☔'10

413 78 1
                                    

Happy Reading 🌵

-----

Ada luka yang tak perlu kau tahu
Cukup aku yang menyimpannya
Ada tangis yang tak perlu kau tahu
Cukup aku yang menyembunyikannya
Ada rindu yang tak perlu kau tahu
Cukup aku yang memendamnya

_______________________________

Arif menepuk pundak Gus Faqih saat melihat Sarah dan salah satu temannya menghampiri. Mereka tengah mengobrol di koridor kampus bersama dengan mahasiswa Indonesia lainnya. Kembali Arif memberi kode dengan dagunya pada Gus Faqih agar menoleh ke belakang.

Senyum Gus Faqih mengembang melihat gadis yang dicintainya datang dengan wajah berseri. Ia mengangguk pada Arif dan temannya yang lain ketika mereka pamit pergi. Sarah melanjutkan langkahnya, mendekat pada Gus Faqih. Sementara temannya menghentikan langkahnya beberapa langkah sebelum sarah. Menyandarkan tubuhnya pada tiang koridor sambil menunggu, Sarah.

Hari itu, cuaca sangat cerah. Semilir angin di lantai tiga kampus juga cukup membuat mereka tidak berkeringat. Pasmina Sarah tampak melambai-lambai terkena angin. Begitu juga dengan gamis merah jambunya.

Sedikit polesan lipgloss di bibir tipis miliknya, selalu menjadi yang terindah buat Gus Faqih. Ia suka setiap kali melihat Sarah bercerita panjang lebar tentang harinya. Atau di saat mereka memperdebatkan sebuah dalil yang masih harus dikaitkan dengan pendapat-pendapat ulama masa kini.

Gus Faqih menyukai setiap detil dari penampilan Sarah. Baik itu cara berbusana, berhias, bahkan cara makannya pun ia hafal. Termasuk, setiap kali Sarah harus berusaha menahan kantuk saat menemaninya lembur menarjim beberapa pelajaran sekaligus.

"Bagaimana hari ini?"

Seperti biasa, Sarah pasti akan memulai percakapan dengan kalimat pembuka seperti itu. Menanyakan bagaimana hari itu berjalan bagi Gus Faqih. Lalu bergantian, Gus Faqih juga akan menanyakan hal yang sama pada Sarah.

"Ya, lumayan, bikin bête."

Gus Faqih sedikit menaikkan sudut bibirnya. Ekspresi tidak mengenakkan. Senyum di wajah Sarah langsung berubah.

"Kenapa? Tugasnya salah lagi?" tanyanya kembali.

Kali ini Gus Faqih malah tersenyum. Ingin rasanya ia mengelus kepala gadis di depannya itu, atau sekedar mencubit gemas pipi kemerahan milik Sarah. Karena tiap kali Sarah bersikap khawatir padanya, akan bertambah lagi rasa sayang di hati Gus Faqih.

"Biasa, lah. Udah, gak usah bahas tugasku. Kelas Sarah, gimana hari ini?"

"Lancar, Alhamdulillah."

"Kirain gak lancar, makanya ke sini."

"Yee, emang ke sininya cuma buat curhat aja?"

"Ha, ha. Keseringan, sih."

"Duh, kejam."

"Ha, ha. Maaf!" Gus Faqih mengatupkan tangan di depan dada.

"Traktir dulu kalau begitu! baru dimaafin."

"Aduh!"

Sontak Sarah tergelak. Ia tahu, Gus Faqih tak mungkin mau berada di luar bersama-sama dengannya. Karena Sarah, bukan gadis sembarangan di kampus. Ia termasuk wanita yang cukup aktif di kalangan mahasiswi. Kesempatannya untuk bisa bertemu Sarah hanya dengan alasan sebagai ketua forum mahasiswa Indonesia dan sarah sebagai anggotanya di sana.

"Aku cuma mau bilang, besok Abi mau ke sini. Kalau kamu gak sibuk, datang ya. Aku tunggu di .... Nanti aku kabari lagi waktunya."

Memang belum ada komitmen yang jelas di antara mereka. Namun, bisakah waktu yang mereka habiskan bersama selama ini disebut sebagai komitmen? Meski tak ada pengakuan cinta seperti umumnya, tapi pembahasan tentang pernikahan juga sudah tak asing bagi mereka berdua.

Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang