8. Ganteng tapi cacat

3.9K 334 6
                                    

Semakin berjalannya waktu, Gery sadar bahwa ia memerlukan bantuan orang lain untuk membantu aktivitasnya. Ia yang tadinya menolak Dewa untuk membantunya, kini tak banyak omong dan membiarkan Dewa melakukan tugasnya.

Hal itu pun membuat Dewa merasa senang, setidaknya Gery tidak terus mengharapkan keluarganya untuk membantu. Tak ada lagi drama dan ia bisa menghemat tenaganya untuk membujuk Gery. Memang, berharap kepada manusia hanya membuat sakit hati saja.

Sepulang dari rumah sakit, Gery tertidur selama di perjalanan, mungkin karena kelelahan setelah melakukan terapi dan pemeriksaan rutinnya. Diusia yang masih terlalu muda ini, Gery sudah harus mendapatkan hal yang menyedihkan.

Melihat wajah tenang Gery yang tertidur pulas seperti ini, Dewa jadi merindukan sang adik di kampung halamannya. Walau menyebalkan dan suka membuat darahnya tinggi, Dewa sangat menyayangi adik satu-satunya itu dan kini ia merasa rindu. Rindu membuka keributan maksudnya.

Tanpa Dewa sadari, Gery sudah menggeliat pelan di tempatnya, tak lama kemudian kedua netranya terbuka dan memandang sekelilingnya bingung. "Wa?" Panggilan serak.

"Iya, ini gue. Kita masih di jalan, lo kalo mau tidur, tidur lagi aja. Kalo udah sampe, nanti gue bangunin," ucap Dewa, bisa ia rasakan kini Gery menyandarkan kepala di bahunya seraya menguap pelan.

"Nggak, gue nggak mau pulang. Bosen di rumah terus," kata Gery, ia merasa sangat bosan jika kegiatan sehari-harinya hanya diam di kamar dan berbaring di kasur, jika saja keadaannya tidak seperti ini, mung Gery sudah pergi main menggunakan motor besar berwarna merahnya.

"Mau main dulu? Ya udah mau kemana?"

Gery menggelengkan kepalanya, ia juga tidak tahu ingin ke mana, asalkan tidak cepat pulang ke rumah. Sementara itu Dewa jadi bingung, pasalnya ia tidak tahu daerah sini, sampai akhirnya ia berkata pada Iwan yang mengantarkan mereka ke tempat yang bisa menghilangkan bosan, dan Gery tidak mempermasalahkan mereka akan kemana.

"Tempatnya agak rame karena ini weekend ini Dek, apa nggak papa? Kalo buat nggak nyaman, kini cari tempat lain," tanya Iwan, ia kira tempat yang mereka tuju tidak ramai, namun ia lupa jika kini hari Minggu dan banyak orang juga yang akan datang untuk melepas penat.

Kedua netra milik Gery menyapu sekeliling, ini pertama kalinya ia datang kemari dan mungkin saja tempat ini baru di buka karena banyaknya orang yang datang, atau memang sudah lama tapi Gery tidak tahu.

"Baru di buka dua bulan yang lalu Dek, tempatnya masih hits," kata Iwan lagi.

Gery mengangguk pelan, tampak menimang apakah ia harus turun atau pergi ke tempat lain mencari yang lebih sepi. Karena jujur, Gery merasa malu akan keadaannya saat ini, apalagi saat orang-orang melihat ke arahnya. Berbagai sorot mata itu menyiratkan banyak hal, salah satunya adalah kasihan.

"Kita cari tempat lain ya Pak? Yang nggak banyak orang ke sana," pinta Gery pada akhirnya, dari pada ia terpaksa turun dan berakhir dirinya tidak nyaman. Lebih baik memilih tempat lain, ia juga tidak mau banyak merepotkan Dewa nantinya.

"Oke, siap Dek." Iwan menurut saja, mobil yang mereka tumpangi pun menjauh dari sana untuk mencari tempat lain sesuai yang Gery inginkan.

"Nggak papa ya Wa? Lain kali kalo gue udah siap, nanti kita ke sini lagi," ucap Gery pada Dewa, ia yang tengah menyandarkan kepalanya di bahu sang empu dan semakin menyamankan senderannya di sana.

Dewa mengerutkan keningnya mendengar penuturan Gery. "Ngapain lo yang jadi nggak ngerasa enak gitu ke gue? Lo 'kan Tuannya, gue mah nurut aja."

Gery tidak menjawab, ia memilih untuk memejamkan matanya sampai mereka sampai ke tempat tujuan.

***

Cuaca cerah hari ini, langit berwarna dan matahari tak malu-malu menunjukkan sinarnya. Entah sejak kapan, Gery mulai merasa benci saat melihat langit biru di atas sana. Padahal tak ada yang buruk ketika melihat ciptaan Tuhan tersebut, setiap orang pasti menyukai cerahnya langit. Hanya saja, bagi Gery hal itu sangat menyesakkan baginya, untuk alasannya, Gery pun tidak tahu.

"Kalo ngerasa capek atau sakit lagi punggungnya, ngomong aja ya?" Kata Dewa sebelum membantu menurunkan Gery dari mobil, walau Dewa tahu jika Gery itu tidak pernah menutup-nutupi kondisi tubuhnya. Anak itu akan mengadu jika sakit, atau tidak nyaman sekalipun kepadanya. Hal itu bagus 'kan? Gery bukanlah anak yang tertutup.

Gery hanya memberikan anggukan singkat, tempat yang mereka akhirnya mereka kunjungi adalah sebuah tempat tongkrongan anak muda pada umumnya, untuk menghabiskan waktu bersama teman ataupun keluarga sekalipun. Cocok sekali untuk mereka yang suka tempat aesthetic.

Sedikit ramai, tapi lebih baik dari pada tempat yang pertama kali mereka datangi.

Benar saja dugaan Gery, saat ia turun dari mobil dan duduk di kursi rodanya. Semua mata tertuju padanya. Gery malu, tapi ia berusaha abai dengan tatapan mereka. Jika bisa, Gery ingin mencolok mata mereka satu persatu. Tapi itu sudah jadi resiko untuknya, Gery harus terbiasa, ia tidak boleh menutup diri dan mulai menerima.

"Ger, itu bukannya Adek lo ya?" Kata Dewa, ia sudah duduk di kursi kayu yang ada di sana, sementara Gery tetap di tempatnya.

Gery yang tengah memainkan ponselnya pun mendongak, dan mengikutinya arah pandang Gery. Dewa tidak salah, di antara dua meja yang memisahkan, ada Hera tengah bercengkerama dengan teman-temannya, tadi saat mereka lewat sepertinya Gery tidak melihat adiknya itu, sejak kapan Hera ada di sana?

"Biarin," jawab Gery singkat, setelah itu ia kembali fokus pada ponselnya.

"Waktu itu dia nyariin lo pas lo tidur, kayaknya dia mau ngobrol sama lo," ujar Dewa, kejadian lama itu Dewa baru katakan sekarang.

Gery diam di tempat, tapi bukan berarti dirinya tidak mendengar apa yang Dewa katakan barusan. Mengingat sang adik, Gery merasa Hera semakin menjauh darinya. Padahal dulu, jauh sebelum kecelakaan itu terjadi ia dan Hera sangat dekat. Seperti berangkat dan pulang sekolah bersama, mereka akur dan jarang bertengkar.

Tapi semenjak kecelakaan itu, Gery kehilangan sosok sang adik. Saat masih di rumah sakit juga Gery tahu jika Hera menjenguk, tapi gadis itu tidak menemui dirinya. Entah apa yang membuat adiknya berubah tak acuh seperti anggota keluarganya yang lain, tapi mungkin karena ia cacat sekarang.

Hera pasti malu dan tidak nyaman berada di dekatnya lagi, sehingga menjauh darinya. Padahal Hera adalah satu-satunya anggota keluarganya yang Gery harapkan, tapi mau bagaimana lagi? Gery tidak bisa memaksa kehendak Hera untuk tetap di dekatnya.

"Permisi Kak, maaf. Bisa bantu fotoin kita nggak?" Tanya seseorang, baik Dewa dan Gery pun melihat ke asal suara.

Melihat arah pandang seorang gadis yang baru saja bertanya itu pada Dewa, Gery menatap ke arah yang sama. Melihat tanggapan apa yang Dewa keluarkan ketika gadis itu meminta bantuan.

"Oh, boleh-boleh. Mau foto di mana?" Dewa dengan senang hati membantu.

"Di situ Kak, bisa?"

Dewa mengangguk kecil, sebelum pergi ia meminta izin dulu pada Gery untuk membantu cewek itu dan Gery mengangguk singkat. Namun, baru beberapa langkah menjauh dari Gery, cewek yang meminta bantuan kepadanya itu berceletuk.

"Itu temannya ya Kak? Sayang ya, ganteng tapi cacat."

[]

Maaf baru bisa up, kemaren sibuk banget

Lampung, 30072023

Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang