☔'3

464 85 8
                                    

Happy reading🪐

“Laila …!”

Mbak Tun tergopoh menghampiri Laila yang baru saja menutup payungnya di teras belakang dhalem. Tepat di samping asrama para khadimah. Hujan masih deras mengguyur halaman belakang yang mulai becek.

“Guse datang, loh! Untung kamu balik hari ini, kalau ndak, kamu ndak bakal ketemu sama guse.”

“Guse siapa?” Laila meletakkan payungnya di samping pintu.

Kantong kresek di tangan Laila sudah berpindah ke tangan Mbak Tun.

“Gus Faqih, cucune pak yai yang baru lulus dari Mesir.”

Mbak Tun melangkah masuk ke dalam asrama.

“Wuah, pamannya Ning Iro berarti?”

“Yo sepupune toh, kan Gus Faqih putrane Kyai Zainal. Kakaknya Kyai Mansur.”

“Oh, adiknya Ning Hafsah?” Laila mengikuti langkah mbak Tun.

“Ho-oh. Bener.”

“Sekarang di mana?” tanya Laila sambil menyimpan tas di samping lemarinya.

“Lagi di dalam, denger-denger katanya wes dicarikan calon sama Pak Yai.”

“Oalah, telat dong berarti.” Laila sedikit menyenggol mbak Tun.

“Hush, namanya takdir kan Allah sing nduwe, loh.”

“Enggeh, ngapunten!” Laila bersikap seolah-olah tengah berbicara dengan bu nyai.

Mbak Tun reflek menepuk lengan Laila yang masih saja menggodanya.

“Berarti saya masih belum bisa ke dhalem yo, Mbak?”

“Yo iso, kalau kamu mau sekalian ketemu sama guse. Rapopo. Langsung matur. Ini buat pak yai ‘kan?” Mbak Tun membuka kantong kresek di depannya.

“Iya, Mbak. Ndak ah, nunggu ae wes.”

“Loh, nanti malah dikira belum balek. Kan wes telat kamu yang balik.”

Laila tampak menimang-nimang. Dia memang sudah telat dari tempo ijin dari pesantren. Tapi, jika ternyata dia masuk ke dhalem di tengah-tengah mereka yang bercengkrama, akan canggung rasanya.

“Tun!”

Mbak Tun langsung berdiri dari duduknya sambil menjawab panggilan dari Nyai Hasanah. Laila juga segera berdiri mendengar suara itu, ikut menundukkan wajah dan berjalan di belakang mbak Tun dengan membawa oleh-oleh yang tadi dibelinya. Tampak Nyai Hasanah yang tengah berdiri di bingkai pintu dhalem.

“Loh, Laila kapan datang?” Nyai Hasanah menerima uluran tangan Laila yang hendak sungkeman.

“Baru saja, Bu Nyai!”

“Oalah, masih capek?”

“Mboten.”

“Kalau begitu, tolong buatkan saya wedang jahe seperti yang biasa kamu buatkan, ya! Tapi porsinya lebih dibanyakin soale lagi kedatangan cucu kesayangan. Jangan lupa nanti langsung di bawa ke dalam.”

“Enggeh, Bu Nyai.”

“Iki opo?” tanya Nyai Hasanah sambil membuka kantong kresek yang sudah berpindah ke tangannya.

“Saya ndak tahu mau bawa oleh-oleh apa. Bisanya hanya beli itu.”

“Oalah … makasih. Ya wes, tak tunggu wedang jahenya!”

Nyai Hasanah kembali masuk ke dalam. Mengeluarkan brownis oleh-oleh Laila dari dalam kresek, lalu meletakkannya di meja makan, bertumpuk dengan kotak brownis yang di bawa cucunya.

Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang