Happy Reading 🌿
Gus Faqih sudah berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawa sepanjang dirinya makan siang bersama dengan mbah kung dan mbah tinya. Bayangan Laila yang terjatuh di depannya benar-benar membuat bibirnya tak berhenti tersenyum geli. Dia bisa bayangkan bagaimana rasa malu yang Laila rasakan. Terlebih gadis itu jatuh di depan para santri putra.
Biasanya siang-siang begini Laila akan membantu menyiapkan makan siang untuk Kyai Maksum. Tapi karena malu untuk bertemu Gus Faqih, dia malah mengurung diri di kamar sambil merutuki diri. Ada salah satu temannya yang ikut membantu mengompres pinggangnya dengan botol berisi air hangat. Bahkan temannya yang hanya mendengar cerita Laila saja sudah tak berhenti tertawa. Apalagi Gus Faqih yang nyata-nyata menonton adegan itu.
"Ish, terus ketawa, terooos!" sungut Laila.
"Lagian kamu tuh kok ndak hati-hati." Teman Laila yang bernah Asih itu kembali tertawa.
"Trus, trus, guse bilang gimana pas lihat kamu jatuh?"
"Ledek terooss!"
"Haha, ya maaf. Aku ndak bisa bayangin gimana malunya kamu, loh."
Laila yang memang tengah tengkurap langsung membenamkan wajahnya ke bantal. Bagaimana dia harus menghadapi Gus Faqih nanti? Nggak mungkin dia bisa terus menerus menghindar dari laki-laki itu. Secara tugasnya untuk menjaga Humairo akan selalu memaksa dia untuk masuk ke dhalem. Rasa kesalnya bertambah mendengar cekikikan temannya yang masih tak berhenti.
Rih︠♡
Gus Faqih terbangun di tengah malam. Pasalnya lagi-lagi dia memimpikan wanita yang sama. Laila.
Dalam mimpinya gadis itu tengah merajut sepasang sepatu mungil berwarna putih. Sepertinya sepatu itu untuk seorang bayi laki-laki, karena tidak ada aksen yang menunjukkan bahwa itu untuk bayi perempuan seperti pita ataupun bunga. Sementara dirinya hanya memperhatikan dari balik jendela.
Tak berselang lama, Laila menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Membuat debar jantungnya makin cepat. Hingga ia pun terbangun dari tidurnya.
Selepas melaksanakan sholat malam, pria itu melangkahkan kaki ke halaman depan rumah mbah kungnya. Suara jangkrik terdengar bersahutan. Suasana malam yang dingin meski tak ada hembusan angin mulai menyapa.
Helaan nafas pelan pun ia keluarkan. Wajahnya sesekali mendongak ke atas, mencari sisa sinar rembulan dan gemintang yang masih bersembunyi di balik awan. Kepulangannya ke Indonesia kali ini di sambut dengan hujan. Hampir setiap hari langit menyembunyikan sinar mentari dan juga rembulan.
Gus Faqih ingat betul, waktu kecil dia paling suka menghabiskan waktu di tempat itu. Makanya untuk melatih kemandiriannya, abah dan uminya membiarkan Gus Faqih kecil tumbuh di sana. Namun sayang, Kyai Maksum sang mbah rupanya punya cara berbeda dalam mendidik kemandirian. Gus Faqih kecil tidak boleh diam di dhalem kecuali hari jumat. Dia harus berbaur bersama para santri di asrama. Tidak boleh juga mendapat perlakuan istimewa kecuali saat bersama Kyai Maksum.
Gus Faqih mengusap kasar wajahnya. Bayangan Laila kembali menyeruak. Pertemuan pertama mereka, wajah pemalu Laila, bahkan ucapan ceplas ceplos Laila waktu itu. Aah ..., ini pasti karena mimpi itu, batinnya.
Sebuah dehaman membuyarkan lamunan Gus Faqih. Didapatinya Kyai Maksum yang sudah berdiri di bingkai pintu menatapnya. Lekas ia beranjak menghampiri lalu ikut duduk di bale-bale yang tersedia di teras depan.
"Ndak murojaah, Le?"
"Sampun, Mbah Kung."
Kyai Maksum berdeham lagi. "Ada apa?" tanyanya kemudian seolah tahu dengan kebimbangan Gus Faqih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Itu Hujan༊*·˚
Teen FictionKenapa memilih bertahan? Karena rasa yang diberi Tuhan tak perlu dengan alasan. (Laila - Faqih)