☔'20

369 56 4
                                    


Happy Reading 🌱

Pria bernama lengkap Arifuddin Muhajir itu nyaris tak berkedip saat berdiri di depan pintu gerbang Pondok Pesantren Al-Falah. Dia juga berulang kali melempar pandang pada Gus Faqih yang nampak tak nyaman padanya. Ada decakan tak percaya serta gelengan kepala dari Arif.

"Jadi selama ini aku berteman dengan putra kyai besar di Bangil?"

"Ah, biasa aja kali, Kang!"

"Biasa aja katamu? Aku bisa kena cap su'ul adab ini karena kamu." Arif berkacak pinggang.

Gus Faqih memperbaiki kopyah hitamnya. "Su'ul adab piye toh, Kang, haha ...."

"Kamu ini cucune Yai Maksum, Pondok Pesantren At-Taufiq, kan?"

"Haha, nggeh, lerres."

"Astaghfirullah, Gus! Ngapuntene, kulo ..."

"Hallah, hallah! Apaan, sih, Kang! Ndak lucu! Ayok, ah. Masuk!"

Gus Faqih langsung menepuk lengan Arif dan menariknya untuk masuk ke dalam pesantren. Meski letak dhalem bisa dijangkau dari luar pondok, Gus Faqih sengaja membawa Arif masuk melewati pondok. Agar tak merasa lebih canggung nantinya.

Benar saja, mereka langsung disambut dengan banyaknya para santri yang langsung menghentikan aktifitasnya lalu berdiri di sisi jalan dengan kepala tertunduk. Sepertinya mereka tengah bersiap-siap untuk melaksanakan jamaah ashar dilihat dari banyaknya wajah para santri yang masih basah. Waduh, ndak bener ini, batin Arif yang malah serba salah harus bersikap bagaimana.

Ada beberapa santri yang cukup besar ikut menghampiri untuk mencium tangan gusnya. Arif tebak mungkin itu beberapa pengurus pesantren di sana. Karena penampilan mereka yang juga cukup berbeda dibanding santri lainnya. Penggunaan jas serta surban berwarna hijau di salah satu pundaknya menambah kesan wibawa yang lebih tinggi.

Belum sempat mereka sampai di halaman dhalem, terdengar bunyi adzan dari towa masjid yang berada tepat di tengah-tengah pesantren. Arif menangkap sosok lelaki paruh baya yang sangat dia hafal. Meski selama ini dia hanya tahu dari kalender Pesantren At-Taufiq. Kyai Mushab, putra sulung Yai Maksum Ali.

Lelaki berhidung bangir itu nampak menggunakan jubah berwarna putih dengan sarung yang juga berwarna senada. Hanya saja ada corak kotak-kotak besar di sarungnya. Mata teduhnya menunduk melewati para santri yang berbaris di sekelilingnya.

"Loh!" Lelaki berkalung surban itu sedikit terkejut saat melihat Gus Faqih yang menghadang perjalanannya. Senyumnya langsung merekah sembari menepuk-nepuk lengan putranya.

"Ini temen, Faqih, Bah! Kang Arif."

Lekas Arif mencium tangan Kyai Mushab, sekaligus menundukkan tubuh lebih rendah.

"Temen di Mesir?" tanya Kyai Mushab.

"Enggeh, Yai."

"Oh, ya sudah. Ajak ke dalam saja dulu tamunya, Le! Abah mau jamaah sebentar."

"Ngapunten, Yai, menawi kersa, kulo ajeng nderek jamaah, Yai."

Arif mencoba mengambil kesempatan. Kapan lagi dia bisa berjamaah dengan kyai besar seperti Kyai Mushab. Syuukur-syukur jika dia bisa berkesempatan berada tepat di belakang beliau.

"Masyaallah, boleh-boleh. Monggo ...!"

Arif mengerling senang pada Gus Faqih. Dalam hal menghormati tamu, Kyai Mushab tak hanya mahir dalam teori saja. Melainkan langsung menunjukkannya pada Arif. Padahal siapalah Arif jika dibandingkan dengan beliau. Namun Kyai Mushab tetap memperlakukan Arif seolah-olah mereka memang setara.

Mereka pun langsung mengikuti langkah Kyai Mushab. Berjalan beriringan sepertinya terlalu mewah bagi Arif. Ia sengaja memundurkan langkah agar bisa berada di belakang Kyai Mushab, tentu saja ditemani Gus Faqih yang sekarang sudah tak bisa dia panggil Faqih lagi.

Rih︠

Nyatanya Arif tak hanya ikut berjamaah, melainkan malah dia yang disuruh menjadi imam. Alasan Kyai Mushab yang membuatnya tak bisa menolak adalah, masa lulusan Mesir ndak mau jadi imam? Duh, semriwing rasanya dikatain begitu langsung sama pak kyai. Mau tidak mau, siap tidak siap, akhirnya dia pun mengambil tanggung jawab itu meski surah-surah pendek yang dia baca sebatas Al-Alaq dan Al-Ikhlas karena isi kepalanya yang tiba-tiba saja nge-blur.

Rasa canggungnya ternyata masih harus berlangsung lama, saat Kyai Mushab tidak membolehkannya pulang agar bisa ikut makan malam sekalian. Sahabatnya Gus Faqih sama sekali tidak membantu mencarikannya alasan. Dia malah mendukung apa yang menjadi permintaan sang abah. Semoga saja tidak sampai disuruh baca kitab. Kalau sampai dia ikut dites baca kitab, bisa tambah jadi gulungan kaset rusak itu isi kepala.

Bukan tidak tahu, tapi tidak siap. Bagaimana mungkin selama lima tahun bersama-sama di Mesir, dia bisa kecolongan tentang identitas Gus Faqih? Harusnya dia sudah bisa membaca saat Gus Faqih yang begitu fasih melafalkan kitab gundul dengan ilmu nahwu shorrof yang tepat. Bisa-bisanya dia malah mengira bahwa Gus Faqih pasti lulusan pesantren salaf. Enggak tahunya, malah salah satu pemilik pesantren yang cukup besar juga di Jawa Timur.

"Ngapunten, Gus! Saya mau ...,"

"Kang, sekali lagi ngomong kayak gitu, aku timpuk pakai bangkiak loh!" Gus Faqih cepat memotong ucapan Arif sambil melirik bangkiak yang menyender manis di sisi buffet ruang tamunya. Ucapan Gus Faqih menyembulkan ringisan di wajah Arif yang tengah menghabiskan waktu menunggu maghrib di taman belakang dhalem yang artinya juga tepat di depan jendela kamar Gus Faqih.

"Boleh merokok, endak ini di sini?" tanya Arif.

Gus Faqih memasukkan tangannya ke bawah meja di sampingnya. Beberapa detik kemudian tangan itu menyembul dengan satu buah asbak.

"Silahkan ...," haturnya dengan senyum.

Seorang khadim mengucap salam. Pria bersarung hijau dengan koko putih itu mendekat setelah Gus Faqih memberinya kode. Tangannya luwes meletakkan nampan berisi dua cangkir kopi dan pisang goreng yang masih mengepul di piring ke meja.

"Monggo, Kang! Mumpung masih anget." Gus Faqih mendekatkan piring berisi pisang goreng itu pada Arif.

"Sungguh, aku masih ndak percaya," ucap Arif sembari menyulut batang tembakau yang baru saja dia keluarkan dari saku.

"Sama?"

"Sama kamu yang ternyata putranya kyai."

"Hallah, putranya kyai atau bukan ya sama saja lah, Kang. Sama-sama manusia ini."

"Lah beda, aku ya ndak enak ngomongnya kalau pakai aku kamu. Abib sama Salim pasti bakal lebih kaget lagi ini."

"Ndak usah bilang-bilang, Kang. Sudah! Lagian Kang Arif belum pernah berguru sama aku atau abah, toh? Buat apa ndak enak."

"Tapi aku pernah mondok di Pesantren At-Taufiq, meskipun cuma tiga tahun."

"Ya ndak pa-pa. Al-Falah sama At-Taufiq 'kan beda pengasuh."

"Tapi tetep saja, sampean itu keturunan yai saya."

Gus Faqih menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal setelah sebelumnya meletakkan kopyah hitamnya di atas meja. Ia nyaris tak punya jawaban lagi atas serangan Arif. Mau dilawan bagaimanapun, mereka sudah sama-sama tahu ilmunya. Bahwa menghormati keturunan dari guru atau kyai sama saja halnya dengan menghormati guru.

"Menghormati itu tidak harus selalu melakukan hal yang berbeda loh, Kang." Akhirnya Gus Faqih dapat juga jawaban.

"Maksudnya?"

"Menghormati seseorang itu bisa juga dengan memperlakukan seseorang itu dengan baik. Jadi ndak harus ngerubah cara bicara, cara bersikap, atau apapun. Apalagi kalau orang yang dihormati justru merasa ndak nyaman dengan perubahan itu, malah bukan menghormati namanya 'kan? Jadi, sewajarnya saja!" tegas Gus Faqih.

Kali ini Arif yang tak bisa menjawab. Ucapan Gus Faqih benar tanpa koma. Sudah titik. Letak kenyamanan memang nomor satu di antara mereka.

Tebece


Bersambung dulu ya ... semoga bisa double up nanti lagi ...

Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang