15. Membawa pergi?

4.2K 381 14
                                    

Dewa bisa mendengar dengan jelas, bagaimana Mala dan Hera beradu argumen di sana. Dirinya memang tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan sebenarnya, namun ketika mereka membawa nama Gery di dalam perdebatan mereka, Dewa menebak bahwa ada sangkut pautnya dengan pembicaraan Gery dan Mala tadi di kamar.

"Bunda nggak jahat! Dia yang jahat karena nggak memenuhi ekspetasi Bunda! Salah dia terlahir nggak sesuai harapan!"

Dewa terpaku, apa dia yang dimaksud Mala adalah Gery? Mengapa Mala tega berucap seperti itu? Sibuk dengan pikirannya, Dewa secara refleks langsung berlari menuju kamar Gery, ia sangat mengkhawatirkan kondisi anak itu.

"Gery," panggilnya pelan, terlihat jika Gery masih di posisi yang sama saat ia terakhir pergi. Dewa mendekat, mensejajarkan dirinya dengan bersimpuh di hadapan anak itu.

Di posisi ini, Dewa bisa melihat jelas jika Gery tengah menangis dengan bahu yang bergetar kecil dan isakan kecil yang terdengar. Mengetahui kehadirannya, Gery mendongak ke arahnya dengan tatapan terluka, bibirnya terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi urung karena tangisannya semakin keras.

Tanpa pikir panjang, Dewa langsung membawa Gery ke dalam pelukannya, ia membiarkan cowok berlesung pipi tersebut menangis di pundaknya.

Sakit sekali, itu yang tengah dirasakan Gery saat ini. Ia tak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaannya, lukanya yang masih baru membuat dirinya tak baik-baik saja. Ia yang masih berada di pelukan Dewa, sesekali memukul punggung itu sebagai bentuk pelampiasan rasa sakitnya.

"Nggak papa, gue ada di sini buat lo," kata Dewa menenangkan, ia membiarkan Gery menangis sepuas mungkin di pundaknya, jika itu bisa sedikit melegakan hati.

"Mereka jahat Wa... Kenapa mereka tega?" Lirih Gery, wajahnya sudah berlinang air mata, mengadu pada Dewa mengapa mereka tega padanya.

"Puasin dulu nangisnya, kalo udah siap, lo boleh ceritain semuanya." Dewa mengelus lembut surai Gery, setelah hampir tiga bulan bekerja di sini, Dewa menyayangi Gery seperti adiknya sendiri. Jadi, melihat Gery yang rapuh seperti ini, ia juga merasa sakit.

"Tolong... Bawa gue pergi dari sini Wa."

***

Gery demam di malam harinya, selain demam cowok tersebut juga mengeluh napasnya sesak, sehingga terus merintih karena sakit yang mendera tubuhnya.

"Sakit Wa, sesek," adunya pada Dewa, berharap cowok yang tua satu tahun darinya itu bisa menghilangkan rasa sakitnya.

"Iya, gue elusin biar sakitnya ilang." Tangan Dewa terulur untuk mengelus dada Gery, nasal canula sudah terpasang di hidung bangir itu, namun Gery masih mengeluh sesak.

"Sakit," rintihnya lagi, matanya terlihat bengkak karena menangis sedari tadi, seluruh tubuhnya terasa sakit, sampai dirinya tak tahu area mana yang harus disembuhkan terlebih dahulu.

Sementara itu, Dewa dibuat bingung. Gery tak mau berhenti menangis dan terus meracau kata sakit, badannya panas sekali dan napasnya masih terlihat kepayahan walau sudah dibantu alat. Ia ingin meminta bantuan Adam atau mala, agar Gery bisa dibawa ke rumah sakit, namun Gery marah saat mengetahui ia akan melakukan hal tersebut. Lagi pula, memangnya mereka akan peduli?

"Gue panggil Pak Iwan buat bantu ya Ger? Biar lo di bawa ke rumah sakit," kata Dewa lembut, namun lagi-lagi gelengan kepala ia dapatkan. Dewa lupa, jika Gery sangat keras kepala.

"Sakit Wa," racau Gery lagi, ia ingin pergi namun tidak ke rumah sakit.

"Ya makanya, lo harus mau ke rumah sakit!" Menuruti kemauan Gery hanya akan membuat kondisi anak itu semakin parah, jadi ia tak memedulikan Gery yang menahan dirinya agar tidak memanggil Iwan untuk membantu.

"Pak Iwan, Gery demam sama sesak napas dari tadi. Tolong bantu aku Pak," pinta Dewa, sementara Iwan yang tengah mengisap rokok di tangannya segera membuang nikotin tersebut dengan wajah yang berubah panik.

"Udah bilang sama Ibu Bapak belum? Kalo Adek sakit?" Tanya Iwan.

"Belum, ngeliat mereka yang selama ini nggak peduli sama Gery. Aku jadi males ngasih tau ini ke mereka yang ujung-ujungnya nggak peduli juga 'kan?" Jelas Dewa.

Iwan mengangguk paham, ia hampir melupakan fakta bahwa Gery tak dipedulikan oleh mereka. "Ya udah, nanti saya yang bilang ke mereka. Sekarang kita pikirin Adek dulu."

Keduanya pun pergi menuju kamar Gery, Iwan langsung mendekat saat mendengar Gery merintih kesakitan. Hal itu mengingatkan padanya saat Gery di rumah sakit setengah tahun yang lalu, dimana kecelakaan itu terjadi, betapa rapuhnya anak tersebut yang harus menahan rasa sakitnya sendiri.

"Ini Pak Iwan Dek, kita ke rumah sakit ya?" Kata Iwan, pria tersebut mengelus rambut anak tersebut sayang seraya mengucapkan kata-kata penenang.

Gery dengan mata sayunya hanya bisa menangis, tangan lemahnya ia gunakan untuk memberontak saat tubuhnya mulai diangkat oleh Iwan sebagai tanda penolakan. "Jangan ke sana."

"Nggak papa, ada Pak Iwan sama Kak Dewa yang temenin Adek," bujuk Iwan, dibantu oleh Dewa ia mulai mengangkat tubuh Gery yang akan ia gendong ala bridal style, karena tidak memungkinkan membirkan Gery duduk di kursi roda dengan keadaan seperti ini.

Akhirnya Gery memilih untuk diam, ia menenggelamkan wajahnya di dada bidang Iwan, tak ada lagi tenaga untuk dirinya melawan.

"Kak Dewa, Abang kenapa?"

Dewa yang mengikuti langkah Iwan dari belakang menghentikan langkahnya ketika tangannya di pegang oleh Hera, menahan dirinya dan meminta penjelasan.

"Abangmu demam sama sesak napas, mau di bawa ke rumah sakit," jawab Dewa dengan cepat, baginya tak ada waktu untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Gery.

Hera tampak terkejut mendengarnya, ia kembali menahan tangan Dewa yang akan melangkah pergi, perasaan khawatir menyelinap masuk ke hatinya, "a-aku ikut kak."

Dewa mengangguk setuju, tak ada salahnya jika gadis itu ikut pergi, siapa tahu Hera dibutuhkan ketika di sana. Keduanya berlari mengejar Iwan di depan yang kepayahan membawa Gery ke dalam mobil.

"Abang," panggil Hera lemah, ia sangat khawatir melihat keadaan sang kakak yang bersandar lemas di pundak Dewa ketika di mobil, bibir pucat itu sedikit terbuka dengan napas yang berantakan, kakaknya jauh dari kata baik.

Sampainya rumah sakit, Gery masuk IGD dan segera di tangani oleh tenaga medis, ketiga orang yang mengantar harap-harap cemas menunggu.

"Abang kayak gini pasti gara-gara tadi siang... Seharusnya aku dateng buat Abang, bukannya pergi." Hera menangis, menyesali segala perbuatan yang ia lakukan pada Gery. Ia adalah adik yang buruk, ia tidak bisa menjadi adik yang baik untuk sang kakak. Hera juga ikut ambil dalam memberikan luka pada Gery, dirinya juga jahat seperti yang lain.

"Sebenarnya apa yang terjadi tadi siang? Kenapa Abang kamu bisa nangis nggak berhenti sampe drop kayak gini?" Tanya Dewa, keduanya memilih untuk menjauh dari ruang IGD dan menunggu di luar.

Hera yang sedang duduk mendongak melihat Dewa yang berdiri di depannya, ia menghapus air matanya pelan dan mulai menceritakan apa yang dirinya dengar tadi. Mulai dari sang Ibu yang berencana memecat Dewa sampai alasan mengapa Gery tak diacuhkan.

Dewa terkejut bukan main, bukan perkara ia yang akan dipecat. Tapi saat mendengar bahwa Mala tega berucap seperti itu pada Gery. Pantas saja anak itu menangis tanpa henti dan meminta dirinya untuk membawanya pergi, karena tak ada tempat bagi Gery diantara mereka.

Dewa memejamkan matanya sesaat, sebelum ia memutuskan duduk di dekat Hera, ia menghela napas pelan dan berkata, "Ra, kalo memang keluarga kamu nggak mengharapkan Gery di sana, biarkan Kakak bawa dia pergi."

[]

Lampung, 12082023

Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang