☔'6

421 80 8
                                    

Happy Reading

Gus Faqih menyodorkan dompetnya pada Laila saat mereka sampai di sebuah toko baju. Alis Laila terangkat, speechless.

“Kenapa?” tanya Gus Faqih.

“Kasih uangnya saja, Gus.”

“Ha, ha, saya kan gak tahu harga bajunya berapa.”

“Tapi memberi dengan dompetnya itu berlebihan caranya.”

“Saya gak ngasih, saya suruh kamu pegangin buat beli baju ke dalam. Uangnya ambil di situ.”

“Maksud saya, dompet itu terlalu privacy untuk dipegang orang lain.”

“Kan saya yang ngasih, bukan kamu yang ambil.”

“Sama saja.”

“Ha, ha. Kenapa? Kamu takut nemuin foto cewek di dalam, ya?”

“Astaghfirullah, Guse!” Wajah Laila bersemu merah.

Gus Faqih menarik tangannya, lalu mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu dari dalam dompet.

“Nih,” sodornya ke depan Laila.

Laila menerimanya dengan wajah menunduk. Ia benar-benar tak nyaman jika terus diperlakukan seperti itu. Sebelum masuk ke toko baju, Laila menengok sebentar ke kursi belakang. Mengecek Ning Iro yang masih tertidur pulas di sana.
Laila berdiri agak lama di depan deretan kemeja beragam warna. Ia bingung, harus memilihkan model baju yang bagaimana. Khawatir, bahan yang ia pilih tidak sesuai dengan keinginan Gus Faqih.

“Aduh!”

Laila menepuk jidatnya. Baru sadar kalau dia juga belum bertanya ukuran baju untuk Gus Faqih. Kalau dia masih harus kembali ke parkiran, bukan tidak mungkin Gus Faqih akan menggodanya lagi. Jadi sebaiknya, ia asal pilih saja. Siapa suruh menyuruhnya untuk memilih.

Pilihannya jatuh pada kemeja berwarna abu polos dengan kombinasi line putih di bagian lengan. Ukuran yang dipilih juga ukuran XL. Lebih baik kebesaran daripada kekecilan. Begitu pikirnya.
Saat pramuniaga membantunya mengambil nota, pandangan Laila jatuh pada tumpukan sarung di tengah-tengah toko. Akan lebih baik jika ia juga memilihkan sarung untuk Gu Faqih. Bukankah sarung yang guse pakai juga kotor?

Selesai, Laila membayar sepasang kemeja dan sarung di kasir. Beruntung, jumlah pembayaran tak melebihi dari uang yang sudah Gus Faqih beri. Lekas ia menenteng kantong berlabel nama toko itu keluar.

“Loh, kok sudah selesai?” tanya Gus Faqih saat Laila menyodorkan kantong kresek serta uang kembalian padanya.

“Saya gak tau ukuran, Guse. Jadi saya asal pilih aja. Tapi insyaallah muat kok,” ucap Laila sembari masuk ke dalam mobil.

“Wah, ini Kang Abdul. Kalau sampai bajunya kekecilan, Mbak Cahaya ini harus kita tarik ke sini lagi buat nuker. Iya gak?”

Gus Faqih melirik Laila lewat spion sambil berpura-pura mengajak Abdul bicara. Sementara Abdul hanya bisa tersenyum melihat tingkah Gus Faqih yang terkesan hangat pada siapa saja. Nyaris tidak terlihat seperti seorang Gus yang biasanya lebih banyak diam jika bersama dengan para khodam.

Perjalanan mereka lanjutkan.
Kembali ke masjid tempat Nyai Hasanah mengisi kajian. Laila yang memilih untuk tetap di dalam mobil sambil menjaga Ning Humairo yang tertidur, menatap punggung Gus Faqih yang berjalan masuk ke dalam masjid. Mengambil rute ke arah toilet putra.

Perlahan senyumnya mengembang mengingat setiap detail kejadian bersama laki-laki itu. Mulai dari pertemuan pertamanya, kedua, lalu hari ini. Siapa sangka harapannya malam itu malah begitu cepat menjadi nyata.

Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang