☔'24

379 64 6
                                    

Selamat hari rabu, duh dikit lagi udah jumat aja.

Jan lupa tap bintang pojok kanan🌞

Nuri dan Gus Faqih bersepakat untuk bertemu di toko buku. Bukan, kali ini bukan toko buku langganan mereka kemarin, tapi toko buku yang pasti ada dalam sebuah pusat perbelanjaan. Toko buku yang biasanya ramai pengunjung.

Nuri yang juga memang tidak terbiasa bertemu dengan pria seorang diri, mengajak serta kakak perempuannya yang bernama Aisyah. Walau bagaimanapun, mereka memang sudah melakukan taaruf, tapi itu bukan berarti bisa menjadi alasan bagi keduanya untuk bebas bertemu. Meskipun di tempat terbuka. Aisyah menyetujui permintaan adiknya karena dia juga hendak ingin membeli sesuatu.

"Maaf, Mas! Saya meminta bertemu dadakan."

"Ndak papa, Dek. Ada yang bisa Mas bantu?"

"Emh, sebenarnya lebih kepada saya ingin tahu saja." Gadis berpasmina jersey itu meraih salah satu buku di depannya agar tidak terlihat terlalu canggung dan gugup.

Gus Faqih mengikuti Nuri, dia pun meraih salah satu buku di depannya. "Bagaimana?" tanyanya kemudian.

"Mengenai masa lalu yang kemarin Mas Faqih tanyakan sama saya, apa itu ada hubungannya dengan wanita di masa lalu, Mas Faqih?"

Pria itu tertegun. Kenapa Nuri bertanya seperti itu. Bahkan kemarin saat mereka bertemu di kedai bersama Sarah, Nuri terlihat tidak tertarik dengan apa yang sebelumnya mereka bicarakan. Padahal saat itu, Nuri jelas-jelas melihat Sarah baru saja menghapus air matanya. Apa mungkin Nuri sudah mulai curiga? Atau Sarah sudah menceritakan semuanya?

Gus Faqih masih menghitung detik agar tidak terburu-buru menjawab. Ia khawatir jika jawabannya malah akan menimbulkan masalah baru nantinya.

"Maksud saya, apa Mas Faqih punya hubungan yang belum terselesaikan di masa lalu?" Nuri meralat pertanyaannya.

Gus Faqih mulai was-was. Dia menelan saliva yang berkumpul di ujung tenggorokannya. Gadis di sampingnya sama sekali tak menatapnya, tapi kenapa rasa gugup justru menjalar di tubuhnya.

"Sudah selesai, insyaallah."

Pupil cokelat yang semula mengeja beberapa kalimat di cover buku itu terhenti. Tatapannya berubah kosong. Ada rasa lega sekaligus kecewa dihatinya.

Pria berkopyah hitam di sampingnya sama sekali tak menyangkal bahwa dia memang mempunyai hubungan dengan wanita lain sebelumnya. Hal itu yang membuat Nuri sedikit kecewa. Namun juga ada sedikit lega, karena pria itu mengatakan telah selesai dengan masa lalunya.

"Mas Faqih, yakin?" Nuri masih mencoba memastikan.

"Insyaallah." Gus Faqih mengunci mulutnya yang sebenarnya ingin bertanya ada apa. Karena dia terlalu malas untuk menjawab pertanyaan Nuri jika itu menyangkut Sarah.

"Baiklah kalau begitu, saya hanya ingin menanyakan itu."

"Dek Nuri kapan pulang ke Banyuwangi?"

"Insyaallah secepatnya. Karena masih ada saudara yang masuk rumah sakit di sini."

Mungkinkah itu Sarah? Batin Gus Faqih.

Kenapa dia tidak bertanya siapa yang sakit? Nuri masih menunggu Gus Faqih untuk menanyakan hal itu.

"Kalau begitu, salam buat abah dan umi."

"Iya, Mas. Saya pamit dulu kalau begitu. Assalamu'alaikum."

Nuri melangkah pergi dengan seorang wanita lain yang tadinya berada tak jauh dari mereka. Gus Faqih sendiri baru menyadari kehadiran wanita itu saat Nuri menautkan tangannya pada lengan gadis bertunik putih tersebut.



Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang