19. Welcome

3.5K 350 9
                                    

"Oke, kalo itu kemauan kamu, Ayah izinkan pergi. Ayah nggak akan menahan kamu."

Itu jawaban Adam tempo lalu, ketika Gery meminta izin pada sang Ayah agar bisa pergi bersama Dewa. Gery senang mendengarnya, itu berarti Adam tak egois, daripada menahan dirinya di sini yang yang hanya diberikan luka.

"Nanti gue bakal bawa lo ke arter yang ada di sana, lo belum pernah ke arter 'kan?" Celetuk Dewa, saat ini cowok itu tengah memasukkan baju-baju milik Gery ke dalam koper. Gery sendiri sudah keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu, dan setelah kesehatannya membaik, hari ini Dewa akan undur diri, dan membawa Gery bersamanya.

"Udah pernahlah, lo kira gue norak kayak lo?" Jawab Gery, ia juga ikut membantu Dewa sebisanya. Tak ada perasaan sedih sebab ia akan pergi dari sini, tak ada kenangan indah yang harus Gery ingat dan bawa. Jadi ia tidak merasa sedih.

"Ya kirain aja, lo 'kan nggak punya temen," kata Dewa, sementara itu Gery diam karena yang diucapkan Dewa benar. Tapi walau dirinya tak memiliki teman, setidaknya Gery bisa pergi sendiri tanpa di temani.

"Dah selesai, udah siap Ger?" Tanya Dewa, cowok itu bernapas lega saat koper berisi baju milik Gery dan tas besar miliknya sudah selesai.

"Siap dong."

"Oke, gue bawa ini ke mobil dulu. Lo tunggu sebentar." Dewa mulai menyeret dan membawa tasnya sekaligus, ia harus meletakkan barangnya sebelum membawa Gery ke mobil.

Gery hanya mengangguk pelan, membiarkan Dewa menjauh dari pandangannya. Lalu, tak lama kemudian muncullah Hera dari pintu yang memandang sendu ke arahnya, ia tahu maksud sang adik datang ke sini untuk apa, yaitu menahan dirinya untuk tidak pergi.

"Abang, Abang beneran mau ikut kak Dewa?" Tanya anak itu lirih, Hera bahkan membolos sekolah hari ini karena ingin mencegah Gery agar tidak pergi.

"Iya, kamu baik-baik ya di sini. Sekolah yang rajin dan yang terpenting selalu sehat," jawab Gery, tangannya bergerak untuk menyelipkan rambut sang adik yang tergerai di belakang telinga. Hera itu cantik dan manis, wajahnya perpaduan antara Adam dan Mala. Tak ayal jika mereka sangat menyayangi anak bungsunya, anak perempuan satu-satunya yang mereka miliki.

"Abang, maafin Hera. Apa nggak ada kesempatan buat Hera untuk memperbaiki semua ini? Tolong jangan pergi Abang, Hera mohon," pintanya, Hera sangat memohon pada sang kakak agar tidak pergi.

"Maaf ya, ini udah keputusan yang Abang buat. Lagi pula kita masih bisa ketemu kok, Abang nggak akan kemana-mana." Gery memang sempat sakit hati atas apa yang Hera ucapkan kepadanya waktu lampau, tapi ia tidak bisa marah pada adik satu-satunya, ia juga tidak bisa menuruti kemauan Hera yang mencegah dirinya pergi.

Raut wajah Hera tampak sendu mendengar keputusan Gery, tapi apa boleh buat? Hera tidak bisa memaksa dan bersikap egois. "Boleh peluk?"

Gery mengangguk setuju, sedetik kemudian Hera menghambur ke arahnya dan mendekap tubuhnya dengan erat, anak itu berkata pelan di telinganya. "Abang juga baik-baik ya di sana, jangan lupa kasih kabar terus sama Hera. Abang harus inget kalo Hera itu sayang sama Abang, sekali lagi Hera minta maaf karena udaj nyakitin hati Abang. Maaf juga udah jadi penyebab Abang kayak gini."

"Abang juga sayang kamu banyak-banyak. Abang nggak papa. Jangan merasa bersalah Ra, ini semua bukan salah kamu." Gery mengelus pelan punggung sang adik, ia tak pernah menyalahkan Hera atas apa yang terjadi pada dirinya, ia sudah ikhlas dan menerima takdir yang Tuhan berikan.

Sementara itu, Dewa yang sudah ada di daun pintu merasa terharu melihat adik dan kakak saling berpelukan. Tak mau terus merasa sedih melihatnya, ia pun berdehem pelan dan bersuara. "Ger, ayok berangkat."

Gery yang sudah melepaskan pelukannya dari Hera itu mengangguk kecil, lalu Hera yang tadi memeluknya itu menyingkir dan membiarkan Dewa mulai mendorong kursi rodanya keluar.

Sampainya di luar, ternyata sudah ada Adam yang menunggu. Pria yang tadinya sibuk dengan ponsel di tangannya itu pun meletakkan benda tersebut dan menatap Gery bersama yang diikuti Hera dari belakang, lalu suaranya pun menginstruksi mereka. "Kalian ke sini dulu, ada yang mau di omongin."

Dewa membawa Gery mendekat, begitu pula Hera yang mengikuti mereka sedari tadi.

"Dewa, ini gaji kamu. Walau belum ada full sebulan, Bapak kasih kamu sebulan penuh. Terima kasih sudah mau bekerja di sini dengan baik. Walau bukan Bapak yang mencari kamu untuk bekerja di sini, tapi Bapak pribadi merasa puas dengan cara kerja kamu. Terima kasih sudah mau merawat Gery dengan baik, sampai-sampai dia ingin ikut dengan kamu," tutur Adam, pria itu memberikan amplop yang tentunya berisi gaji milik Dewa.

Dewa menerima amplop itu agak sungkan, "saya juga berterima kasih karena sudah mau memberikan kesempatan untuk bekerja di sini Pak. Jika tidak bekerja di sini, saya tidak akan bertemu dengan anak kuat seperti Gery ini. Izinkan saya untuk merawat Gery ke depannya. Tapi walau begitu, saya harap Bapak tetap ingat jika Gery masih anak Bapak. Jika suatu hari Gery meminta kembali, tolong terima dia."

Kalimat Dewa ada yang mampu membuat hatinya berdenyut sakit, ia melirik Gery yang terlihat tak mau menatap ke arahnya. Adam jadi bimbang, apakah membiarkan Gery bersama orang lain adalah keputusan yang benar?

"Wa, buruan. Keburu siang." Suara Gery menginstruksi keduanya.

"Gery, boleh Ayah bicara sebentar lagi?" Pinta Adam, maksudnya adalah pria itu ingin ngobrol sebentar dengan anak itu.

Melihat sang anak diam, hal itu Adam artikan bahwa Gery setuju dengan permintaannya. "Seperti yang Dewa bilang tadi, jika kamu ingin kembali. Ayah nggak akan menolak, karena kamu anak Ayah. Pintu rumah terbuka untukmu."

Gery diam tak menanggapi, baginya perkataan itu hanyalah sebuah omong kosong, sengaja Ayahnya katakan karena ingin dipandang baik di depan Dewa. Bagaimana bisa Adam berkata jika Gery kembali pria itu tak akan menolak? Yang sudah jelas pria itu tak mengharapkan kehadirannya dari dulu. Cih, lucu sekali.

Setelah dirasa tidak ada yang perlu diucapkan lagi, Dewa pamit undur diri. Adam pun mengantar keduanya santai depan rumah, melihat bagaimana Dewa menaikan Gery ke dalam mobil dengan telaten.

"Abang, hati-hati di jalan," ujar Hera sebelum kakaknya itu pergi dari pandangannya, dibalas senyum tipis dari Gery.

Mobil hitam yang di supiri oleh Iwan pun mulai melaju pergi menjauhi rumah mewah itu. Meninggalkan Hera yang menatap sedih kepergian mobil tersebut, dan Adam yang diam dengan sorot yang tak bisa diartikan.

"Ayah keliatan seneng banget ya?" Kata Hera.

Adam menoleh ke anak bungsunya. "Apa maksud kamu Ra?"

"Ya itu, Ayah pasti seneng Abang nggak di rumah lagi 'kan? Ayah itu orang tua paling jahat tau nggak, bahkan nggak ada niat sedikitpun buat cegah Abang biar nggak pergi. Ayah jahat."

***

Ternyata rasanya melelahkan perjalanan dari kota ke desa, padahal yang Gery lakukan selama perjalanan hanyalah duduk dan tiduran karena masalah punggungnya. Harusnya yang berkata lelah itu Iwan, yang menyetir mobil tanpa henti sampai di desa yang di mana menjadi tempat tinggal Dewa.

"Kayak gini suasana di desa Ger, sepi dan nggak serame di kota, beda banget sama di sana. Tahan sebentar lagi? Kita bakal nyampe rumah kok," ucap Dewa memberitahu. Merasa kasihan juga karena di separuh jalanan, anak itu sudah terlihat tidak nyaman. Mungkin sakit di punggungnya kambuh lagi.

"Gue nggak papa Wa, makasih udah bawa gue pergi."

[]

Gimana 17san di tempat kalian? Seru?

Follow ig : @dekookoo_ & @dyaneggy_ nanti di follbak kok.

Lampung, 18082023

Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang