12. Harus mandiri

3.5K 346 3
                                    

Heru adalah ayah tiri Mala, sedangkan ayah kandung Mala telah meninggal saat ia masih di sekolah dasar dan Nita masih TK saat itu. Selang beberapa tahun setelah meninggalnya sang Ayah, Mona sang ibu memutuskan menikah lagi dengan Heru yang sama-sama single parents waktu itu.

Baik Mona dan Heru sama-sama membawa anak dari mendiang suami dan istri mereka. Mala dan Nita dari Mona, lalu Ayub dan Ina dari Heru dan yang terakhir anak dari keduanya yaitu Dimas, bungsu diantara ke empat saudaranya yang lain. Maka dari itu, jika sudah berkumpul seperti ini akan ramai sekali.

"Mungkin karena kita cucu tiri ya kak? Jadinya Datuk pilih kasih," ujar Jio, anak itu masih stay di tempat yang sama sedari tadi bersama Gery dan Dewa.

Gery diam tak menanggapi, seperti apa yang pernah ia ucapkan sebelumnya. Bahwa keluarga dari pihak ibu itu sangat rumit.

"Nggak juga deh, soalnya Datuk nggak pilih kasih sama Kak Gara sama Kak Hera. Dia sayang sama mereka, beda lagi sama kita ya kak?" Ujar Jio lagi walau sang empu tak memberikan tanggapan.

"Kira-kira kenapa ya kak? Apa karna aku sa_

"Lo berisik tau nggak? Gue pusing denger lo ngomong terus." Gery angkat bicara, tak membiarkan Jio menyelesaikan perkataannya. Jio itu sebelas dua belas dengan Dewa, sama-sama cerewet. Tak bisa dibayangkan jika keduanya dibiarkan berdua, pasti berisik sekali.

Jio tersentak kaget mendengar ucapan itu, ia mengatupkan bibirnya tak berani lagi bicara. Dari dulu ia ingin dekat dengan kakak sepupunya ini, tapi Gery terlalu dingin untuk ia dekati. Dan sekarang pun masih sama. "Ya udah kak, aku ke dalam duluan ya? Inget, kakak nggak sendirian kok."

Jio pamit setelah itu, menyematkan senyum manisnya walau tak dibalas oleh Gery.

"Ger, lo kok gitu sih sama dia? Padahal niat dia baik lo mau memenin lo dan ngehibur. Lo mah aneh, ada orang welcome malah lo tolak. Sejauh ini dia yang keliatan tulus sama lo, mau ngajak lo ngomong. Anaknya juga imut lagi, kayak gue," tutur Dewa. Ia tidak tahu jalan pikir Gery itu seperti apa, saat ada orang yang ingin mendekat, Gery justru menyuruhnya pergi. Padahal katanya Gery tidak suka sendirian.

"Gue cuma nggak tau harus gimana," jawab Gery acuh tak acuh, ia sendiri tak ada niatan untuk lebih dekat dengan sepupunya, termasuk Jio sendiri.

"Terserah, ngomong sama lo tuh berasa ngomong sama batu. Nggak bakal didenger, keras lagi," gerutu Dewa. Jika saja Gery anak yang cerewet seperti Jio tadi, pasti akan seru ia ajak bicara.

Geru mendengus kesal mendengar gerutuan Dewa, cerewet-cerewet seperti itu juga Gery tak mau kehilangan sosoknya. Karena dari pada pengasuh, Gery sudah menganggap Dewa sebagai temannya.

Entah bagaimana nasibnya jika Dewa benar-benar pergi suatu hari nanti, sebab Gery sudah terlanjur nyaman dan aman bersama Dewa. Belum tentu jika nanti posisi Dewa digantikan orang lain, orang tersebut bisa sesabar Dewa menghadapinya.

***

Gery ingin cepat pulang ke rumah, tapi semua kerabatnya masih betah di sana dan diantara mereka ada yang menginap sebab jarak rumah mereka jauh. Gery ingin sekali meminta izin untuk pulang duluan, tapi ia tidak berani karena takut menjadi masalah lagi ke depannya.

Jadi saat punggungnya kembali berulah, ia diizinkan untuk mengistirahatkan tubuhnya di salah satu kamar tamu rumah kakek dan neneknya.

Maniknya menyipit sesaat itu membuka matanya, entah sudah berapa lama ia tertidur setelah merasa punggungnya mendingan tapi, yang penting ia merasa lebih baik saat ini.

"Dewa," panggilnya dengan suara serak, mencari eksistensi Dewa yang tidak ada di dekatnya. Biasanya cowok itu ikut tertidur jika dirinya tidur.

Gery mendudukkan dirinya perlahan, ia sudah berulang kali memanggil nama Dewa namun sang empu belum kunjung terlihat. Gery merasa haus saat ini, kemana sosok Dewa yang ia butuhkan sekarang.

"Udah bangun?"

Gery menatap tak minat pada orang yang tidak diharapkan kehadirannya, yang ia butuhkan Dewa, tapi Gara yang muncul dihadapannya saat ini.

"Dewa masih disuruh Datuk buat bantu ambilin barang, lo sama gue dulu," kata Gara lagi, seolah mengetahui siapa yang sedang Gery cari. Setelahnya ia berjalan mendekati sang adik yang duduk di atas ranjang, merebahkan tubuhnya di sana dan bermain ponsel.

Gery tak mengacuhkan Gara di sana, saat ini ia merasa sangat haus dan membutuhkan segelas air. Ia tidak mungkin meminta pada Gara untuk membantunya, jadi ia berinisiatif untuk mengambil sendiri.

"Lo mau kemana?" Gara yang menyadari pergerakan sang adik bertanya, terlihat kini Gery yang tengah susah payah menurunkan kedua kakinya menggunakan bantuan tangan ke lantai. "Yakin bisa?"

Yang diajak bicara tak mau mendengar, Gery tetap diam tak mau menanggapi ucapan sang kakak. Ia berdecak pelan karena saat akan pindah, kursi rodanya jauh dari jangkauannya.

"Kalo perlu bantuan nggak usah sok jual mahal, lo itu nggak bisa ngapa-ngapain kalo nggak dibantu orang." Tahu kesusahan sang adik, Gara mendekatkan alat bantu untuk adik berjalannya itu mendekat pada si pemilik. Gara menyentuh Gery, berniat untuk membantu. Tapi Gery menghindar tak mau disentuhnya.

"Pergi! Gue bisa sendiri!" Usir Gery, tak ada kata akur jika keduanya betenu. Ia tahu dibalik sikap Gara yang sok perhatian kepadanya ini ada maksud lain.

"Oke, gue akan pergi setelah liat lo bisa pindah sendiri. Gue mau liat, sejauh apa lo bisa dengan keadaan kayak gitu." Gara tersenyum mengejek, melihat wajah Gery yang menahan kesal adalah kesenangan untuknya.

Gery yang merasa dihina pun menuruti, ia mencoba untuk berpindah sendiri dari kasur ke kursi rodanya seperti apa yang sudah diajarkan saat rehabilitasi waktu itu. Namun sayang, sedikit lagi ketika dirinya akan berhasil, tubuhnya tergelincir karena kursi rodanya lupa dikunci, menjadikan benda itu bergeser saat ia akan memindahkan tubuhnya.

"Liat, lo dungu apa gimana sih? Kalo emang nggak bisa, nggak usah dipaksa!" Sentak Gara, untung saja dirinya sigap menahan tubuh sang adik agar tidak menyentuh ubin lantai, setelahnya ia membantu Gery duduk nyaman di kursi rodanya.

Gery mengepalkan tangannya, dibandingkan kesal pada Gara, ia lebih kecewa dengan dirinya sendiri saat ini. Bodoh sekali dirinya.

"Gini Ger, sekarang lo memang ada Dewa yang ngerawat lo, bantu semua apapun itu. Tapi bukan berarti lo jadi manja sama dia. Suatu saat lo nggak akan sama dia terus, contohnya kayak gini sekarang. Lo harus bisa mandiri, nggak terus-terusan bergantung sama orang lain." Gara menghela napas kesal, untuk pindah sendiri saja Gery tidak bisa, mau sampai kapan anak itu bergantung pada orang lain?

"Lo ngomong gitu, karena lo nggak paham apa yang rasain!" Gery tidak takut, dari dulu ia selalu membalas Gara jika kesabarannya sudah habis, sampai berujung keduanya adu jotos pun pernah dilakukan.

"Ya, gue memang nggak paham apa yang lo rasain. Karena nggak semua orang bisa paham!" Sahut Gara tak mau kalah.

"Kalo gitu kenapa lo sok peduli? Kenapa lo nyuruh gue buat mandiri sedangkan lo sendiri nggak paham?" Gery mendongak untuk melihat sang kakak, rasa haus yang ia rasakan menghilang begitu saja digantikan rasa marah dan kecewa di hati.

"Lo bilang gue harus mandiri? Memangnya dari dulu gue selalu manja sama Ayah Bunda atau sekalipun ke lo? Gue dari dulu itu sendiri Gar, daftar sekolah gue sendiri, ambil rapot sendiri, ke mana-mana sendiri. Mau minta apa-apa juga gue nggak berani, kecuali kalo memang udah mepet, itu pun gue harus bilang ke Pak Iwan dulu, saking jauhnya hubungan anak sama Ayah. Disaat terpuruk waktu awal kecelakaan itu gue pun gue sendiri, gue dirumah sakit sendiri.

Jadi nggak ada salahnya kalo gue sedikit manja sama Dewa sekarang, karena dia yang udah jaga gue, ngurus gue dengan baik, sesuatu yang nggak gue dapet dari lo atau Ayah Bunda selama ini."

[]

Lampung, 07082023

Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang