Bab 17

10 3 0
                                    

Daiva menghampiri Erlin di rumahnya sore ini, satu hal yang mengejutkan mengingat pemuda itu sangat menjaga jarak dari Erlin sejak kejadian waktu itu.

Bunda menyambut Daiva dengan sangat baik seperti biasanya, bahkan bunda bertanya, "Daiva kenapa sudah gak pernah main ke rumah?"

"Hehe baru sempat lagi bun, soalnya belakangan ini Daiva sibuk, banyak kegiatan." Jawaban yang bagus. Dan saat Erlin muncul, raut wajah gadis itu langsung berubah saat melihat Daiva.

Bunda tersenyum kearah anak gadisnya yang baru pulang latihan musik, "dek ini ada Daiva dari tadi nungguin kamu pulang. Duduk sini, bunda mau ke belakang dulu." Bunda meninggalkan Erlin dan Daiva berdua di ruang tamu.

"Gue mau bicara sama lo." Ujat Daiva setelah sepersekian detik terdiam.

"Silakan."

"Gak disini."

"Mau dimana lagi?"

"Taman."

Erlin menarik napas, mau tidak mau dia mengikuti Daiva. Erlin sudah tidak marah pada Daiva, karena mengingat Daiva adalah temannya sejak SMP sekaligus cinta pertama Erlin semasa remaja.

Daiva menatap lurus ke depan, kearah anak-anak seusianya dan juga Erlin sedang bermain basket. Dulu Daiva suka mengajak Erlin ke taman ini untuk menemaninya bermain basket, tapi itu dulu sebelum dirinya merubah status persahabatan mereka menjadi seperti sekarang.

"Lo mau ngomong apa?" Tanya Erlin, dia mulai bingung dengan sikap Daiva saat ini.

"Banyak. Tapi yang pertama gue mau tahu, kabar lo."

Erlin berpaling menatap Daiva yang juga tengah menatapnya saat ini. Kalau Vendra melihat ini, dia pasti sudah marah dan tidak akan mau berbicara dengan Erlin atau mungkin Daiva sudah kena tonjok olehnya. "Baik."

Senyum diwajah Daiva melengkung tipis. "Lo, tahu soal teror yang datang ke rumah Rachel?" Tanya Daiva to the point, kini tidak ada basa-basi lagi.

Ah tentang itu, Erlin sudah menduga pemuda itu akan menanyakan ini. "Gue tahu kok, Rachel cerita ke gue."

Senyum tipis itu masih berada disana, belum memudar. "Gue nuduh lo, Lin."

"Gue tahu."

"Dan lo gak marah?"

Erlin tertawa. Kata siapa dia tidak marah? Dia marah, tapi dia juga bisa apa kalau Daiva menuduhnya seperti itu? Menjelaskan pada Daiva kalau bukan dia pelakunya? Pemuda itu tidak akan percaya lagi padanya, jadi memang lebih baik jika Erlin membiarkan saja.

"Gue marah. Lo sahabat gue, kita sahabatan dari kelas 1 SMP tapi lo tega nuduh gue tanpa bukti. Tapi ya gue bisa apa, gue gak bisa apa-apa bahkan untuk ngebuktiin ke lo kalau gue salah."

"Maafin gue, Lin."

Erlin tersenyum. Dia tidak tahu kata maaf itu untuk apa, mungkinkah sudah mewakili semuanya atau hanya bagian ini saja.

Namun kalau berbicara soal maaf, Erlin juga ingin meminta maaf kepada Daiva tentang semua yang terjadi belakangan ini.

"Gue juga minta maaf, Dav, buat semuanya."

Mereka berdua saling bertukar senyum, kemudian Daiva menarik Erlin ke dalam pelukannya. Dia sayang pada sahabatnya itu, namun emosi yang tidak bisa dikendalikannya menghancurkan hubungan mereka.

"Jangan asal marah-marah lagi lo ke gue."

"Iya gak. Janji deh," Daiva dan Erlin menautkan jari kelingking mereka lalu tertawa bersama. Mereka jadi mengenang masa SMP saat Daiva lupa mengajak Erlin untuk menontonnya bermain basket, saat itu Erlin ngambek dan sama sekali tidak mau berbicara dengan Daiva, didatangi ke rumah pun Erlin tidak bersedia menemuinya sampai Daiva membujuknya untuk jalan-jalan ke taman dan membelikannya coklat sebagai permintaan maaf. "Makasih Lin, sudah jadi sahabat terbaik gue selama ini."

Adolescence [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang