Bab 12

16 4 0
                                    

Daiva diam-diam mengawasi Erlin, setiap hal yang dilakukan oleh Erlin di sekolah maupun di luar itu Daiva selalu mengawasinya. Bukan karena khawatir atau karena sayang pada sahabatnya itu, namun karena kecurigaannya terhadap Erlin yang harus ia buktikan.

Namun sejauh matanya memandang dia masih belum menemukan bukti apa-apa yang menyatakan Erlin bersalah, gadis itu bahkan semakin aktif mengikuti kegiatan di dalam dan di luar sekolah -- dia bahkan memiliki kelas musik sekarang.

"Lo tuh sebenarnya ngapain sih Lin?" Gumamnya sambil terus mengawasi Erlin dari dalam mobil.

Sampai Erlin keluar dari tempat lesnya dan pergi dari sana, barulah disitu Daiva berhenti mengikutinya untuk seharian ini.

Kalau Rachel mengetahui apa yang Daiva lakukan, gadis itu sudah pasti akan marah lagi pada Daiva. Rachel tidak suka jika Daiva terus mengusik Erlin sejak hari itu, entah apa yang terjadi pada Daiva sampai tega melakukan itu pada sahabatnya padahal mereka dulunya bersahabat sangat dekat.

Ponselnya tiba-tiba berdering, Rachel menelponnya dan mengatakan bahwa ada teror lagi yang dikirim ke rumah. Kali ini membawa almarhumah mamanya.

Daiva langsung menarik gas dan melaju ke rumah Rachel. Gadis itu pasti ketakutan di rumah, papanya masih dinas di luar kota dan kakaknya sedang shift malam.

"Rachel buka pintunya! Rachel!"

Daiva mencoba menelpon Rachel berkali-kali namun tidak diangkat, dia juga masih mencoba mengetuk pintu sampai bibi asisten di rumah Rachel datang barulah pintu terbuka.

"Rachel kemana bi?" Tanya Daiva setelah berputar-putar mencari keberadaan Rachel di rumah.

"Loh mba Rachel tidak kasih tahu masnya ya kalau mba Rachel mau ke makam mamanya?"

"Ke makam mamanya?"

"Iya mas. Tadi sebelum bibi ke warung depan, mba Rachel pamit bilang mau ke makam mamanya."

Daiva menarik kecil ujung rambutnya lalu berpamitan pada bibi setelah berterima kasih terlebih dulu. Kenapa Rachel tidak bilang padanya kalau mau ke makam sih, padahal Daiva bisa dengan cepat tiba di rumah dan mengantarnya ke sana.

🦌

Sudah ada sejam Vendra duduk bersama kedua sahabatnya merundingkan apakah dia akan menyatakan perasaannya atau tidak pada Erlin. Sebenarnya Vendra biasa saja, namun Gilang dan Yudhi yang pusing memikirkan hal itu.

Kata mereka karena ini adalah kali pertama Vendra pacaran dan Erlin adalah cinta pertamanya, maka harus spesial dan harus berkesan agar dapat diingat selamanya.

"Tapi kalau sudah terlanjur so sweet malah ditolak, gimana Lang?"

"Lah iya juga ya, gimana jadinya?"

Vendra menarik napas pelan. Padahal dia sudah percaya diri akan diterima, tapi kedua sahabatnya malah membuat dirinya harus berpikir dua kali lagi.

"Eh tapi lo jangan sampai bikin si Vendra mikir ulang, tadi kan dia sudah fix mau nembak."

"Telat! Gue sudah terlanjur mikir ulang."

"Tuh kan gue bilang apa dia jadi mikir ulang. Lo sih!"

Okay Vendra menyerah, lebih baik dia ke rumah Erlin sekarang daripada harus mendengarkan perdebatan antara Gilang dan juga Yudhi.

"Bang." Panggil Vendra pada Hendry yang sedang duduk di bawah pohon mangga sambil memakan rujak buatannya sendiri.

"Oi! Nyariin Erlin ya lu?"

"Iya bang."

"Di dalam anaknya, masuk aja."

Setelah dipersilakan oleh Hendry, Vendra langsung masuk ke dalam rumah. Sekarang dia sudah terbiasa bolak-balik rumah Erlin, bahkan dalam sehari dia bisa 5 sampai 6 kali bolak-balik ke rumah Erlin.

Adolescence [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang