☔'26

324 58 5
                                    

Happy Reading 🌻

Sepanjang perjalanan pulang dari Pesantren Al-Falah, Laila tak henti mengulum senyum. Pandangannya terlempar ke luar jendela, sambil sesekali mengusap wajah Humairo di pangkuannya. Persis orang yang tengah kasmaran. Bagaimana wajah Laila tidak akan bersemu merah jika dia malah terus menerus mengingat ucapan Gus Faqih saat ia mengantarkan kopi jahe itu.

Flashback on ...

Laila ragu menaiki teras belakang yang memang sedikit terpisah dari dapur. Netranya bergerak ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan pria yang tadi memintanya untuk membuatkan kopi. Ruang belakang nampak sepi. Begitu juga dengan ruang makan yang berada tepat di samping jendela.

"Apa kuletakkan di sana saja, ya?" gumamnya lirih, sementara bola matanya menatap ke arah meja makan.

"Assalamu'alaikum ...!" Suaranya diperkeras. Ini salam ketiga yang dia ucap karena tak kunjung mendapat jawaban. Akhirnya Laila pun mengambil keputusan untuk masuk dan meletakkan kopi itu di atas meja saja.

Baru saja dia berbalik badan, sebuah suara dari belakang menghentikannya. Suara Nyai Hasanah yang menanyakan apakah barang-barang yang akan di bawanya sudah siap. Laila langsung menundukkan wajah sambil menjawab enggeh.

"Sini, bantu saya bawa ini juga!" Nyai Hasanah menunjuk beberapa barang lagi yang masih belum dirapikan ke dalam kardus. Tergeletak begitu saja di atas meja lainnya.

Laila mengangguk dan langsung menghampiri. Tanpa perlu diajari, dia pun langsung memasukkan beberapa bumbu dapur dan tepung-tepungan yang kemarin sudah mereka beli ke dalam kardus. Suara seorang pria mengucap hamdalah juga terdengar dari belakang Laila. Dia baru saja keluar dari kamar mandi.

Oh jadi sejak tadi dia ada di sini, tapi ndak jawab. Laila membatin.

"Duh, ngagetin aja anak ini! Mbok ya bersuara kalau ada di belakang!"

Nyai Hasanah refleks melepas tepukan keras pada lengan Gus Faqih. Pria itu sendiri meringis kesakitan sambil mengelus-ngelus lengannya. "Kan lagi di kamar mandi, Yangti. Mana boleh bicara," jawabnya.

Laila yang tersenyum geli melihat ekspresi Gus Faqih tertangkap basah oleh lelaki itu. Setelah mengalihkan pandang sebentar, Laila kembali mencuri pandang pada gerak langkah Gus Faqih yang terlihat menuju kopi buatannya.

"Ini kopi saya, kan, Mbak Cahaya?" tanyanya.

"Nggeh." Laila kembali berbalik badan setelah menjawab pertanyaan Gus Faqih dengan sopan.

"Masyaallah, alhamdulillah. Memang beda sama buatan saya tadi, tunggu sebentar!"

Gus Faqih bergegas pergi, entah kemana. Sementara Laila membereskan barang-barang milik Nyai Hasanah. Wanita sepuh itu sendiri juga ikut memilih apa yang masih bisa di bawanya pulang.

Beberapa menit kemudian Gus Faqih turun dengan dua buah ganci di tangannya. Meletakkan ganci itu di dekat barang-barang Nyai Hasanah. Ekor mata Nyai Hasanah mengikuti gerakan cucunya, mengintip pada barang yang diberikannya pada Laila.

"Oleh-oleh dari Mesir. Asli Mesir, loh itu, Mbak Cahaya. Jangan dihilangin!"

Laila sedikit ragu untuk menerimanya. Ia mencoba meminta persetujuan pada Nyai Hasanah terlebih dahulu. Wanita sepuh itu mengangguk sambil tersenyum. Barulah Laila berani untuk menyimpan dua gantungan kunci itu ke dalam sakunya.

"Matursuwun, Guse!" ucapnya lirih.

"Kenapa?" Sepertinya Gus Faqih memang sengaja pura-pura tidak dengar.

"Matur sembah nuwun," ulang Laila.

"Mau jadi mantu?" Gus Faqih malah mengalihkan pembicaraan.

PLAK ...!!

Sebuah piring plastik melayang ke arah Gus Faqih. Namun meleset, Gus Faqih dengan cepat bisa menghindarinya.

"Dari dulu kok ndak berubah, sukanya ngusilin orang aja!" Nyai Hasanah berkacak pinggang di depannya.

Gus Faqih malah terbahak mendapat serangan dari yangtinya. Cepat ia pergi dari ruangan itu sambil membawa secangkir kopinya ke dalam. Meninggalkan debar tak menentu di sisi hati Laila.

Flashback off

Teringat pada ganci yang dia simpan tadi, Laila pun merogoh sakunya. Mengeluarkan ganci berbentu sphink, dan satu lagi berbentuk kepala Firaun. Senyumnya makin melebar, begitu juga dengan debar di relung hatinya.

Bolehkah dia berharap candaan Gus Faqih tadi tak hanya menjadi lelucon? Ah ..., rasanya tidak mungkin. Namun dengan begini saja, sudah cukup membuatnya bahagia.

Rih︠

Dua gadis cantik tengah duduk membelakangi pintu. Pandangannya sama-sama terlempar ke luar jendela. Pada langit biru dengan awan putih yang menggumpal menjadi beberapa tumpukan.

Beberapa hari yang lalu mereka juga pernah begitu. Bedanya mereka kini tengah berada di rumah sakit, bukan di bawah pohon rindang dengan pemandangan bukit di depannya. Satu gadis memakai seragam pasien dengan selang infus di tangan kanannya. Bergo denim menutup kepala dengan wajah pucat itu.

"Aku minta maaf!"

Suara Nuri terdengar lirih. Jemarinya tampak tengah saling menggesekkan ujung kukunya. Salah satu kebiasaan Nuri tiap kali merasa bersalah.

Ini hari ketiga Sarah dirawat. Katanya hari ini sudah boleh pulang. Tinggal menunggu botol infus terakhir habis.

"Kamu sakit pasti karena ucapan aku kemarin," lanjut Nuri.

Sarah tersenyum, mata sendunya beralih pada Nuri yang masih menunduk di sampingnya. Perlahan tangannya terangkat. Menyentuh punggung tangan Nuri dengan lembut. Mengundang pandangan Nuri agar ikut beralih padanya.

"Kamu nggak salah apapun, Nuri. Dan aku sakit bukan karena kamu. Tapi mungkin memang ini cara Allah untuk membuatku menebus dosa-dosaku."

"Tapi cinta bukan dosa, Sarah."

"Cinta memang bukan dosa, tapi cara mencintainya yang bisa menjadikan dosa."

Nuri terdiam. Ada yang memanas di matanya. Ia masih menatap perempuan yang kini kembali menatap langit. Terlihat tegar, tapi menyedihkan.

"Benar apa kata kamu kemarin. Apa yang sudah berlalu tidak sepatutnya diungkit lagi."

Nuri mengigit bibir, rasa bersalah masih memeluknya. Setitik bulir bening menetes di pipinya. Sungguh, ia tidak bermaksud untuk menyakiti Sarah kemarin.

"Aku tidak pernah menyalahkanmu dalam hal ini. Aku juga tidak punya hak untuk menyalahkan siapapun. Yang mengecewakanku bukan siapa-siapa, melainkan ekspektasiku sendiri. Jadi, jangan pernah merasa bersalah, Nuri! Atau aku yang akan sangat merasa bersalah padamu!"

Tangan mereka saling menggenggam. Ada kehangatan yang menyedihkan di sana. Saat keikhlasan harus dihadirkan dengan paksaan, saat itulah mereka juga dipaksa untuk berdamai dengan keadaan.

Apapun yang telah terjadi, tentu sudah menjadi ketetapan Tuhan yang tidak akan pernah bisa ditolak oleh manusia. Kini Sarah hanya berharap, bahwa Allah juga akan memberikan penawar bagi rasa sakitnya nanti. Setidaknya sebuah hadist cukup bisa menguatkan dia untuk melewati semuanya.

Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, atau gangguan, bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus segala kesalahannya.

Tebece

Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang