21. Ketakutannya

3.6K 343 3
                                    

Hidup di lingkungan baru, membuat Gery harus beradaptasi dengan sekitarnya. Sampai detik ini, pikirannya masih bertanya-tanya mengapa keluarga Dewa menerima dirinya dengan mudah begitu saja.

Gery senang sih dengan hal tersebut, tapi ia merasa aneh saja. Ia takut jika hanya di awal-awal saja mereka menerimanya, lalu setelah mengetahui dirinya hanya merepotkan, mereka merubah sikap.

"Oh udah bangun, kira Ibu belum."

Gery yang tengah menatap langit-langit kamar itu menoleh ke asal suara, di daun pintu terdapat Viona berdiri di sana. Wanita itu berjalan mendekati dirinya, dan reflek Gery bangun dan mendudukkan dirinya.

"Tadinya Ibu ke sini mau bangunin kamu, ini udah mau ashar dan kata Dewa kamu belum makan 'kan? Makan dulu ya," tutur Viona dengan lembut.

Gery mengangguk pelan, "Dewa-nya kemana Bu?" Tanyanya.

"Dewa masih mandi, sebentar lagi dia ke sini buat bantu kamu." Viona sudah mendengar banyak tentang Gery, ia tahu bahwa anak itu tidak bisa jauh-jauh dari Dewa, jadi pasti Gery akan langsung menanyakan keberadaan Dewa saat anaknya tak ada di sampingnya.

Setelah percakapan itu, keduanya diam. Gery sendiri bingung ingin berkata apa dan hanya bisa berharap Dewa segera datang agar suasana canggung ini sedikit menghilang. Tubuhnya masih terasa lelah, sebenarnya sedari tadi Gery tak benar-benar tidur karena belum terbiasa.

Tak lama kemudian, orang yang ditunggu-tunggu datang. Dewa masuk ke dalam dengan rambut yang masih basah, memakai baju pendek dan celana yang sama di tubuhnya.

"Ibu tunggu di luar, aku mau bantu Gery bersih-bersih dulu," kata Dewa. Viona mengangguk paham, wanita itu pergi dari sana dan membiarkan Dewa melakukan tegasnya.

"Ada keluhan nggak? Sakit kepalanya atau yang lain?" Tanya Dewa, ia harus memastikan jika Gery dalam keadaan baik saat ini.

"Cuma capek sedikit, lainnya nggak papa," jawab Gery jujur.

Dewa percaya dengan ucapan Gery, karena selama ini Gery tak pernah menutup-nutupi keadaannya. "Syukur deh, ya udah sekarang ayok mandi."

"Wa, gue mau coba sendiri," ujar Gery, ia menahan tangan Dewa yang akan membantu dirinya berpindah. Dewa juga tak menahan, remaja itu tetap membiarkan Gery memindahkan dirinya sendiri ke kursi roda, walau begitu Dewa tetap waspada takut anak itu terjatuh.

"Itu bisa sendiri," celetuk Dewa, ia tak menyangka jika Gery bisa berpindah sendiri seperti itu, karena selama ini anak itu selalu dibantunya.

"Ya memang bisa," kata Gery tak acuh, kali ini ia bisa pindah sendiri dengan mulus. Tak seperti waktu itu di depan Gara, seharusnya kakaknya melihat ini sekarang, agar ia tak dikatai manja.

Dewa hanya menghela napas pelan, ingin rasanya menceramahi Gery, tapi ia menahan diri karena tak mau membuang waktu dan tak perlu menunggu lama lagi, ia segera membawa Gery ke kamar mandi.

***

Iwan sudah kembali pulang tadi, pria itu menitip pamit untuk Gery. Karena tak sempat berpamitan pada tuan mudanya, sebab Gery istirahat tadi. Jadi Iwan tak berani mengganggu.

Dan sehabis mandi, kini Gery tengah berada di meja makan. Ia tak sendiri, ada Dewa dan Reza, adik Dewa. Dewa tidak makan, ia hanya menemani. Sementara Gery dan Reza makan dalam diam. Sepertinya Reza baru pulang sekolah, terlihat anak itu yang masih memakai seragam sekolahnya dan tas punggung yang tergeletak di kursi sebelahnya.

"Mas Dewa sampe sini jam berapa?" Tanya Reza di sela makannya, matanya sesekali melirik kehadiran satu orang yang belum dirinya kenal.

"Tadi sekitar jam satu," jawab Dewa, ia yang paham akan arah pandang Adiknya yang tak hentinya melihat Gery pun melanjutkan kalimatnya, ia lupa untuk mengenalkan Reza pada Gery. "Dia Gery, orang yang Mas rawat di sana. Lebih tua dari lo, jadi panggil dia Mas, Kakak, Abang, A'a atau terserah lo gimana enaknya."

Reza mengangguk paham, ia hanya tersenyum tipis ke arah Gery yang juga menatapnya dan tak mengatakan apapun. Dari penampilannya saja sudah terlihat, jika Gery itu anak orang kaya.

"Mas keliatan lebih putih pulang dari kota, tapi paling geh seminggu ada di sini item lagi," celetuk Reza, antara memuji dan mengejek sekaligus. Tapi sebelum kerja di kota pun Dewa memang sudah putih, jadi saat ini kakaknya itu terlihat lebih putih lagi.

"Masih mending gue, emangnya lo? Yang kerjaannya main bola terus, jadi item," ujar Dewa tak mau kalah, belum juga ganjil lima belas menit mereka bertemu, tapi Reza sudah mengajak berdebat.

"Dih, iya sih, yang sok si paling putih. Gue juga main bola ada gunanya, bisa buat Bapak sama Ibu bangga. Nggak kayak lo yang jadi babu." Reza tertawa mengejek, sudah lama sekali rasanya ia tidak mengganggu sang kakak.

Dewa yang mendengarnya menggeram marah, ia melempar sendok ke arah Reza, tapi sayangnya meleset karena Reza dengan cepat menghindar. "Emangnya lo masuk sekolah dibayarin siapa? Walau gue jadi babu, seenggaknya gue nggak jadi beban kayak lo!"

"Nyenye, gue nggak denger." Reza menjulurkan lidahnya mengejek, ia dengan cepat menghabiskan sisa makannya dan neneguk minum dengan cepat, sebelum Dewa beranjak untuk mengejarnya, anak yang baru masuk SMA tahun ini berlari dengan cepat dan naik ke lantai dua.

"Awas lo Za! Tunggu pembalasan gue!" Teriak Dewa, jika saja tak ingat ada Gery saat ini, ia sudah mengejar adik laknatnya itu.

Sementara itu, Gery hanya bisa diam melihat interaksi kedua adik kakak itu. Interaksi keduanya memperlihatkan jika keduanya sangat dekat. Dan melihat bagaimana respon Reza padanya tadi, Gery menjadi overthingkink. Apa Reza tak menerima kehadirannya?

"Kenapa Ger? Nggak enak ya? Atau lo mau apa gitu, biar gue beliin. Apa mau lo dimasakin yang lain?" Tegur Dewa yang melihat Gery diam di tempatnya.

Gery tersadar dari lamunannya, ia menggeleng pelan."Nggak, ini enak kok." Lalu mulai menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Kalo memang lo nggak suka, bilang aja ya."

***

Sebenarnya kamar Dewa berada di atas, dekat dengan kamar Reza. Namun ia tidak bisa membiarkan Gery tidur sendiri di bawah, karena pasti anak itu butuh bantuan orang lain. Contohnya saat ini, kejang otot kaki Gery kambuh lagi, dan yang bisa membantu hanya Dewa.

Bisa Dewa rasakan, Gery meremas pundaknya kuat, menandakan jika anak itu sangat kesakitan saat ini. Gery merintih sakit dan mengadu padanya seperti biasa, tak ketinggalan menangis yang menjadi andalan. Dewa tidak tahu Gery itu memang cengeng sedari dulu, atau memang karena sakit yang diderita.

"Ssh," desis Gery, ia memejamkan matanya kuat menikmati rasa sakit yang menyiksa dirinya. Ia bisa kambuh seperti ini pasti gara-gara kelelahan, dan banyak pikiran.

Sekitar dua puluh menit berlalu, rasa sakit di kakinya perlahan menghilang, walau belum sepenuhnya. Tangan yang Gery gunakan untuk meremas pundak itu perlahan mengendor.

"Masih sakit?" Tanya Dewa.

"Sedikit, tapi jauh lebih baik. Makasih Wa," jawab Gery, kakinya yang tadi menendang-nendang tak terkendali sudah diam kembali.

Dewa bernapas lega mendengar jawaban Gery, ia meletakkan tungkai Gery yang tadi ia pijat dengan hati-hati, lalu dirinya ikut duduk di tepi ranjang dekat Dewa.

"Wa, gue jadi kepikiran deh."

Dewa menoleh ke arah Gery, "kepikiran apa?"

Gery menunduk, tangannya saling meremas satu sama lain. "Gimana kalo seandainya gue mati, tapi keluarga gue nggak mau ngurus jenazah gue nantinya? Apa mereka tetap nolak gue walau gue udah mati sekalipun."

Dewa terkejut akan ucapan Gery barusan, bagaimana bisa anak itu berpikir sampai situ. "Kalo lo mati nanti, ada gue yang ngurus."

Gery tersenyum miris, "tapi gimana kalo gue mati dan lo nggak ada buat gue? Lo sendiri 'kan yang bilang kalo suatu saat lo akan pergi, karena lo punya keluarga, punya mimpi yang harus dikejar dan nggak selamanya lo ada buat gue."

"Bukan maksud gue egois ngomong gini Wa, gue cuma takut
. Gue justu sangat berterima masih sama lo atas tenaga dan pikiran yang udah lo kasih buat gue. Cuma lo yang tulus ke gue."

[]

Besok hari senin gaes, semangat

Lampung, 20082023

Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang