☔'11

351 74 7
                                    

Happy Reading🌵

Expander hitam milik Gus Faqih memasuki areal sebuah pesantren bernama Baitul Mukhlisin. Diikuti oleh sebuah mobil Avanza berwarna putih di belakangnya. Dua orang santri yang bertugas jaga di portal pertama nampak keluar dari pos. Salah satunya mendekat ke arah mobil.

Setelah melakukan prosedur standar untuk para tamu, dengan sopan santri itu langsung mempersilahkan dua mobil di depannya untuk memasuki kawasan wajib berbusana muslim itu. Bahkan, ia langsung berlari kecil di depan mobil, menjadi penunjuk arah menuju kediaman Kyai Nawawi. Pemilik sekaligus pengasuh pesantren.

Rombongan keluarga Gus Faqih diarahkan untuk memarkir mobil di samping halaman kediaman pengasuh. Berjejer dengan mobil milik keluarga pengasuh juga. Santri yang tadi mengantar mereka pun masuk lebih dulu ke halaman pengasuh. Berbicara dengan seorang laki-laki muda lainnya yang keluar dari dalam kediaman pengasuh.

Santri berbaju putih itu kembali menuju rombongan keluarga Gus Faqih yang sudah turun dari mobil. Nyai Zainab bergegas mendekati Gus Faqih. Merapikan penampilan anaknya sebentar sambil lalu membisikkan sesuatu di telinganya yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Gus Faqih.

Nyai Zainab beralih pada buah tangan yang sudah mereka siapkan untuk keluarga Kyai Nawawi. Dua orang khadimah yang dibawa ikut membantu membawakan oleh-oleh itu. Selebihnya, di bawakan oleh santri putra yang tadi masih menunggu di sana.

Pintu kediaman Kyai Nawawi terbuka. Seraut wajah kharismatik terlihat keluar dari dalam. Diikuti oleh seorang wanita berwajah teduh di belakangnya. Mereka sama-sama menggunakan pakaian warna putih.

Tak berselang lama seorang pria seumuran Kyai Mushab juga keluar bersama dengan istrinya. Dia adalah Kyai Makruf. Putra dari Kyai Nawawi.

Senyum mereka lantas terurai sangat lebar sambil lalu merentangkan tangan dan mengucapkan ahlan wasahlan untuk keluarga Gus Faqih. Kyai Maksum, yang tak lain adalah mbah akung Gus Faqih langsung memeluk erat Kyai Nawawi sambil mengucap salam.

"Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di sini." Kyai Nawawi nampak bahagia sambil sesekali menepuk pundak Kyai Maksum.

Persahabatan itu ada diantara dua kyai sepuh ini. Kyai Nawawi dan Kyai Maksum. Sementara Kyai Makruf dan Kyai Mushab hanya pernah sekampus di Al-Azhar tapi tak saling mengenal. Namun sepertinya, persahabatan mereka akan dilanjutkan oleh abah dari Gus Faqih melihat cara mereka yang langsung akrab pada pertemuan pertama. Begitu juga dengan para bu nyai yang langsung tanpa segan saling bertegur sapa.

Kedatangan keluarga Gus Faqih nyatanya memang sudah ditunggu sejak tadi. Terlihat dari ruangan yang sudah diset sangat rapi lengkap dengan berbagai macam jenis sajian di dalamnya. Ruang tengah yang cukup luas menjadi tempat pertemuan mereka.

Karena hanya keluarga inti saja yang hadir, maka tidak diperlukan adanya pemisahan antara tamu laki-laki dan perempuan. Mereka hanya dipisah dengan tabir dari horden berwarna putih transparan. Meski ini bukan keinginan Gus Faqih, tetap saja ia merasa berdebar berada dalam moment itu.

Gus Faqih lebih banyak diam karena memang perbincangan didominasi oleh para orang tua yang saling bertukar cerita sambil mengenang masa lalu. Sesekali saja ia menjawab pertanyaan - pertanyaan yang dilontarkan terhadapnya. Mengenai apa saja yang sudah dipelajari, yang sudah dikuasai, atau bahkan sudah pernah melakukan safar hingga ke mana saja.

Kudapan yang disajikan lebih banyak kudapan dari timur tengah. Karena memang, salah satu menantu Kyai Makruf kebetulan berasal dari sana. Sehingga, tak perlu menunggu waktu lebaran haji untuk mendapatkan cemilan-cemilan seperti itu.

Tak lama kemudian, seorang gadis berbusana syar'i keluar dengan membawa nampan berisi teko dan beberapa gelas. Wajahnya tertunduk, seolah tak ingin menampakkannya sama sekali. Kulit kuning langsat terlihat dari jari jemarinya yang cukup lentik ketika menuang Turkish Tea dari teko ke dalam gelas-gelas kosong di nampannya.

Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang