☔'22

379 69 3
                                    

Happy Reading🌼

Ini bukan kali pertama Laila ke Pesantren Al-Falah. Jauh sebelum Gus Faqih pulang ke Indonesia, Nyai Hasanah sudah sering mengajaknya ke sana. Namun kali ini rasanya sangat berbeda bagi gadis berusia dua puluhan itu. Jantungnya berdebar cepat sejak mobil memasuki portal pertama Pondok Pesantren. Bahkan bertambah cepat saat mobil kijang berwarna hitam itu masuk ke halaman parkir dhalem.

Pupil matanya sedikit takut untuk mengedarkan pandangan seperti biasa. Bagaimana jika tiba-tiba Gus Faqih berdiri di sana, atau bagaimana jika ternyata pandangannya bersirobok dengan pria itu? Betapa akan sangat memalukan baginya.

Humairo sudah bangun dari tidurnya. Ia menolak untuk digendong oleh Laila. Gadis kecil itu malah langsung berlari masuk ke dalam rumah bermodel semi modern di depannya. Nyai Hasanah tersenyum, ekor matanya mengikuti langkah kecil Humairo. Sementara Laila langsung menurunkan beberapa oleh-oleh yang dibawa Nyai Hasanah dan mengekor di belakang wanita sepuh itu.

"Loh, Umi! Kenapa ndak ngabarin dulu kalau mau ke sini?" Nyai Zubda gupuh menyambut Nyai Hasanah. Ia baru saja keluar dari kamar setelah salah satu khadamah mengabari tentang kedatangan sang mertua. Tubuhnya masih terbalut mukena putih dengan bordir penuh di bagian tepi wajah.

"Masa mau maen ke rumah anak saja perlu ngabarin."

"Maksudnya kalau ngabarin kan, bisa saya sediakan sesuatu yang spesial begitu, Mi."

"Hallah, kayak sama mertua baru saja." Nyai Hasanah terkekeh.

Nyai Zubda ikut tersenyum. Seperti biasa, Laila pun langsung mengikuti salah satu khadamah di sana masuk ke ruang makan. Menyiapkan apa yang dia bawa untuk ikut dihidangkan di meja makan. Melihat dari posisi lauk yang sepertinya belum tersentuh, mungkin keluarga Nyai Zubda masih belum sarapan. Netranya melirik jam dinding di depannya, masih jam 8.30.

"Bu nyai belum sarapan, Mbak?" tanya Laila.

"Nggeh, belum, Mbak. Biasanya masih nunggu abah yai selesai maknani kitab."

"Oh, alhamdulillah kalau begitu." Laila tersenyum senang. Itu artinya Gus Faqih pasti juga belum sarapan.

"Wah, Mbak Laila bikin apa ini sekarang, Mbak?" khadamah itu menunjuk udang krispi yang Laila pindah ke atas piring.

"Kayak di tivi-tivi gitu," ujar khadamah itu lagi.

Laila lagi-lagi hanya tersenyum. "Namanya udang krispi, kesukaan guse," jawabnya kemudian.

"Oalah, udang kriuk."

"Haha, iya-iya, itu."

"Mbak Laila, maem." Tiba-tiba saja tangan kecil Humairo menarik gamis Laila. Sementara satu tangan lainnya menunjuk udang di tangan Laila.

"Sama nasi, ya?" tawar Laila.

Gadis kecil itu menggeleng. Mau tidak mau Laila pun akhirnya memberikan satu udang untuknya. Dengan cepat ia menyambar udang dari tangan Laila dan langsung pergi lagi entah ke mana.

Laila tak perlu khawatir untuk mengikuti atau menunggui Humairo di rumah itu. Karena di sana juga banyak khadamah yang akan menjaganya. Meski untuk urusan krusial tetap harus bersama Laila, seperti ke kamar mandi, ataupun urusan makan.

Untuk selanjutnya, sambil menghabiskan waktu menunggu biasanya Laila akan lebih banyak ikut berkutat di dapur bersama para khadamah yang lain. Sekilas ia juga mendengar mereka tengah membicarakan Gus Faqih yang selalu berhasil membuat para santri jatuh cinta karena keramahannya. Ada senyum disertai gelengan kepala dari Laila yang mendengarnya, jadi Gus Faqih memang ramah pada semua orang? Bodohnya dia yang berpikir bahwa pria itu hanya bersikap begitu padanya.

Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang