Disarankan agar sambil mendengarkan lagu Bilqurani saamdhi saat membaca ini. Agar lebih bisa menghayati scenenya.
Happy Reading 🧊
Sarah berjalan gontai menuju kamarnya. Ia bahkan tak mendengar panggilan dari abinya di ruang tamu. Beruntung suaminya masih belum pulang.
Sesampainya di kamar, tubuhnya luruh di depan pintu. Mata yang sejak tadi bertahan untuk tak lagi mengeluarkan embun hangatnya, kini memanas kembali. Beberapa detik kemudian, air itu telah menggenang di sana.
Nyeri di dadanya bahkan menjalar ke kepala. Menghunjamkan ratusan kenangannya bersama lelaki yang biasa dipanggilnya Mas Faqih. Senyumnya, tangannya yang sesekali mengusap peluh karena panasnya cuaca di Mesir, dan ekspresinya setiap kali habis berlari membawakan makanan pesanan Sarah.
"Allah ..., Allah ...," lirih sarah sambil menekuk lutut.
Tangisnya pecah. Ada beragam keluhan dan permohonan di hatinya yang tak bisa ia ucapkan. Dia terluka begitu dalam. Ternyata dia belum sesiap itu untuk kehilangan Ahmad Faqih Maulana.
Allah ...
Tentu aku takkan bisa bertahan tanpa-Mu
Kekuatan yang kupikir bisa mengalahkan perasaan ini sebelumnya
Ternyata tak mampu menanggung lukaku
Astaghfirullah ....
Beginikah rasa sakit Qays saat ditinggal menikah dengan Layla
Lalu aku menjadi siapa dalam takdirku ini ya Rabb ...
Qays atau malah Layla yang memberi luka padanya?
Bantu aku ya Allah ....
Bantu aku agar tak menyakiti siapapun lagi dengan perasaanku
Bantu aku agar tak dzolim pada diriku sendiri
Bantu aku untuk keluar dari perasaan yang menurutmu tak pantas ini
Allah ... aku mencintainya ....Tubuh Sarah makin luruh. Kini ia berbaring sambil memeluk lututnya. Persis seperti anak bayi dalam perut sang ibu.
Ia biarkan air mata yang terus berderai membasahi hijabnya. Seolah ingin memperlihatkan pada Tuhan kesedihannya. Kadang isaknya semakin keras, kadang tertahan dengan gigitan di bibirnya.
Rasa sedih yang dia rasakan saat ini jauh lebih hebat dari sebelumnya. Jika kemarin dia hanya menangis dalam sujudnya, kini dia larut dalam lautan istighfar tak bertepi. Jika kemarin dia masih bisa mengusap air mata sambil mengucap sudah, kini dia bahkan tak punya kekuatan untuk mengarahkan tangannya mengusap bulir bening itu.
Tubuhnya sedikit mengigil karena terbaring di lantai, tepat di bawah penyejuk ruangan. Namun sengaja tak dipedulikannya. Kali ini dia benar-benar ingin memperlihatkannya pada Tuhan. Tentang perasaan yang katanya tak pernah salah, tapi kenapa keberadaannya malah menyakitinya?
Matanya terpejam begitu erat. Rasa dingin semakin menusuk tulang. Bibirnya juga ikut membiru. Beberapa detik kemudian, isak Sarah terhenti. Dia pun tak sadarkan diri.
Rih︠♡
"Panggilkan Laila, Tun!"
"Nggeh, Bu Nyai!"
Mbak Tun mundur beberapa langkah hingga ke bingkai pintu kamar, lalu bergegas menuju dapur setelah berbalik badan. Pagi itu Nyai Hasanah berencana untuk pergi ke Pesantren Al-Falah. Menyambangi putra sulungnya, Kyai Mushab yang tak lain adalah ayah dari Gus Faqih. Dia ingin memastikan jawaban apa yang sudah Gus Faqih siapkan untuk Nuri.
"Dalem, Bu Nyai." Suara lembut seseorang terdengar dari bingkai pintu. Nyai Hasanah yang sudah sangat hafal dengan suara itu langsung memintanya untuk mendekat tanpa harus menoleh lagi.
"Minta tolong, buatkan saya udang krispi seperti yang kamu buat tempo hari, ya! Terus nanti kamu bisa bawa Humairo ikut saya ke Al-Falah. Soale ningmu ada acara di kota."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Itu Hujan༊*·˚
Teen FictionKenapa memilih bertahan? Karena rasa yang diberi Tuhan tak perlu dengan alasan. (Laila - Faqih)