☔'19

336 59 3
                                    

Happy Reading☔

Angin berembus perlahan di sudut kota. Mengayun lembut ujung hijab dua gadis yang saat ini tengah berdiri berdampingan. Mereka terdiam cukup lama di sana. Di bawah pohon nan rindang yang menawarkan pemandangan indah di depannya.

Nuri sengaja meminta sang supir untuk berhenti sejenak di jalan menuju pulang ke rumah Sarah. Sebuah jalan berkelok di tengah hutan. Tempat yang juga lumrah dijadikan untuk spot foto bagi pengendara jalan yang ingin beristirahat sejenak. Sambil sesekali menikmati keindahan di bawah bukit.

Nuri menghela nafas perlahan kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Selembar foto seorang pemuda berkopyah hitam. Foto yang sudah tak asing lagi bagi Sarah.

Gadis cantik itu tersenyum sembari menunjukkan foto itu pada Sarah. Ia bahkan masih berpura-pura tidak tahu tentang kejadian tadi. Nuri juga berpura-pura tidak menyadari air mata Sarah yang masih sesekali dihapus dengan punggung tangannya.

"Aku menerima foto ini sebulan yang lalu, sebelum kedatangannya ke rumah," terang Nuri lirih. Sarah hanya melirik sekilas foto di tangan Nuri. Sepertinya dia tahu akan ke mana arah pembicaraan Nuri.

"Saat pertama kali melihat fotonya, nggak tahu kenapa, aku langsung menyukainya. Wajahnya seolah meneduhkan, meski terlihat serius."

Nuri lagi-lagi mengeluarkan nafas panjang. Tatapannya kini beralih ke depan sana.

"Kemarin waktu ta'aruf, dia sempat bertanya padaku tentang masa lalu. Aku nggak tahu, kalau ternyata mungkin masa lalu yang dia maksud adalah kamu."

Sarah membuang muka ke arah lain. Matanya kembali memanas. Bersamaan dengan rasa nyeri di bagian dadanya.

"Aku sama sekali tak mau mempermasalahkan tentang masa lalunya. Bagiku, masa lalu adalah sesuatu yang sudah berakhir. Baik itu masa laluku, ataupun masa lalunya. Tidak penting lagi untuk kita bahas hari ini. Apalagi jika kita memang sudah berkomitmen untuk membuka lembaran baru bersama. Bukankah begitu, Sarah?"

Nuri menoleh pada gadis yang tengah menunduk di sampingnya. Gadis yang saat itu tengah menyembunyikan air matanya. Pertanyaan Nuri menguap. Sarah sama sekali tak bisa menjawabnya meski apa yang dikatakan Nuri itu benar.

Nuri menelan salivanya, lalu kembali memalingkan wajah karena tak mendapat jawaban dari Sarah. Matanya sedikit menyipit, memperhatikan awan yang berarak perlahan di bawah warna birunya langit siang itu. Suasana cerah saat itu sama sekali tak menggambarkan suasana hati mereka berdua.

"Aku nggak tahu, sedalam apa kisah kamu sama dia. Tapi setidaknya sebagai seorang wanita yang sudah pernah menimba ilmu hingga ke Timur Tengah, kamu pasti lebih paham 'kan?"

Sarah terpaku dengan perkataan Nuri. Gadis itu memang tidak secara langsung mengatakannya. Namun dia paham maksud dari ucapan Nuri.

Sebagai seorang wanita yang sudah memiliki pendamping, seharusnya dia meninggalkan masa lalunya di belakang. Apalagi jika masa lalu itu berkaitan dengan laki-laki lain. Seharusnya dia kini lebih fokus pada pengabdian dirinya sebagai seorang istri. Bukan malah mempermasalahkan hubungan masa lalunya dengan orang lain.

"Mungkin aku terlihat egois bagimu, Sarah. Tapi aku pikir, akan lebih egois lagi jika aku tak melanjutkan hidupku ke depan. Apalagi ini nggak hanya berkaitan tentang aku dan dia. Ada dua keluarga juga yang sudah terikat dengan kami sekarang. Aku harap kamu bisa ikhlas, dan memahami posisi kami berdua," pinta Nuri sepenuh hati.

Dia juga terluka. Dia tahu konsekuensi yang akan dia dapat dari hubungannya bersama lelaki yang mungkin masih belum selesai dengan masa lalunya itu. Namun, dia bukan wanita yang pantang menyerah. Jika Allah memang menakdirkan Gus Faqih berjodoh dengannya, maka Allah pulalah yang pasti akan memalingkan hati Gus Faqih padanya dari Sarah.

Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang