"Wa, guru SD di atas baru aja ada yang dipecat. Kamu bisa tuh masuk sana, Bapak juga udah bilang sama kepala sekolahnya," ujar Adi.
"Persyaratannya apa aja Pak?" Tanya Dewa, merasa senang akhirnya lowongan pekerjaan yang diinginkan ada.
"Katanya itu nanti aja, yang penting kamu masuk aja dulu."
Dewa mengangguk-angguk paham, "terus masuknya kapan?"
"Besok."
Dewa tampak terkejut, "belum siap lah Pak. Aku juga belum punya seragamnya."
"Nanti Bapak pinjamkan dulu ke Mas Tirta, kayaknya dia punya seragam dua."
Lagi-lagi Dewa mengangguk paham, setelah berbincang banyak tentang pekerjaan barunya. Dewa kembali duduk dekat Gery yang tengah duduk menghadap televisi.
"Besok, gue udah mulai kerja lagi," kata Dewa, ia tersenyum ke arah Gery yang memasang wajah datar seperti biasanya.
"Dimana?" Tanya Gery.
"Sekolah SD yang kemaren kita lewatin mau ke arter itu. Kebetulan baru aja ada guru yang dipecat nggak tau kenapa, terus gue masuk buat gantiin," jelas Dewa, sementara Gery beroh ria dan kembali menatap layar televisi di depannya.
"Nggak papa 'kan Ger?" Kata Dewa saat Gery hanya memberikan respon seperti itu.
"Ya nggak papa, itu 'kan hak lo."
Setelahnya Gery termenung, ia merasa bersalah kepada Dewa. Waktu itu Dewa pernah berkata kepadanya jika Dewa rela jauh-jauh ke kota dan jauh dari keluarganya hanya untuk mencari pekerjaan yang gajinya besar.
Tapi sekarang, Dewa harus merelakan gaji besarnya itu untuknya. Gery tahu, bekerja sebagai guru honorer itu gajinya sangat kecil, apalagi gajian guru honorer tidak setiap bulan, Gery dengar-dengar gaji mereka 6 bulan sekali. Mengapa Dewa mau segitunya hanya untuk dirinya?
Melihat Gery yang melamun, Dewa menegur, "udah lo nggak usah mikir macem-macem. Semua ini udah keputusan gue, dan nggak ada hubungannya sama lo."
"Apa gue menghambat lo buat gapai mimpi lo Wa?"
Tepat sekali sasaran Dewa, jika Gery sudah diam dan melamun. Sudah pasti ada kekhawatiran yang anak itu pikirkan, padahal baru saja Dewa berkata jika Gery tak perlu memusingkan dirinya.
"Nggak Ger. Sini gue jelasin, biar lo nggak merasa bersalah." Dewa menghela napas sebelum kembali membuka suara, "gini Ger. Gue itu udah daftar kuliah dan tinggal nunggu masuknya aja. Karena gue ambil jurusan PGSD dan kuliah di UT, Universitas Terbuka, gue harus nunggu setahun dulu dari gue lulus baru bisa masuk, itu udah peraturannya dari sana. UT juga nggak kayak Universitas lain, kita bisa kerja sambil kerja karena kuliahnya cuma sabtu dan minggu aja. Nah selama setahun itu, gue gunain buat kerja dari pada nganggur di rumah. Paham?" Jelasnya.
Gery menatap Dewa lama, sampai akhirnya ia mengangguk paham. Ia hanya takut dirinya menghambat langkah Dewa, ia takut jika dirinya menjadi penghancur mimpi Dewa. Jika saja Gery tahu, justru Dewa-lah yang menjadi penghancur mimpinya.
***
Keesokan harinya, Dewa sudah bersiap akan berangkat kerja. Cowok itu terlihat cocok dengan seragam guru yang dikenakan, hal itu pun mengundang Reza untuk menjahili sang kakak.
"Pasti anak muridnya nanti nggak betah diajar lo Mas, soalnya lo itu cerewet." Reza tertawa setelahnya, membuat Dewa kesal adalah pekerjaannya.
"Justru malah betah, gurunya bisa mencairkan suasana. Beda lagi kalo lo yang ngajar, yang ada anak muridnya kabur," sahut Dewa.
"Ck, ya udah sana berangkat," usir Reza. Hari ini dirinya tidak sekolah, dengan alasan kakinya sakit karena terkilir saat main futsal kemarin, padahal mah itu alibinya saja, agar bisa bolos sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓
FanfictionGery hidup dalam kesepian dan selalu diperlakukan berbeda oleh kedua orang tuanya. Namun, hidupnya semakin rumit ketika ia mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh. Cacatnya semakin membuat orang menjauh. Namun, di tengah kesepian, seorang perawa...