30. Pergi tanpa pamit

7.4K 441 76
                                    

Sudah beberapa Minggu ini, penjualan di butik Mala terus meningkat, mulai yang melalui online ataupun offline. Wanita itu menjadi sibuk mengurus orderan yang datang padanya, sampai kadang lupa untuk pulang. Memang ada karyawan yang bekerja di sana, namun Mala tetap harus mengawasi dan tidak lepas dari tanggung jawab.

Di tengah perusahaan sang suami yang tengah bermasalah saat ini, Mala bersyukur setidaknya butik yang ia kelola aman dan tidak kehabisan bahan baku. Karena selain baju jadi, butiknya tersebut melayani pembuatan/jahit baju.

Di tengah kesibukan kerjanya, tiba-tiba Mala menjadi resah, perasaannya tidak enak, seakan ada sesuatu yang akan terjadi. Ia berusaha mengenyahkan pikiran tersebut, tapi pikiran negatif tersebut tak mau hilang di benaknya.

Drrt! Drrt!

Suara ponselnya mengalihkan perhatian, terpampang nama suami di sana, tanpa menunggu lama ia pun mengangkat telepon tersebut.

"Bunda dengerin ayah pelan-pelan oke. Nggak usah panik, sekarang Bunda ke rumah sakit Hermina ya. Gara, dia kecelakaan."

"A-apa! Kecelakaan gimana Yah? Dia baik-baik aja 'kan? Tunggu Bunda sebentar, Bunda ke sana." Mala langsung mematikan sambungan telepon begitu saja.

Ia jelas terkejut bukan main, tubuhnya rerasa lemas, apa ini arti perasaan tidak enaknya sedari tadi? Gara kecelakaan? Bagaimana bisa itu terjadi? Mala tidak mau jika anak sulungnya kenapa-kenapa.

Wanita itu dengan langkah tergesa keluar dari dalam gedung busana miliknya, sampai-sampai karyawan tersebut memandangnya bingung kenapa bos mereka terlihat sangat kacau, bahkan Mala akan terjatuh jika tidak ada yang menahan tubuhnya.

"S-saya titip butik ya? Anak saya kecelakaan," kata Mala dengan terbata, pikirannya sudah melayang entah kemana, memikirkan kondisi Gara di sana.

Mala mengendarai mobilnya tidak sabaran, pikirannya sudah tidak tenang. Ia berdoa berkali-kali agar Tuhan menyelamatkan putranya tersebut.

Sampainya rumah sakit, dengan tergesa ia mencari IGD untuk menemukan sang anak. Tak mendapatkan presensinya, Mala menelpon sang suami yang ternyata Gara berada di ruang operasi.

Tubuhnya semakin lemas, ia langsung meluruhkan badannya di depan ruang operasi yang masih menyala tersebut. "Anakku Yah... Gimana bisa?" Tangisnya pedih.

"Bunda yang kuat, Gara pasti baik-baik aja." Adam langsung memeluk sang istri, berusaha menenangkan hati sang istri walau hatinya tak kalah kacau akan semua ini

"Gimana ceritanya Gara bisa kecelakaan Yah? Bukannya dia masih kuliah?" Tanya Mala setelah keadaan hatinya jauh lebih baik, berulang kali ia meyakinkan jika Gara baik-baik di dalam sana.

"Yang Ayah denger, dia bawa mobil ugal-ugalan di jalanan, berkali-kali ia nyalip kendaraan lainnya dengan nggak hati-hati. Dia nabrak mobil yang di parkir dari arah berlawanan. Sekarang polisi baru mencoba nyelidiki Bun, dan dugaannya Gara mabuk dan penyalahgunaan narkoba. Ini ada di bajunya."

Mala menutup mulutnya tak percaya akan kalimat terakhir Adam barusan, walau belum tentu anak itu memakai, tapi melihat benda yang di tunjukkan Adam membuat Mala kaget bukan main. Sejak kapan, anaknya terjerumus pada hak kotor seperti itu.

"T-terus Yah, nggak ada korban lain selain Gara 'kan. Di mobil yang dia tabrak itu, nggak ada orang 'kan di dalemnya?"

"Ada Bun, korbannya langsung di rujuk ke rumah sakit lain karena di sini nggak sanggup," jawab Adam setahunya. Ia tidak bertemu dengan korban yang Gara tabrak karena Adam mendapatkan kabar, Gara sudah di rumah sakit dan korban lainnya itu sudah di rujuk ke rumah sakit yang lain. Adam juga tidak melihat kejadiannya secara langsung, ia tidak tahu bagaimana insiden itu bisa terjadi.

Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang