☔'33

281 64 3
                                    

Janji jangan nangis ya ...

𝙃𝙖𝙥𝙥𝙮 𝙍𝙚𝙖𝙙𝙞𝙣𝙜🌿


Laila yang baru saja selesai menelan potongan roti terakhirnya sedikit bingung saat mobil Gus Faqih berbelok ke arah jalan rumahnya. Setelah meminum air, dia pun bertanya. "Ngapunten, Guse. Ini mau ke mana, nggeh?"

Gus Faqih dan Abdul berpandangan. Sementara Laila masih berusaha berprasangka baik.

"Apa ada yang mau didatangi di sekitar sini?" tanyanya lagi.

"Mbahti yang nyuruh kita ke sini."

"Oh, nggeh. Ngapunten!"

Laila tak bertanya lagi. Matanya terus awas melempar pandang ke sisi jalan. Hingga saat memasuki gang menuju rumahnya, dia melihat banyak orang yang hilir mudik di sepanjang jalan. Perasaannya mulai tak enak.

Benar saja, pekarangan lebar di depan rumahnya sudah dipenuhi oleh para tetangga. Beberapa mobil milik saudara jauhnya juga nampak terparkir di halaman tetangga depannya. Lehernya memutar, mencari petunjuk ada kejadian apa sebenarnya. Tatapannya berhenti di satu titik. Bendera kuning yang di semat pada sebuah pohon di pojokan pagar rumahnya.

Gus Faqih turun lebih dulu lalu membukakan pintu mobil untuk Laila. Gadis itu sendiri masih terpaku di tempatnya. Kakinya seolah tak ingin turun dari mobil.

"Laila!" Seorang wanita paruh baya menghambur ke arahnya. Menyentuh lengannya dan membantunya untuk turun dari mobil.

Kaki Laila menapak tanah dengan perlahan. Dia masih menolak semua kemungkinan terburuk yang kini berputar di otaknya. Nggak mungkin. Ini nggak mungkin 'kan, ya Allah. Nggak mungkin.

Gus Faqih menatap iba gadis yang kini tengah dipapah menuju rumahnya. Ada yang ikut sakit di relung hatinya. Seolah tak rela melihat keadaan Laila saat ini.

Tak hanya Gus Faqih, setiap orang yang hadir di sana turut menatap iba pada gadis mungil itu. Beberapa di antaranya bahkan ada mencoba menyembunyikan air mata lewat sapuan tangan dan hijab mereka. Tak sampai hati melihat Laila yang masih terlihat begitu kuat tak menangis.

Ruang tamu yang hanya ada kursi pojok dari kayu mahoni kini berubah luas. Kursinya telah mengungsi entah ke mana. Di tengah-tengah ruangan ada wanita sepuh yang sudah selesai dikafani. Hanya bagian wajahnya saja yang masih belum ditutup. Wajah yang memang hanya menunggu Laila untuk melihatnya.

Laila terhenyak. Dadanya terasa sesak. Kerongkongan yang baru beberapa menit lalu tersiram air kini terasa kering. Suaranya pun ikut tercekat. Bacaan surah yasin makin membuatnya membeku.

Satu adegan yang mampu membuat semua orang yang hadir di sana mengurai air mata. Hingga akhirnya kaki Laila tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Ia ambruk bersamaan dengan tangisnya yang pecah.

"Astaghfirullah ..., Mbah ...!" Lirih suaranya makin menyayat hati yang mendengarnya.

Nyai Hasanah bangkit dari tempatnya setelah memberi isyarat agar meneruskan bacaan yasin yang sempat terhenti karena kehadiran Laila. Ia pun langsung memeluk Laila sambil membisikkan kekuatan untuk gadis itu.

"Sabar, Nduk! Allah lebih sayang sama si mbah. Kamu harus ikhlas."

Nyai Hasanah juga tak bisa menahan bulir bening yang kini sudah ikut mengalir di pipinya. Suaranya bergetar lirih, sementara tangannya kirinya merengkuh tubuh kecil di sampingnya.

"Allah ..., saya ... aah, saya belum ... Allah, Bu Nyai ...."

Nyai Hasanah makin mempererat rengkuhannya. Ia tahu mungkin hal itu tak bisa membantu banyak. Namun setidaknya dia berharap hal itu bisa membuat Laila tahu, bahwa dia tidak sendirian.

"Saya ... belum bisa ... ngebahagiain si mbah. Tapi ...." Laila tak sanggup lagi melanjutkan ucapannya yang terbata-bata. Tangannya menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. Beberapa saat kemudian pandangannya mengabur lalu gelap. Laila tak sadarkan diri.

Rih︠

Kipas angin berputar dalam sebuah ruangan kamar berukuran 3x3 meter persegi itu. Seorang gadis yang sejak tadi pingsan kini sudah sadar. Di sampingnya duduk dua orang wanita. Salah satunya Nyai Hasanah. Sementara wanita paruh baya yang lain adalah saudara jauh si gadis yang tadi memapahnya dari dalam mobil.

Di tangan gadis itu terdapat sebuah gelas berisi air. Ia baru saja selesai meneguknya barusan. Sesekali dia juga menyeka bulir bening yang terus mengalir dari sudut matanya.

"Nduk, nangis ndak papa, bersedih juga ndak pa-pa. Tapi jangan sampai kamu tidak menerima ketetapan takdir Allah, ya, Nduk! Ndak apik."

Gadis itu tertunduk, isaknya semakin terdengar. Allah ..., maafkan aku! Aku hanya belum merasa sempurna membahagiakan si mbah. Pengabdianku padanya pun hanya sebatas saat aku berlibur dari pesantren. Batinnya mengerang tak berdaya. Kini tak ada lagi yang menjadi penguatnya.

Setelah kepergian kedua orang tuanya, wanita renta itu satu-satunya orang yang menjadi penyemangatnya, pelindung dan juga pengganti kedua orang tuanya. Meski sangat jarang Laila berkeluh kesah padanya karena tak ingin menambah beban si mbah, tapi tetap saja, kini wanita yang menjadi dunianya juga telah diambil oleh Allah.

Bagaimana dia tidak ingin bertanya pada Allah, kenapa ini terjadi padanya? Kenapa orang-orang yang berada di dekatnya selalu diambil lebih dulu? Apa salahnya? Apa yang membuat Allah ingin dia menapaki hidup ini sendirian saja? Apa dirinya dilahirkan dengan sebuah kutukan?

"Insyaallah si mbah, husnul khatimah, Nduk. Tadi katanya tetangga sempat sholat duha dulu. Meninggalnya masih di atas sajadah, karena memang mau ke tetangga sebelah buat kenduren. Sing ikhlas, yo, Nduk! Biar si mbah tenang di sana."

Masyaallah, Mbah ...! Tangis Laila pecah. Nyai Hasanah langsung merengkuh gadis mungil itu ke dalam pelukannya. Mengelusnya perlahan sembari menyuruh Laila untuk terus beristighfar. Sudut matanya ikut basah.

Nyai Hasanah mungkin tidak bisa berkata bahwa dia mengerti akan perasaan Laila. Karena memang dia tidak pernah berada pada posisi yang sama dengannya. Bagaimana gadis muda itu harus melanjutkan hidupnya sendirian setelah ini.

Kakek Laila, salah satu pengabdi setia di pesantrennya. Begitu juga neneknya yang selalu bisa mengerti setiap kali suaminya diajak serta oleh Kyai Maksum ke luar kota. Bahkan di saat sang nenek harus melahirkan putra pertamanya, yang tak lain adalah ayah Laila. Dia tengah berada di Bandung bersama dengan keluarga besar Kyai Maksum. Dan Mbah Pakmi sama sekali tidak mengeluh sedikitpun tentang itu. Wanita itu justru mendukung suaminya untuk tetap berada di sisi Kyai Maksum.

Tidak sampai di situ. Nenek Laila bahkan menyuruh putra tunggalnya agar ikut mengabdi di pesantren. Menjadi teman sepermainan sekaligus kakak bagi Kyai Mushab, abah dari Gus Faqih. Menjelang pernikahan Kyai Mushab, Anton Ayah Laila juga ikut mendampingi Kyai Mushab ke Pesantren Al-Falah.

Malang, Kyai Mushab hanya tahu bahwa Anton memiliki seorang anak tapi tak sempat mengenalnya hingga Anton dan istrinya kecelakaan. Beruntung, Nyai Hasanah tahu semua itu. Itulah sebabnya, dia langsung mengiyakan permintaan Mbah Pakmi saat meminta tolong untuk menempatkan Laila di sana. Dia bahkan membiayai semua pendidikan Laila. Jika Laila meminta untuk melanjutkan studinya ke jenjang universitaspun, dia sudah siap untuk itu. Tapi sayang, Laila menolak. Gadis manis itu memilih untuk selalu dekat dirinya saja. Persis seperti kakek dan juga ayahnya.

Tebece

Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang