☔'37

308 66 12
                                    

Happy Reading 🌾

Laila duduk dengan gugup di samping Nyai Hasanah. Begitu juga dengan Gus Faqih masih mencoba berusaha bersikap tenang di depan mbah kung dan mbahtinya. Nggak lucu kalau misalnya dia terlihat jauh lebih gugup dibanding Laila.

Suami Ning Zubda mengajak istrinya dan Humairo keluar. Dia tidak ingin istrinya ikut campur dalam masalah itu. Karena ini masalah ibadah terpanjang dalam hidup manusia.

Suasana di dalam ruangan itu terasa dingin. Laila meremas jemarinya, sementara Gus Faqih menundukkan wajah. Nyai Hasanah berulang kali menatap wajah Gus Faqih dan Laila bergantian. Hingga Kyai Maksum berdeham.

"Jadi gimana? Kapan?" tanya Kyai Maksum sembari menjumput pisang goreng yang tersaji di atas meja.

"Jadi Abah sudah tahu?" Nyai Hasanah balik bertanya.

"Tau apa?"

"Faqih sama Laila?"

"Lah, kan anaknya sendiri yang bilang barusan."

"Faqih, kamu sudah bilang sama abah dan umimu?" Nyai Hasanah beralih pada Gus Faqih.

Gelengan pelan Gus Faqih membuat Nyai Hasanah menghela nafas perlahan. Sontak tangannya mengetok kepala Gus Faqih dengan tongkat mainan Humairoh. Kyai Maksum tersenyum geli melihat istrinya yang nampak gemas pada cucu kesayangannya itu.

"Kamu ini! Memangnya nikah bisa buat becandaan?"

"Duh!" Gus Faqih meringis, tangannya langsung mengusap kepalanya yang baru saja kena getok.

Ucapan Nyai Hasanah membuat Laila sadar. Tentu saja Gus Faqih tidak mungkin serius mengatakan akan menikahinya. Lagipula siapa dirinya yang bisa bermimpi untuk menjadi istri dari putra seorang kyai. Candaan Gus Faqih kali ini cukup kelewatan menurutnya.

"Nikah itu salah satu ibadah yang paling lama bagi manusia. Makanya ndak bisa sembarangan. Nikah juga bukan perkara siap atau ndak siap, tapi juga paham sama tanggung jawab yang harus diemban setelah menikah. Tanggung jawab sebagai suami, ataupun tanggung jawab sebagai istri. Belum lagi nanti jika dipercaya punya momongan. Tanggung jawabnya bakal lebih berat."

Kyai Maksum meraih gelas air di depannya. Ia lantas meminum air dari gelas itu tanpa bersuara. Tak mau menyela ucapan istrinya untuk menjaga harga diri Nyai Hasanah, meski ada beberapa hal yang ingin sekali ia sampaikan.

Yai sepuh itu mengerti maksud dari ucapan Nyai Hasanah yang takut jika ternyata cucunya memilih Laila hanya karena rasa kasihan saja. Atau mungkin takut akan gunjingan orang lain tentang batalnya pertunangan antara cucunya dengan salah satu putri kyai dikarenakan Laila. Ia melirik ke arah Nyai Hasanah lalu menggeleng pelan. Memberi isyarat agar istrinya tak melanjutkan lagi ucapannya untuk menjaga perasaan Laila.

Nyai Hasanah menghela nafas berat saat matanya menatap gadis yang nampak tertunduk di sampingnya. Perlahan ia menggenggam tangan Laila. Gadis bergamis hijau lumut itu tak berani mengangkat wajah.

"Nduk, kami minta maaf kalau hal ini membuat kamu terkejut. Kami juga minta maaf, kalau ucapan Faqih tadi membuat kamu ndak nyaman. Kami harap kamu tidak berpikir yang bukan-bukan, ya, Nduk!"

Laila mengangguk pelan, "enggeh, Bu Nyai," jawabnya lirih.


Rih︠



"Gimana kalau ternyata Faqih memang tidak bercanda?"

"Maksud, Abah?"

Nyai Hasanah menutup kitab taklimul muata'alim di tangannya lalu bergegas menghampiri Kyai Maksum yang baru saja datang dari masjid selepas isya. Membantunya menyimpan surban dibalik pintu. Suaminya memang punya kebiasaan tidak turun dari masjid sampai selesai isya. Jeda setelah maghrib biasanya digunakan untuk sekedar menerima setoran alquran dari beberapa pengurus pesantren.

Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang