⚠️ Cerita ini mengangkat tema disabilitas, jika tidak nyaman boleh tinggalkan cerita ini.
Happy Reading!
***
Katanya, keluarga itu saling melengkapi dan menyayangi satu sama lain. Namun, apa jadinya jika anggota keluarga tak peduli satu sama lain? Masihkah bisa disebut keluarga yang harmonis? Gery tak pernah merasakan indahnya cinta dan dukungan keluarga yang seharusnya hadir dalam hidupnya.
Helaan napas lelah terdengar menggema di ruang sempit. Matanya terpana di jendela yang menampilkan langit biru yang cerah, seolah sang langit tengah menikmati kebahagiaan di hari ini. Namun, bukan hal itu yang dirasakan oleh Gery. Sebuah tetes air mata mengalir perlahan di pipinya, begitu lirih seakan tak ingin didengar oleh sekelilingnya, yang tak mampu mempercayai apa yang menimpa hidupnya.
Gery merasa Tuhan tengah menguji kesabaran dan kekuatannya, seakan dijebak dalam labirin penuh rintangan yang tiada henti. Dia kembali harus menerima kenyataan pahit yang mengejutkan, yang seolah mendorongnya ke dalam jurang keputusasaan yang lebih dalam. Gery pun bertanya-tanya, apakah dia akan mampu menghadapi semua ini dan bangkit kembali?
"Udah lah, Ger, lo cuma nggak bisa jalan ini, nggak mati," celetuk seseorang.
Gery tersenyum kecut, hancur hatinya. 'Cuma'? Tidak mati? Gery justru berharap seandainya saja dirinya telah tiada saat itu, mengingat kini hidupnya terkurung dalam kursi roda; tidak mampu lagi berdiri tegak menghadapi dunia. Gery menginginkan dukungan dan kasih sayang, bukan sindiran dan cemooh yang menusuk kalbu. Mengapa tak ada seorang pun yang mampu merasakan lara di dalam hatinya?
Dalam kepedihan ini, setelah kehilangan kehangatan keluarga, Gery harus merelakan takdir mengambil kebahagiaan dan cita-citanya. Tidak ada lagi pijakan kedua kaki yang sempat mengantarkannya mengejar mimpinya; yang tersisa hanyalah kursi roda yang menghentikan langkahnya di tengah jalan kehidupan ini. Tuhan telah memutuskan jalannya.
"Pergi!" Sentaknya, tanpa melihat sosok yang berbicara dengannya beberapa detik yang lalu. Gery masih membutuhkan waktu untuk menerima apa yang baru ia alami saat ini.
"Harusnya lo bersyukur ada gue yang mau nemenin lo di sini. Ck, nggak tau berterima kasih," cibir sosok itu lagi, merasa kesal dengan kelakuan remaja yang merangkap sebagai adiknya itu.
"Gue bilang pergi Kak! Gue nggak butuh belas kasian lo!" Sentak Gery lagi, kini ia memberanikan diri untuk menatap orang yang ia panggil kakak itu dengan tatapan kecewa. Gery juga tidak meminta sang kakak ada di sini jika terpaksa, Gery tak butuh belas kasihannya.
Gara, remaja yang dipanggil kakak itu mengangguk penuh pengertian. Dia tak ingin memaksa apapun pada adiknya. Setidaknya, ia sudah mencoba memberikan perhatian pada anak itu. Toh, bukankah Gery-lah yang memintanya pergi? Dengan hati yang berat, Gara bersedia menghormati keinginan sang adik.
"Oke kalo itu mau lo, gue pergi." Setelahnya Gara melenggang pergi menjauh dari kamar rawat sang adik, meninggalkan Gery yang semakin deras mengeluarkan air matanya.
Gery mengepalkan tangannya erat, air mata mengalir deras tanpa suara yang terdengar. Dalam keheningan, ia kembali menatap nanar ke arah jendela, membenci langit cerah yang ada di depannya. Sepertinya langit tersebut mengejek perasaannya yang begitu abu-abu dan mendung.
Mimpi apa yang Gery impikan? Menanti Gara mendekat, memeluk dirinya, serta mengucapkan kata-kata penenang yang menggema di telinganya? Oh, betapa bodohnya dirinya mengharapkan hal itu. Semua harapan itu hanya angan-angan, yang pada akhirnya takkan pernah menjadi nyata. Gery tersadar, terlalu berharap hanya akan menambah derita dalam hatinya yang rapuh ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓
FanfictionGery hidup dalam kesepian dan selalu diperlakukan berbeda oleh kedua orang tuanya. Namun, hidupnya semakin rumit ketika ia mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh. Cacatnya semakin membuat orang menjauh. Namun, di tengah kesepian, seorang perawa...