Happy Reading🌵
Laila mengemas barang-barang yang akan ia bawa kembali ke pesantren. Sudah hampir seminggu ia mengambil ijin untuk pulang. Padahal ijin yang dia dapat hanya tiga hari empat malam dari bu nyai. Ini sudah malam ke enamnya.
Sekelebat bayangan pria yang ditemuinya beberapa hari yang lalu kembali hadir. Ia gelengkan kepalanya untuk menepis bayangan itu cepat. Tatapannya beralih pada si Mbah yang sudah nampak lelap di sampingnya.
Entah bagaimana hidupnya jika tidak ada wanita sepuh itu. Ada harap untuk panjang umurnya, kesehetan, serta kebahagiaan untuknya. Beberapa lembar uang lima puluh ribu yang tadi di berikan si mbah, ia selipkan kembali di bawah bantalnya.
Uang makannya masih lebih dari cukup. Ia memang selalu menyisihkan sebagian dari uang kiriman dari si mbah di mbak Anisa. Salah satu khadimah yang juga sekamar dengannya. Biasanya, uang itu akan ia ambil saat liburan pesantren telah tiba. Untuk membayar zakat fitrah, serta untuk membelikan si mbah pakaian baru.
Perlahan ia tarik selimut yang sedikit terlepas dari tubuh ringkih itu, menariknya sedikit ke atas hingga batas dada dan lehernya. Rumah sederhana itu memang hanya memiliki dua kamar. Namun Laila lebih suka menemani wanita sepuh itu tidur di kamar yang sama.
Rih︠♡
“Gus, dari tadi sudah muter-muter. Kalau boleh tahu, Guse mau ke mana?” tanya Abdul, abdi dhalem yang merangkap jadi supir Gus Faqih semenjak Gus Faqih pulang dari Mesir.
“Saya mau cari oleh oleh buat si mbah, Kang. Cuma bingung mau di bawakan apa ya enaknya.”
“Pak yai atau bu nyai, Gus?”
“Dua-duanya lah, ha ha.” Gus Faqih tertawa lirih.
“Setahu saya, kalau pak yai lebih suka makanan yang lembut-lembut. Kalau bu nyai sukanya sama buah jeruk yang kecil-kecil itu, Gus.”
“Kang Abdul tahu tempat biasanya beli?”
“Waduh, saya juga ndak tahu. Tapi seinget saya kalau ndak salah, nama kuenya Amanda.”
“Itu bukan, Kang?” Gus Faqih menunjuk papan nama dari sebuah toko brownis di depannya.
“Oh, nggeh betul Gus.”
“Kalau begitu mampir dulu ke sana.”
Abdul mengangguk lalu segera menepikan mobilnya. Belum juga Gus Faqih keluar dari mobil, butiran-butiran air tiba-tiba saja menumpuk di kaca mobilnya. Gerimis yang di lanjutkan dengan derasnya hujan mulai mengguyur tanah.
“Saya saja yang turun, Gus. Gus Faqih tunggu di mobil saja, nggeh!”
“Jangan, saya saja. Masa buat mbah sendiri juga harus dicarikan?”
Gus Faqih meraih payung yang ada di jok belakang. Lalu bersiap untuk memakainya sambil lalu membuka pintu mobil. Pelan ia melangkah melewati trotoar dan halaman parkir toko. Karena mobilnya memang sengaja tidak memasuki areal parkir.
Bunyi gemerincing bel dari pintu yang Gus Faqih buka menarik pandangan mata beberapa orang yang ada di dalam toko. Salah satunya, wanita bergamis hitam yang tengah berdiri di depan etalase kue. Gus Faqih terlihat salah tingkah mendapat tatapan dari sekian banyak orang di dalam.
Payung berwarna armi di tangannya yang sudah tertutup, ia bawa masuk ke dalam toko. Menyisakan tetes air hujan di setiap langkahnya. Sarung berwarna senada dengan kokonya yang biru menampilkan kesan manis pada wajahnya.
Wanita bergamis hitam yang tak lain adalah Laila itu segera memalingkan wajahnya setelah sebelumnya sempat terperangah melihat kehadiran Gus Faqih di sana. Bagaimana mungkin, mereka bisa kembali bertemu? Sementara Gus Faqih dibantu pramuniaga di sana menyimpan payungnya agar tak mengotori lantai dengan tetesan airnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Itu Hujan༊*·˚
Teen FictionKenapa memilih bertahan? Karena rasa yang diberi Tuhan tak perlu dengan alasan. (Laila - Faqih)