☔'1

697 91 2
                                    

Happy Reading

"Haduh, nduk! Mbah bingung cari kamu dari tadi. Mbah pikir kamu sudah balik ke pondok." Wanita sepuh bergelung itu tergopoh keluar saat melihat gadis berkerudung hijau naik ke teras rumahnya.

"Maaf, Mbah! Tadi Laila gak enak yang mau bangunin si Mbah. Laila pergi sebentar beli-beli ke pasar."

Gadis berkulit sawo matang itu ternyata bernama Laila. Gadis yang tadi juga terjebak hujan di sebuah warung. Dia menunggu hujan berganti gerimis untuk kembali pulang ke rumahnya. Membawa sedikit kenangan pertemuan singkatnya dengan seorang pria berkopyah hitam.

Laila segera mencium tangan neneknya, lalu berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Ia mulai bercerita bagaimana tadi ia membelanjakan uangnya hingga habis. Sekaligus pertemuannya dengan pria yang awalnya ia pikir sangat mengganggu. Sang nenek ikut tersenyum sambil mengusap-ngusap sisa air hujan yang membasahi kerudung cucu satu-satunya itu.

Laila adalah anak tunggal dari pasangan suami istri bernama Hadi dan Tyas.
Tinggal bersama neneknya karena kedua orang tuanya sudah meninggal dunia akibat kecelakaan tiga tahun yang lalu.

Ayahnya adalah salah satu abdi dhalem di sebuah pesantren ternama di Jawa Timur. Sementara ibunya hanya menerima pesanan catering dari pesantren saat ada acara-acara besar atau sekedar untuk konsumsi peserta rapat pengurus. Dia pun sejak kecil sudah disekolahkan di areal pesantren. Mulai dari ibtidaiyah, sanawiyah, hingga aliyah.

Laila sama sekali tak pernah mengecap pendidikan formal. Hingga saat ia akan melanjutkan studinya ke tingkat Aliyah, kabar duka dari kedua orang tuanya seketika langsung merubah hidupnya. Kecelakaan itu sudah merenggut nyawa keduanya bersamaan.

Sebutan yatim piatu sudah tidak berlaku pada Laila karena dia sudah memasuki akil baligh waktu itu. Tetangga yang juga sekaligus saudara beberapa pupunya datang menjemput hari itu. Hari penuh tangis baginya. Karena dengan begitu, ia juga harus rela pendidikannya terhenti hingga sanawiyah saja.

Keluarga yang paling dekat dengannya hanyalah wanita sepuh penuh uban yang dipanggilnya nenek saat ini. Dia juga yang memboyongnya dari rumah sebelumnya menuju rumah yang di tempatinya sekarang. Sementara rumah tempat tinggalnya semula, ia kontrakkan untuk penyambung hidup Laila.

Laila kembali dimasukkan ke dalam pesantren tak jauh dari rumahnya. Bermodal jasa suaminya yang dulu juga sempat mengabdi di sana, nenek Laila mencoba menaruh harapan pada bunyai sepuh untuk menerima cucunya juga. Tak disangka, Nyai Hasanah justru menerimanya dengan senang hati. Bahkan, biaya sekolah untuk aliyah Laila, dia juga yang tanggung.

Baru kemarin Laila ijin pulang, karena sang nenek akan mengadakan acara seribu hari untuk kedua orang tuanya. Waktu ijinnya masih ada dua hari lagi.
Sementara acara keluarganya akan dilaksanakan besok selepas maghrib.

Tadi dia ke pasar pun untuk membeli beberapa perlengkapan yang akan dipakai besok. Namun, ternyata uang yang seharusnya ia bawa malah tertinggal di atas nakas. Dia hanya membawa beberapa lembar uang dua puluh ribuan di dompetnya.

Laila masuk kamar sambil terus mengibas-ngibaskan jilbab yang sedikit basah karena air hujan. ia berdiam cukup lama di depan cermin. Wajah pria bersarung tadi kembali diingatnya. Mungkinkah ia akan kembali bertemu dengan pria itu?

"Ah, gak mungkin!" gumamnya seraya menepis bayangan pria itu dengan gelengan kepalanya.

Rih︠


Pria bersarung turun dari mobil tepat di depan masjid sebuah pesantren. Beberapa santri yang juga berpenampilan sama dengannya langsung berhenti beraktifitas, berdiri, menepi seraya menundukkan kepala takdzim. Ia pun juga menundukkan kepala sambil terus berjalan melewati para santri masuk ke dalam masjid. Selepas pria itu tak terlihat, barulah supir dari mobil yang dikendarainya pergi mencari tempat parkir.

Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang