Sekedar mengingatkan, mending siapin tisu di dekatnya sebelum membaca part ini.
Happy Reading 🌾
Mobil Xpander putih milik Gus Faqih menghilang di balik gang. Laila dan Mbak Tun yang menunggu di depan pagar kini berbalik masuk. Beberapa kali wanita gempal itu menyenggol Laila sambil menggodanya.
"Ndak boleh begitu, Mbak Tun."
"Dih, kenapa?"
"Guse sudah punya tunangan 'kan, mana boleh digodain sama wanita lain?"
"Loh Mbak Tun belum ngasih tahu, ya? Kemarin itu cuma taaruf, sedang keputusannya baru sekitar sepuluh hari yang lalu lah."
"Lalu?"
"Guse ndak nerima."
"Ah, Mbak Tun becanda."
"Masyaallah, serius, Laila."
Degup di dada Laila tiba-tiba mengencang.
"Lah, kenapa?" tanyanya lirih, "bukannya ningnya cantik, ya?"
"Embuh, mana Mbak Tun tau. Emang guse aneh."
"Nah, kan. Sudah tahu guse rada aneh, masih digodain sama aku, loh."
"Hahaha, habisnya dari pertama kali ketemu, kamunya digodain terus sama guse. Kan bikin pikiran Mbak Tun kemana-mana."
"Dih, Mbak Tun aja yang begitu. Mungkin itu karena kita ketemu sebelum tahu masing-masing."
"Maksudnya?"
"Ah, ceritanya panjang."
"Mbak Tun punya waktu dengerin." Wanita pendek itu menahan langkah Laila dengan cengkraman di lengannya. Laila mengurai senyum geli mendapati wanita di sampingnya menatapnya penasaran.
Rih︠♡
Ini malam kedua setelah semua keluarga Laila pulang ke rumah masing-masing. Gadis itu berjalan gontai mengelilingi setiap sudut rumah. Mengenang keberadaan wanita sepuh yang kadang sibuk mengupas bawang di meja makan. Lalu melangkah kearah dandang yang mengepul. Mengecek isinya sudah matang atau belum.
Jika sudah matang, wanita yang sudah beruban itu akan langsung menurunkan dandangnya ke tanah. Maklum, dapur yang mereka pakai masih dapur kotor di samping rumah yang masih berlantai tanah. Mbah Pakmi tak terbiasa menggunakan kompor. Ia lebih suka mengumpulkan ranting kering dari pekarangan rumah untuk bahan bakar tungkunya. Kadang tetangga juga berbagi kayu bakar dari batang tebu yang dikeringkan.
Laila mengusap sudut matanya. Bulir hangat itu sudah sejak tadi menyeruak. Lehernya berputar ke arah ruang tamu. Lagi-lagi kenangan dari si mbah datang.
Mbah Pakmi yang kadang masih menyapu kolong meja dengan tangan gemetar. Mbah Pakmi yang meniup teh panas yang sudah di tuang ke atas tatakan cangkirnya. Juga Mbah Pakmi yang selalu tersenyum lebar sembari melambai memanggil Laila untuk mencicipi kudapan hangat buatannya.
Nafas Laila tersengal, dadanya terasa sesak, hingga akhirnya tangisnya pun pecah dalam kesunyian malam yang begitu dingin. Perlahan tubuhnya meluruh ke lantai. Tangannya memeluk lututnya yang terasa membeku. Gadis itu membenamkan kepala di antara dua lutut untuk meredam isaknya. "Mbah, Laila ..., kangen ...," lirihnya di sela-sela tangis yang terdengar pilu itu.
Mbak Tun dan Gus Faqih yang berdiri di bingkai pintu rumahnya ikut menyeka sudut mata mereka. Iba melihat keadaan Laila seperti itu. Bahkan Mbak Tun hampir saja langsung berhambur ke arah Laila jika tidak di tahan oleh Gus Faqih.
Kedatangan mereka memang tanpa Laila tahu. Nyai Hasanah menyuruh mereka untuk menengok gadis malang itu. Tadinya Nyai Hasanah sendiri yang akan ke sana, tapi sayang ada undangan pengajian di desa sebelah yang harus ia hadiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Itu Hujan༊*·˚
Teen FictionKenapa memilih bertahan? Karena rasa yang diberi Tuhan tak perlu dengan alasan. (Laila - Faqih)