Bab 3

31 4 0
                                    

Hendry paling tidak bisa kalau melihat adik satu-satunya hanya duduk diam dan tidak melakukan apa-apa. Dia paling tidak bisa melihat Erlin tenang selama semenit, tidak bisa! Rasanya itu seperti besok bumi akan kiamat kalau Erlin hanya berdiam diri.

"Woi upil dugong!"

Erlin berdecak saat menyadari adanya pergerakan dari kubu lawan. Memang kakaknya itu adalah musuh bebuyutan Erlin sejak kecil.

"Apaan sih ganggu aja!"

"Tumben lo diem, biasanya juga kayak reog lo."

"Gue ngereog salah, gue kayak barongsai salah, gue diam juga salah. Mau lo tuh apa sih kak?!"

Hendry terperanjat. Gak gitu maksudnya, dia gak mau kena semprot Erlin tapi kok jadinya malah gini.

"Santai bos!"

"Elu sih kak nyari perkara mulu!"

"Serba salah gue jadi kakaknya." Gumam Hendry. Dia memilih melangkah ke halaman daripada berlama-lama di dekat Erlin, bisa dimakan hidup-hidup dia nanti.

"Lin, jalan yuk." Ajak Hendry yang kembali berjalan kearah Erlin.

Erlin melirik kakaknya, tidak biasanya Hendry mengajaknya jalan dijam segini -- paling sering ya malam.

"Kena angin apa lo?"

"Angin segar dari luar. Buruan, mau gak lo?"

"Traktir tapi."

"Iya! Biasanya juga emang gitu kan."

"Yes!"

Secepat kilat gadis itu langsung berlari ke dalam kamarnya, hanya mengambil cardigan serta sling bag-nya lalu kembali lagi ke bawah.

"Ayo."

Hendry menghela pelan. Erlin kalau soal diajak jalan dan ditraktir memang nomor satu, tapi kalau Hendry minta tolong buat ngerjain sesuatu butuh lebih dari 3 jam untuk membujuknya.

"Tuhan, sabarkanlah hamba dalam menghadapi adik hamba ini. Amin."

Erlin mengerlingkan matanya, selalu saja kakaknya itu.

"Lin."

"Hm?"

"Lo beneran cuma bestie sama Daiva?"

Erlin heran, kenapa kakaknya itu selalu memberikan pertanyaan random padanya. Waktu bunda hamil kakaknya dulu, bunda ngidam apa ya sampai kakaknya bisa serandom itu?

"Kak, lo habis makan apaan?"

"Ya gue nanya serius, egeb!"

"Gue juga serius, lo habis makan apaan?"

"Gak ada. Cuma pasta buatan bunda aja tadi siang."

"Terus ngapain lu nanya gitu?"

"Ya karena gue kan kakak lo sambalado! Gue berhak tahu lah adek gue suka siapa, jangan sampai nanti lo tiba-tiba pacaran entah sama siapa terus gue gak tahu dan sesuatu yang gak diinginkan terjadi, gue merasa gak becus lah sebagai kakak lo!"

Erlin mengerjapkan matanya setelah mendengar kata-kata Hendry. Baru kali ini kakaknya ngegas dengan kata-kata berbobot, biasanya ngomelin Erlin terus atau mengganggu Erlin terus.

"Ajaib! Lo gak kerasukan setan kan kak? Atau kerasukan jin-jin apa gitu, aman kan lo?"

Hendry menarik napas dalam. Susah-susah dia menaruh perhatian pada adiknya, malah adiknya kira dia bercanda. Dahlah, memang Erlin tidak bisa diajak bicara serius.

"Serah lo deh. Makan aja tuh pentol sampai habis."

Erlin melanjutkan makannya, dia tidak menghiraukan kakaknya yang mengomel karena kesal pada dirinya. Biarkan saja.

Adolescence [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang