah bertambah. Hectic juga sama beberapa urusan jadi aku ngga bisa fokus sama Amerta.
Tapi, sekarang aku udah update lagi, yay! Maaf, ya, kemarin ngga maksud buat aku gantung, kok, beneran, wkwk. ✌
Selamat membaca, selamat menikmati, semoga bisa dinikmati.
Amerta; abadi.
—
"S-s-sakit. A-a-ku ng-ngga k-k-ku-at."
Perkataannya sangat lirih dan terbata-bata namun masih bisa dengan jelas sampai ke kedua indera pendengaran Bian.
Bian pun semakin erat menggenggam kedua tangan perempuan yang tengah mempertaruhkan hidup dan matinya itu. Seolah menyalurkan energi agar dia lebih kuat dan bisa bertahan lebih lama lagi. Bian benar-benar tidak mau jika dihadapkan dengan kejadian lima tahun lalu–dirinya menjadi seorang ayah sekaligus ibu untuk malaikat kecilnya.
Dengan perlahan, Bian menautkan kening ke kening Nara.
"Berjuang sedikit lagi, sebentar lagi, saya tahu kamu perempuan kuat," kata Bian disela-sela tangisnya.
Air matanya tak sederas Nara, hanya menetes sesekali, namun sungguh, hati Bian merasa sesak ketika Nara juga berbicara bahwa dirinya itu tidak kuat.
"Ibu, satu kali dorongan lagi. Tarik napas panjang, hembuskan, lalu dorong lagi, Bu," pinta Dokter Vania yang sudah melihat setengah badan putra dari Bian dan Nara itu.
"Ayo, kamu bisa. Demi anak kita, Ra. Kuat, kamu kuat," kata Bian selalu menyemangati. Bian sudah menyemangati menggunakan kalimat apapun. Bahkan jika bisa dilihat, mulutnya sudah hampir berbusa untuk terus menguatkan istrinya itu.
Di sela-sela rasa tidak kuatnya, Nara mencoba menarik napas panjang walaupun sesekali tersendat. Setelahnya dia berteriak seolah mengeluarkan segala tenaga untuk yang terakhir kalinya.
Oek, oek, oek...
Suara itu pada akhirnya terdengar juga. Suara itu pada akhirnya sampai di telinga orang-orang yang berada di ruang bersalin tersebut. Tangis Nara pecah. Pun dengan Bian yang sesekali terisak seraya mengecup pipi kiri istrinya itu.
"Alhamdulillah, putra Bapak dan Ibu sudah lahir dengan selamat. Kami akan membersihkan terlebih dahulu, kemudian Bapak bisa mengazani setelahnya. Untuk Ibu Nara juga akan kami periksa dulu keadaannya, Bapak bisa tunggu di luar ruangan," kata Dokter Vania sambil menggendong bayi mungil tersebut dan menyerahkannya kepada seorang suster karena akan dibersihkan.
Bian hanya tersenyum penuh haru. Keduanya selamat, baik Nara maupun putranya. Bian pun menatap istrinya yang masih terbaring lemah itu. Wajahnya sudah pucat pasi, bahkan Bian tak heran jika istrinya sedari tadi mengatakan tidak akan kuat. "Saya keluar dulu, ya. Terima kasih sudah kuat. Nanti saya ke sini lagi sama putra kita," ujar Bian seraya mengusap puncak kepala istrinya itu. "Baik-baik, ya," lanjutnya.
Cup. Sebelum pergi Bian mengecup kening istrinya cukup lama dari biasanya. Nara yang seolah masih hilang kesadaran itu pun hanya mengangguk lemah. Bian keluar dari ruang bersalin dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Bahagia, bahkan amat sangat bahagia, namun rasa takut juga sesekali masih menyelimuti.
"Gimana?" tanya Kirana yang menoleh ke arah suara pintu yang terbuka.
Dengan langkah pasti, Bian mendekat dan memeluk Ibu mertuanya itu. "Sudah lahir, Bu. Alhamdulillah Nara kuat. Makasih, ya, Bu, udah bantu doa," kata Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...