Benar apa kata Dewa, antara desa dan kota sangat terasa sekali perbedaannya. Suasananya pun jauh berbeda, Gery sampai dibuat melongo ketika matanya melihat anak kecil yang diperkirakan 4 SD itu sudah bisa mengendarai motor sendiri.
"Nggak bahaya tah?" Dibanding kagum, Gery justru ngeri melihatnya. Mengapa orang tua mereka meggizinkan anaknya untuk mengendarai motor seusia dini? Apa mereka tak menakutkan sesuatu yang tak diinginkan? Gery saja bisa membawa motor kelas 1 SMA.
"Nggak usah heran, hal kayak gitu bukan baru lagi di sini. Gue aja dulu, bisa bawa motor kelas 5 SD. Jadi kalo berangkat sekolah bawa motor sendiri, nggak ngerepotin orang tua," ujar Dewa yang menanggapi keheranan Gery, berbangga diri atas apa yang ia capai.
Gery memutar bola matanya malas, apa yang harus dibanggakan dari tindakan bahaya itu? Yang ada hanya akan membuat rugi diri sendiri, jika nasibnya sial. "Lebih ngerepotin lagi kalo lo celaka, bisa lumpuh kayak gue nanti."
"Mati lampu, gelap lagi, nggak liat gue. Tapi ya memang ada sih kejadian, jatuh dari motor terus kakinya patah, nggak bisa sekolah deh." Dewa juga takut juga melihat anak kecil yang saat ini sangat lihai membawa kuda besi tersebut. Mereka belum mengerti peraturan dan berkendara seenaknya saja, Dewa pun dibuat geleng-geleng kepala melihat para bocil tersebut.
"Jalannya rusak, nggak enak banget sih Wa," komentar Gery lagi. Jalan yang tengah mereka lewati saat ini adalah jalanan penuh lubang dan kerikil disertai debu, tidak enak sekali rasanya saat mereka lewat walau memakai mobil bagus sekalipun.
"Ya mau gimana lagi kalo jalannya kayak gini, kalo mau bagus tunggu gue jadi camat deh minimal."
Gery menghela napas pelan mendengar jawaban itu, Dewa yang berkata jika sebentar lagi sampai rumah milik cowok itu nyatanya tak sampai-sampai. Katanya sebentar lagi, tapi sebentar milik Dewa itu lama.
"Pak Iwan, di pertigaan depan belok kanan ya. Sebentar lagi sampe," kata Dewa pada Iwan, sedangkan pria paruh baya itu mengangguk paham. Rasanya cukup sedih mengetahui kondisi saat ini, di mana Gery akan ikut bersama Dewa.
Untuk yang satu ini, Dewa membenarkan ucapannya. Karena setelah berbelok di pertigaan, hanya berjarak beberapa ratus meter dari situ, Dewa menyuruh Iwan untuk berhenti di depan salah satu rumah.
"Mobilnya masuk ke gerbang aja nggak papa Pak. Nah ini rumah gue Ger, rumah bokap maksudnya," tutur Dewa dengan senyum mengembang.
Sementara Gery menyapu sekitar, ia merasa terbohongi oleh Dewa saat ini. Bagaimana tidak? Jika Dewa itu anak dari keluarga yang kurang mampu, bagaimana bisa rumah yang kata Dewa milik ayah cowok itu bertingkat dua? Bahkan jika dilihat di sekelilingnya, rumah Dewa yang paling mencolok di sini. Gery ingin meminta penjelasan, tapi ia urungkan niatnya itu.
"Ayok, keluarga gue pasti udah nunggu lo." Dewa membuka pintu mobil di mana Gery duduk, dibantu Iwan mereka menurunkan Gery dengan hati-hati sampai duduk nyaman di kursi rodanya.
"Pak Iwan juga, ayok ikut masuk," suruh Dewa.
Sebelum ketiganya masuk ke dalam rumah tersebut, ternyata sudah ada pasangan suami istri yang merupakan ayah dan ibu Dewa yang sudah menunggu.
Melihat orang tua Dewa di depannya saat ini, membuat Gery merasa malu dan takut secara bersamaan. Segala pemikiran di otaknya bermunculan, seperti bagaimana jika dirinya di tolak? Bagaimana jika mereka tak menyukai kehadirannya. Gery bahkan baru sadar, jika dirinya hanya orang asing yang akan menumpang pada mereka.
"Alhamdulillah, kalian sampe dengan selamat. Ayok Wa, ajak masuk tamunya," sambut Adi, ayah dari Dewa.
Di awal pertemuan mereka, Gery bahkan bisa merasakan bagaimana lembutnya Adi sebagai seorang ayah. Keluarga Dewa, benar-benar sehangat itu.
"Gimana perjalanannya tadi? Pasti capek ya? Apalagi jalannya rusak." Kali ini, Viona yang berucap, ibu Dewa yang kini menghidangkan minuman segar untuk mereka.
"Ya capek lah Bu, tau sendiri perjalanan ke sana sampe sini itu jauh," sahut Dewa, remaja itu langsung meminum minuman sampai tandas, membuat tenggorokannya terasa segar.
Viona mengangguk paham, wanita dua anak itu beralih menatap kedua tamunya yang belum dirinya kenal. Terutama remaja yang hampir tiga bulan Dewa rawat, ia tersenyum tipis karena Gery tampak sungkan. "Kalo gitu, coba kenalin siapa mereka? Ibu pingin kenalan."
"Kalo ini Pak Iwan Bu, dia itu supir yang kerja di rumah Pak Adam. Udah kerja sekitar 8 tahunan, rumahnya deket sama Pak Adam, jadi betah kerja di sana. Orang yang pernah aku ceritain ke Ibu sama Bapak," jelas Dewa. Iwan yang diperkenalkan memperkenalkan diri seraya tersenyum hangat pada Adi dan Viona.
Setelah itu, Dewa yang duduk di sofa dekat Gery yang tetap di kursinya itu merangkul anak itu dari samping. "Kalo ini Gevariel, tapi panggilannya Gery, kayak merk jajajan. Dia anak yang selama ini aku rawat di sana. Maklum kalo wajahnya kaku kayak gini, dia itu jarang senyum, keras kepala, tapi sayangnya cengeng."
Jika saja tidak ada Adi dan Viona di sini, Gery sudah memukul Dewa karena sudah mengejeknya seperti itu. Jadi, yang bisa Gery lakukan adalah menunjukkan senyum tipisnya untuk menyapa kedua orang tua Dewa.
"Tuh, liat 'kan? Senyum aja irit," celetuk Dewa lagi.
"Udah ah, anak orang kamu jailin. Kasian dia, belum ada satu jam di sini udah kamu buat marah," ujar Adi. Tidak hanya pada adiknya sendiri, Dewa suka meledek anak orang lain.
Viona tertawa kecil melihat itu, ia menyuruh Dewa untuk menggeser duduknya, agar dirinya bisa dekat dengan Gery. Viona tersenyum hangat pada anak itu. "Panggil saya dengan sebutan Ibu, begitu juga ayah Dewa dengan Bapak, anggap kita sebagai orangtuamu. Ibu harap semoga kamu betah ya di sini. Jangan sungkan kalo kamu butuh apapun. Kamu bisa bilang kalo nggak suka atau nggak nyaman, biar kita bisa tau perasaan kamu," katanya dengan lemah lembut.
Viona merasa sedih, ketika harus mengingat cerita Dewa tentang Gery. Bagaimana terlukanya anak itu di keluarganya sendiri, sampai akhirnya memohon pada Dewa agar bisa membawanya pergi dari keluarganya sendiri. Bagaimana bisa mereka tak mengharapkan anak setampan Gery? Viona yakin jika Gery adalah anak yang baik.
"Makasih, Bu," ucap Gery memelan di akhir kata. Mala saja tidak pernah berkata selembut itu padanya, bagaikan bisa orang lain justru melakukan itu padanya.
"Sama-sama Nak, boleh ibu elus rambut kamu?" Pinta Viona, tangannya sudah gatal sedari tadi untuk menyentuh rambut legam milik Gery.
Gery pun mengangguk kecil, sedetik kemudian bisa ia rasakan sentuhan lembut di surainya. Lagi-lagi, Gery harus mendapatkan afeksi yang dirinya inginkan dari orang lain.
"Kamar buat Gery udah disiapin 'kan Bu?" Tanya Dewa, melihat sang ibu menganggukkan kepalanya, Dewa kembali beruara, "ya udah, aku izin bawa Gery ke kamar. Dia udah kecapean di jalan, punggungnya juga sakit tadi. Takut sakit lagi, baru kemaren dia pulang dari rumah sakit."
"Iya-iya, boleh banget. Gery pasti capek banget. Dia butuh istirahat."
Setelah mendapat izin, Dewa pamit dari sana membawa Gery pergi ke kamar yang sudah di siapkan sebelumnya, meninggalkan ketiga orang tua di ruang tamu.
Dewa yang sudah biasa memindahkan Gery itu melakukan tugasnya sendiri, melepas sepatu yang Gery gunakan dan membuang urine dari urine bag yang sudah penuh. "Mau tidur, apa makan dulu?" Tawar Dewa.
"Tidur aja," jawab Gery. Dewa mengangguk paham dan menata bantal sebelum Gery merebahkan diri di kasur yang tak jauh empuk di kamarnya di sana. Gery menatap Dewa lamat, hingga yang merasa diperhatikan terus menerus menaikkan alisnya seolah berucap ada apa.
"Dewa, kenapa keluarga lo baik sama gue? Bahkan gue cuma orang asing di sini. Apa alasan mereka bisa nerima gue dengan gampangnya di sini?" Tanya Gery, ia masih merasa tidak percaya dengan keluarga Dewa yang sangat baik kepadanya.
"Nanti juga lo bakal tau, tapi bukan sekarang."
[]
Bosen nggak sih kalo aku up tiap hari?
Lampung, 19082023
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓
FanficGery hidup dalam kesepian dan selalu diperlakukan berbeda oleh kedua orang tuanya. Namun, hidupnya semakin rumit ketika ia mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh. Cacatnya semakin membuat orang menjauh. Namun, di tengah kesepian, seorang perawa...