☔'25

310 58 11
                                    

Semoga suka, ya

Happy Reading🌻

Hujan luruh begitu deras. Seolah mengiring langkah seorang gadis yang terlihat terburu-buru menapaki koridor rumah sakit. Dia baru saja selesai sholat isya saat kabar tentang sepupunya yang sudah siuman itu datang. Lekas dia pun berangkat kembali ke rumah sakit. Sebelum dia pulang ke Banyuwangi, dia sangat ingin memastikan sesuatu pada gadis yang tengah dirawat itu.

Langkahnya terhenti di bingkai pintu. Mendengar sekilas percakapan antara ayah dan anak di dalam ruangan. Pintu yang tidak tertutup sempurna memudahkan dia untuk menguping.

"Apa yang sudah terjadi merupakan takdir dari Allah. Jangan sekali-kali kamu menyesalinya, Nak. Bisa kufur nikmat nanti."

Terdengar jelas ada nada kekecewaan dalam nada suara Habib Ali. Tidak ada jawaban dari lawan bicaranya. Suasana hening beberapa detik.

"Bukankah Abi sudah bilang sebelumnya, kamu harus bertanggung jawab atas apa yang kamu putuskan untuk hidup kamu. Kalau sudah berjalan di atasnya, jangan pernah menoleh ke belakang lalu kembali lagi! Lagipula, apa yang bisa kamu harapkan dari pria yang tak berani memperjuangkan kamu? Kalau dia memang benar-benar berniat memperistri kamu, seharusnya dia tidak perlu takut untuk mencoba menghadap Abi."

Jadi pamannya sudah tahu cerita mereka berdua? Gadis bergamis coksu itu menelan ludah. Mendadak dadanya bergemuruh hebat. Sejauh apa hubungan mereka berdua sebenarnya? Kenapa pamannya sudah tahu tentang hal itu? Apa ini ada hubungannya dengan masa lalu yang dibicarakan Gus Faqih sebelumnya?

Mata sipit itu mengerjap beberapa kali, menahan bulir hangat yang kini sudah memenuhi kelopak matanya. Ia berniat untuk kembali menarik langkah pergi. Urung untuk masuk ke dalam ruangan.

"Nuri?" sebuah suara di depan cukup mengagetkannya.

"Mau ke mana?" Seorang wanita lain yang tadi ikut bersamanya ke rumah sakit menahan langkah Nuri.

"Mau ke toilet, Umi."

Mereka tidak tahu, bahwa suara dari wanita yang tak lain adalah adik dari Ayah Sarah itu sudah menarik perhatian Sarah dan abinya. Habib Ali lantas beranjak dari duduknya dan melangkah keluar. Sementara Sarah buru-buru menyeka air matanya.

"Loh, kenapa ndak langsung masuk? Di dalam kan ada kamar mandi." Rupanya perbincangan mereka juga terdengar oleh Habib Ali. Nuri berbalik badan, sedikit tak nyaman.

"Sarah?" Nyai Wardah melirihkan suaranya sambil menunjuk ke arah pintu.

Habib Ali mengangguk, lalu memberi kode agar mereka masuk saja. Sedangkan dia bermitan untuk pergi membeli kopi sebentar di kantin rumah sakit. Mau tidak mau Nuri pun akhirnya mengikuti langkah sang umi masuk menemui Sarah. Sang abah sudah lebih dulu pulang tadi karena masih ada acara lain di desa mereka.

Sarah terlihat membenarkan duduknya. Menyambut kedatangan Nuri dan bibinya dengan sesungging senyum. Wajah sembab itu berpura-pura sedang tidak ada masalah apa-apa pada dirinya.

"Gimana, Nduk? Sudah enakan?" tanya Nyai Wardah mendekat pada Sarah. Nuri sendiri memilih untuk berpura-pura masuk ke toilet seperti perkataannya tadi.

"Alhamdulillah, Bi, sudah enakan."

"Alhamdulillah. Bibi kaget pas denger kamu begini."

"Yai Makruf ke mana?" Sarah melongo ke arah pintu.

"Ndak ada, sudah pulang tadi. Ada acara di pesantren."

"Bibi sendiri masih mau di sini atau mau pulang juga?"

"Nanti, insyaallah nunggu kamu balik dulu ke rumah. Kasian Abimu sendirian."

Sarah menganggukkan kepala mengerti. Ia berterima kasih lewat senyuman.

Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang