☔'4

411 78 9
                                    


Happy reading🐾

Hujan deras sudah sepenuhnya hilang. Menyisakan titik-titik yang masih tersisa di antara cekungan dedaunan. Adzan ‘ashar juga sudah berkumandang. Kyai Maksum dan Gus Faqih juga sudah bersiap ke musholla putra.

Tak semua santri mengikuti sholat berjamaah di masjid. Sebagian juga berjamaah di musholla yang letaknya jauh lebih dekat dengan asrama mereka.

Masjid sendiri terletak di paling ujung barat dari pesantren. Tepat di tengah-tengah perkantoran pesantren yang juga berjejer dengan ruang-ruang kegiatan ektrakurikuler santri.

Ning Humairo kecil yang baru saja bangun dari tidurnya langsung berlari menuju Nyai Hasanah. Meletakkan kepalanya di pangkuan wanita sepuh itu dengan manja.

Mengabaikan Gus Faqih yang memanggilnya berkali-kali.
Ning Humairo, putri kedua dari Kyai Mansur dan Nyai Zubda yang notabene adalah putra kedua dari Kyai Maksum, atau adik dari Kyai Mushab. Sepupu Gus Faqih yang masih berumur empat tahun itu lantas membuang muka dari sepupu yang coba menggodanya. Gus Faqih tersenyum sambil lalu membetulkan kancing lengan bajunya.

“Mbak Laila sudah datang, loh.”

Nyai Hasanah membelai rambut Ning Humairo yang lebih sering dipanggil Ning Iro itu.

“Oya? Mana?” suara kecilnya sedikit mengambil perhatian dari Gus Faqih lagi.

“Di kamarnya mungkin.”

“Iro mau ke sana ya Mbahti …!”

Ia menarik kepala mungilnya dari pangkuan Nyai Hasanah, lalu secepat kilat berlari ke arah pintu samping. Belum sempat Nyai Hasanah menyelesaikan ucapannya untuk berhati-hati karena licin, sudah terdengar bunyi kedubrak dari arah sana, disusul dengan tangis kecil yang langsung pecah. Khas anak kecil.

“Astagfirullah …!” Nyai Hasanah sedikit terkejut.

Semua orang lantas berlari ke arah asal suara, tak terkecuali Gus Faqih yang sebelumnya sudah siap berangkat ke musholla.

Ning Iro yang masih menangis kini berada di pangkuan seorang wanita bergamis hitam. Tangan mungilnya nampak memeluk wanita itu erat-erat.

Seolah-olah tengah mengadukan rasa sakit yang baru saja di alaminya.
Nyai Hasanah mengelus dadanya lega. Sementara Gus Faqih menyambungkan alisnya, terus menatap pada bunga emas yang dibordir di setiap sisi lengan wanita di depannya. Sepertinya dia pernah melihat model border itu. Tapi di mana?

Kyai Maksum menepuk pundak Gus Faqih, memberi kode dengan gerakan kepalanya untuk segera berangkat ke sana. Gus Faqih sudah pergi saat Laila bangun dari duduknya sambil menggendong Ning Iro. Meminta ijin pada Nyai Hasanah untuk membawa Ning Iro bersamanya.

“Ning Iro mau ke mana? Kok sampai jatuh?” tanya Laila lembut masih sambil mengelus-ngelus punggung Ning Iro.

“Mau ke Mbak Laila.” Suara Ning Iro masih terbata karena sesenggukan, meski tangisnya sudah reda.

“Oalah … “ Laila tersenyum lalu memeluk Ning Iro gemas.

“Kangen ya?” tanyanya lagi.

Ning Iro tak menjawab lagi. Ia hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali di dalam pelukan Laila. Sementara Gus Faqih yang masih terus berfikir tentang border di gamis hitam itu sedikit terkejut saat Kyai Maksum kembali menepuk pundaknya.

“Ayo, maju!” Kyai Maksum menunjuk tempat imam yang masih kosong di depannya.

“Mbah Kung saja!”

“Lah, kesini ngapain kalau cuma mau jadi jamaah. Ayo!”

Seperti biasa, Gus Faqih hanya mampu memperlihatkan barisan gigi putihnya seraya menurut pada perintah Kyai Maksum.


Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang