23. Merasa iri

3.4K 296 8
                                    

Semenjak malam itu, Reza tak pernah lagi menanyakan perihal mengapa Gery ada di sini. Tak ada yang perlu dijelaskan lagi, semuanya sudah jelas dan tak perlu dipertanyakan. Reza tahu kakaknya adalah orang baik, kakaknya tidak mungkin sengaja membuat Gery seperti itu.

"Dek, kamu nggak mau berangkat sekolah?"

Suara Viona menyadarkan dirinya yang sedari tadi menyaksikan keakraban antara Gery dan Dewa yang tengah menonton televisi yang sama. Walau Gery cenderung lebih diam dan tak menampakkan senyumnya, lain halnya dengan Dewa yang cerewet dan berusaha menghibur Gery.

"Kamu jangan iri kalo Mas kamu deket sama Gery ya, Gery itu tanggung jawabnya Dewa, jadi udah pasti dia deket sama Gery," tutur Viona ketika mengetahui arah pandang Reza, sampai anak itu menatap tak berkedip.

"Mana ada, aku nggak liatin mereka kok. Ngapain juga aku iri sama Mas? Aku bukan anak kecil ya Bu." Reza dengan cepat menyangkal perkataan Viona, dari pada cemburu melihat kedekatan mereka. Reza justru merasa sedih jika suatu saat Gery tahu yang sebenarnya, apakah semuanya akan tetap sama?

"Nanti Mas-nya diambil beneran, nangis," goda Viona. Kedua anaknya itu kadang seperti Tom & Jerry, kadang pula bisa akur dan adem ayem.

"Nggak ya, ya udah aku berangkat. Nanti aku pulang sore, mau futsal dulu." Tak mau terus di goda oleh sang ibu, Reza pamit berangkat sekolah.

"Iya, jangan malem-malem pulangnya."

Sepeninggalnya Reza yang pergi sekolah, Viona alihkan perhatiannya kembali pada kedua anak yang duduk menghadap televisi. Viona tersenyum hangat melihat keduanya seperti itu, Dewa yang tulus dan Gery yang bergantung. Tak bisa Viona bayangkan jika fakta itu muncul ke permukaan, Viona tak sanggup membayangkan.

***

"Ger, gimana kalo hari ini kita ke arter," ajak Dewa, ia tidak lupa dengan janjinya yang akan membawa Gery ke tempat air terjun yang ada di desanya.

"Males, ngapain juga ke sana?"

Dewa berdecak pelan atas jawaban Gery, "emangnya lo nggak bosen apa di dalem rumah terus? Sekali-kali lo tuh harus keluar, sekalian liat desa gue gimana."

"Gue nggak berani keluar," ujar Gery. Ia masih mengingat bagaimana dirinya memaksakan untuk keluar waktu itu, berakhir sakit hati yang tak berkesudahan yang ia dapatkan, ia takut jika hal itu terulang kembali.

"Tenang aja, tempatnya itu sepi orang kok. Aman buat lo. Gue janji, nggak akan ada yang berani nyakitin lo," ujar Dewa meyakinkan. Tempat yang akan mereka tuju memang tidak ramai, cocok untuk Gery yang tidak suka keramaian.

"Beneran? Lo nggak bohongin gue 'kan?" Tanya Gery menyelidik.

"Ya beneran dong, kalo nggak percaya kita ke sana buat buktiin."

Akhirnya anggukan Gery berikan, mereka berangkat menggunakan mobil karena tak mungkin untuk menggunakan motor. Gery bahkan baru tahu, jika Dewa bisa mengendarai kendaraan roda empat tersebut.

Di perjalanan Gery melihat luar jendela, suasana desa sangat terasa. Jika di kota saat tidur malam itu terasa panas dan gerah, lain halnya dengan di sini. Gery yang biasanya tidur dengan AC menyala itu tak memerlukan benda elektronik di sini.

"Gue jadi kangen sekolah," gumam Gery, ia memang tetap melanjutkan homeschooling-nya saat ini. Bedanya jika waktu itu tatap muka, saat ini Gery melakukannya secara virtual. Tentu saja Adam yang masih membiayai pendidikannya itu, Gery juga tak mau jika harus putus sekolah.

"Tadi 'kan udah. Lo sendiri yang minta udahan tadi ke gurunya," kata Dewa.

"Bukan itu, maksud gue sekolah formal. Walau nggak punya temen di sana, gue kangen suasana sekolah." Gery menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tak bisa bohong jika Gery menginginkan kehidupan normalnya dulu. Di mana ia dengan bebas melangkah tanpa hambatan, bukan sekarang yang harus terperangkap pada kursi roda.

"Lo belum bisa berdamai sama masa lalu Ger?" Tanya Dewa, ia tahu jika Gery menginginkan kebebasannya yang dulu.

"Gue masih berusaha."

Tak ada lagi pembicaraan setelahnya, hingga mereka sampai ke tempat tujuan. Karena area air terjun itu masuk ke dalam kebun, dan aksen tidak bisa dimasuki oleh mobil. Dewa menitipkan mobilnya pada salah satu rumah yang ia kenal pemiliknya, setelah itu ia membuka pintu di mana Gery duduk.

"Kursi rodanya?" Tanyanya heran, pasalnya Dewa tidak mengambilkan alat bantunya dan justru memberikan punggung untuknya.

"Jalannya susah buat kursi roda lo, takutnya nanti malah rusak. Udah sekarang lo naik ke punggung, gue gendong," jelas Dewa. Ia sudah mempertimbangkan jika mengajak Gery ke sini, jadi dirinya sudah menyiapkan punggungnya untuk Gery naiki.

"Lo yakin kuat? Kalo jatoh gimana?" Tanya Gery ragu, walau kurus seperti ini dirinya berat. Ia tak mau mengambil resiko jika terjatuh nanti, yang ada dirinya akan semakin menyusahkan Dewa jika terjadi apa-apa.

"Lo ngeraguin gue? Udah naik aja, kalo nggak kuat ya lo gue tinggal," canda Dewa diakhir kalimatnya.

Perlahan dengan dibantu Dewa, Gery naik ke punggung Dewa yang berpegang erat pada kedua bahu cowok itu. Gery tidak tahu jika tempatnya akan susah dan menyulitkan mobilitasnya, tapi jika sudah seperti ini Gery tak enak hati jika mengajak Dewa pulang dan membatalkan. Salah dirinya juga tidak bertanya terlebih dahulu.

Di sana, hanya ada beberapa warga yang ada di depan rumah. Sesekali Dewa menyapa mereka karena mereka pun mengenal Dewa, memangnya siapa yang tak kenal dengan anak lurah Adi Anggara itu.

"Kita sampe, duduk di sini dulu ya. Capek," tutur Dewa saat mereka sudah di depan air terjun yang di maksud.

Benar apa kata Dewa, tempat ini tak ramai dan bahkan tidak ada orang lain selain mereka yang ada si sana. Jika seperti ini, Gery tak terlalu khawatir.

"Makasih Wa," ucap Gery. Ia dan Dewa duduk di kursi panjang kayu yang ada di sana, suara gemerisik air yang terjun bebas masuk ke dalam rungunya. Gery merasa tenang, matanya di manjakan oleh pemandangan asri di sana.

"Bukan masalah, selama lo seneng. Gue juga ikut seneng," setelah lelah berkurang, Dewa berdiri dari duduknya yang beralih mengeluarkan ponselnya, lalu mulai membidik sekitar dengan ponselnya tersebut.

"Lo sering ke sini Wa?" Tanya Gery, mengalihkan perhatian Dewa yang masih memotret sekitar.

"Nggak juga, ini udah kesekian kalinya gue ke sini, terakhir kali kalo nggak salah kelas 2 SMA. Bareng temen-temen SMA, sampe bakar ayam juga di sini waktu itu. Seru deh."

Gery mengangguk paham, di sekolah pasti Dewa itu sosok yang ramah dan humble, memiliki teman banyak yang mengelilinginya. Kehidupan Dewa sempurna, memiliki keluarga yang hangat, di kelilingi orang-orang baik dan memiliki teman yang kompak. Bolehkah Gery merasa iri dengan semua itu?

[]

Sesuai janji hehe, maaf kemaleman🙏 terima kasih partisipasinya^^

Maaf nggak sempet balesin komen kalian, tapi aku baca kok😙

23082023

Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang