40'☔

362 72 4
                                    

Happy Reading 🌾

"Saya mau minta maaf." Gus Faqih membuka pembicaraan.

Mereka berdua tengah duduk di teras rumah, sementara Mbak Tun dan Kang Abdul sibuk menyiapkan rujak buah di halaman rumah. Lebih tepatnya di bale-bale bambu. Sebagian keluarga jauh Laila termasuk budhe Musyrifah sudah beristirahat di dalam rumah.

"Ndak pa-pa, Guse. Saya paham kalau Guse bercanda." Tanpa bertanya lagi Laila langsung menjawab sesuai dengan pemahamannya.

"Ha? Bagian mana saya yang bercanda?"

Laila mengerjap bingung saat menatap Gus Faqih yang mengangkat alis ke arahnya. Apa dia salah menangkap maksud Gus Faqih?

"Bukannya Guse minta maaf karena kejadian waktu itu?"

"Yang mana?"

Tatapan pria berkoko putih itu membuat Laila salah tingkah. Ah ... kenapa dia harus sok tahu sih? rutuknya. Gus Faqih tersenyum geli melihat Laila yang mulai salah tingkah.

"Hehe, Mbak Cahaya lucu kalau sudah salting."

Laila berdesis lirih sambil menyembunyikan mukanya dengan menunduk.

"Iya, bener. Saya mau minta maaf masalah hal itu. Tapi bukan berarti saya meminta maaf karena bercanda."

Laila menggigit bibir, ingin rasanya ia bertanya lalu? Tapi khawatir malah akan membuat dirinya lebih malu lagi nanti. Namun tak bisa pula untuk menyimpulkan bahwa ucapan guse waktu itu adalah serius.

"Karena waktu itu saya masih belum bisa meyakinkan keinginan saya di depan mbah ti. Makanya dikira bercanda."

Pria berpeci itu melirik Laila yang masih terus saja menunduk. Menerka apa kira-kira yang tengah ada dalam pikiran gadis itu.

"Dimaafin, 'kan?" tanyanya kemudian.

"Nggeh, saya paham."

"Saya ndak minta dipahami, minta dimaafkan."

"Nggeh, maksud saya Guse ndak perlu minta maaf. Guse ndak salah. Jadi ndak ada yang perlu dimaafkan. Nyantai mawon, Guse."

"Hmm, kalau gitu semisal saya mengulang permintaan saya hari ini, Mbak Cahaya mau?"

"Maksudnya?" Kening gadis itu mengernyit.

Gus Faqih berdehem pelan. Ia juga menegakkan badan, seolah ingin menghilangkan kegugupan. Sementara Laila memberanikan diri menatap pria di sampingnya meski dengan degup jantung yang berdebar keras.

"Mbak Cahaya, mau kah jadi pendamping hidup saya?" Akhirnya kalimat itu meluncur dengan mulus juga dari bibirnya. Beberapa detik tatapan mereka beradu. Hanya ada suara detak jantung yang berpacu dengan keras. Suara berisik dari Mbak Tun dan Kang Abdul seolah menghilang tiba-tiba.

Laila menarik pandangannya. Ia menunduk, menatap ubin di kakinya. Pikirannya tak bisa berpikir jernih. Hatinya sibuk bertanya sendiri, mungkinkah guse kali ini bercanda? Bagaimana jika ternyata guse serius? Apa mungkin dirinya bisa dianggap sekufu dengannya? Apa guse sudah bermusyawarah dengan keluarganya? Tapi kenapa Nyai Hasanah tidak menyinggung masalah hal ini tadi? Apa lagi-lagi ini hanya keputusan sepihak dari guse?

"Saya bertanya kesediaan Mbak Cahaya dulu, kalau Mbak Cahaya setuju, baru saya akan memberi tahu keluarga."

Seolah bisa membaca pikiran Laila, Gus Faqih memberi penjelasan. Laila pikir Gus Faqih memang bercanda masalah itu, karena setelah hari itu dia menghilang tanpa kabar. Lalu sekarang, tiba-tiba saja dia membuka lagi harapan yang sudah coba Laila tutup.

"Ngapunten, Guse ...."

Gus Faqih menunggu gadis di sampingnya melanjutkan kalimatnya. Berhadapan dengan Laila dan bertanya langsung padanya ternyata lebih membuatnya gugup. Kali ini dia berharap gadis itu tidak menganggapnya tengah mempermainkan perasaannya.

Rindu Itu Hujan༊*·˚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang