Fakta yang baru saja Gery ketahui tentang keluarga Dewa, yaitu; ternyata Adi yang katanya Dewa bekerja sebagai buruh tersebut nyatanya adalah seorang lurah di Desa ini. Kenyataannya Dewa barasal dari keluarga berkecukupan, lantas apa yang membuat Dewa berbohong kepadanya?
"Kenapa lo bohong sama gue?" Tanya Gery, mengapa juga Dewa harus menutupi ini semua darinya?
"Gue nggak sepenuhnya bohong Ger, karna memang keluarga lo lebih kaya dari gue. Jadi rasanya nggak pantes gue bilang ini ke lo," jawab Dewa.
"Maksud lo merendah untuk meroket?" Cecar Gery. Ia tak masalah Dewa mau berasal dari keluarga manapun, ia tak akan memandang status keluarga, tapi ini masalahnya Dewa berbohong.
"Bukan gitu juga Ger. Gue minta maaf karena lo merasa terbohongi sama gue. Tapi yang lo harus tau, kalo gue nggak ada niat apapun ke lo." Dewa mengakui kesalahannya, karena tidak bilang jujur pada Gery.
"Terus, apa alasan lo cari kerjaan? Kenapa lo nggak lanjut kuliah aja?" Tanya Gery lagi, Dewa itu 'kan ingin mengapai mimpinya agar bisa membanggakan kedua orang tuanya, lantas kenapa cowok tersebut memilih untuk bekerja?
"Nggak ada alasan khusus kenapa gue kerja, hal itu gue lakuin buat nyari duit aja dari pada nganggur di rumah. Dan soal kuliah, gue bakal kuliah kok, tapi nanti," ujar Dewa.
"Tapi sekarang lo pengangguran lagi," celetuk Gery. Menurutnya, Dewa itu spesies langkah yang dirinya temui.
"Nggak kok, gue masih jadi babu lo."
Jawaban Dewa membuat Gery mendengus kesal, "emangnya lo mau disebut kayak gitu? Menurut gue, itu keterlaluan."
Dewa justru tertawa mendengar ucapan Gery, "nggak kok, yang penting halal." Dewa bukannya ingin menjadi orang yang sok baik, tapi memang inilah kepribadiannya, ia yang sederhana dan tak mau pamer. Lagi pula yang kaya itu sang Ayah, bukan dirinya.
Dewa juga bukan orang yang gengsi, ia tak malu walau harus bekerja padahal sang ayah mampu. Dan pasal dirinya yang membayarkan uang pendaftaran sekolah Reza, itu benar adanya. Berawal dari mereka yang taruhan, dan berujung Dewa kalah lalu harus menepati janji yang sudah mereka buat sedari awal.
"Kayaknya Adek lo nggak suka sama gue." Gery tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya, ia terus kepikiran tentang Reza terhadapnya. Ia hanya takut, jika kehadirannya di sini membuat Reza tidak nyaman.
"Bukan, dia emang gitu orangnya. Nanti juga lama-lama kalian deket, nggak usah dipikirin," kata Dewa meyakinkan.
Gery ingin mengiyakan ucapan Dewa, tapi ketika ia kembali mengingat tatapan Reza padanya, Gery belum bisa tenang. "Wa, apa gue seburuk itu di mana orang-orang?"
"Kenapa ngomong gitu? Lo nggak seburuk itu, nyatanya gue nggak memandang lo buruk." Dewa tahu jika emosional Gery tengah sensitif saat ini, banyak ketakutan dan kekhawatiran yang anak itu pendam.
Gery menunduk, entah kenapa hatinya cepat sekali sensitif setiap kali ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Gue tau lo beda sama mereka, tapi nggak buat orang-orang. Gue ngerasa di manapun gue berada, hanya penolakan yang gue terima. Entah itu di masa lalu atau pun sekarang. Apa salah gue?"
Sebelum dirinya lahir pun Gery sudah mendapatkan penolakan 'kan? Ia tidak mengerti mengapa semua orang memandangnya seolah ia ini seorang penjahat. Di mana dirinya berpijak, orang-orang selalu menolaknya, seolah dirinya ini sampah yang pantas di jauhi.
Dewa menyentuh pundak Gery, ia tak pernah membayangkan jika ia meninggalkan Gery pada keluarganya kemarin, tak tahu apa yang akan terjadi pada Gery yang kesepian itu di sana. Tak kan ada yang mampu membuat pundak tersebut selalu tegar.
"Ger, semua ini bukan salah lo. Salah mereka yang nggak bisa nerima lo apa adanya, salah mereka yang nggak mau nerima takdir Tuhan yang udah di gariskan. Lo itu jauh hebat diantara mereka-mereka yang nolak lo, sedangkan mereka hanya seorang pengecut yang nggak bisa nerima apa yang Tuhan kasih. Mereka kurang bersyukur atas hidup mereka, mereka terlalu serakah sampai lupa bahwa semua yang ada di dunia ini milik Tuhan."
Gery mengangkat wajahnya, kedua matanya sudah berkaca-kaca namun belum tumpah seperti biasanya. "Apa yang harus gue lakuin sekarang?" Tanyanya parau.
Dewa tersenyum simpul, "kita hidup untuk diri kita sendiri, bukan untuk orang lain. Lo nggak perlu mikirin pandangan orang lain ke lo, karena orang dengan cepat lupain kita atas apa yang terjadi, mereka nggak penting buat lo pikirin dan lo juga nggak penting buat mereka pikirin. Jadi yang harus lo lakuin adalah, cintai diri lo sendiri."
Hati Gery menghangat mendengarnya, ini lah alasan mengapa dirinya tak mau kehilangan Dewa. Hanya Dewa yang bisa, hanya Dewa yang selalu ada untuknya, hanya Dewa yang mampu memberikan kekuatan.
"Makasih, gue percaya sama lo Wa."
***
Setelah memastikan Gery tertidur dengan nyaman, Dewa putuskan untuk keluar kamar karena dorinya belum mengantuk. Ia mendekati Reza yang tengah bermain game di ponselnya dengan televisi yang dibiarkan menyala walau tak di tonton. Hanya ada Reza, sementara Viona pasti sudah tidur dan Adi belum pulang karena masih ada urusan di balai desa.
"Za, lo nggak suka ya ada Gery di rumah," kata Dewa langsung pada intinya. Ia harus segera meluruskan hal ini agar Gery maupun Reza mereka nyaman ada di atap yang sama, tanpa adanya kebencian.
Reza yang masih fokus pada gamenya itu melirik sang kakak sekilas, tak peduli dan tetap melanjutkan game yang sedang berlangsung.
"Za! Gue ngomong sama lo!" Kali ini Dewa berucap dengan nada keras, takut jika penghuni rumah yang sudah tertidur akan bangun karena mendengar keributan yang ia buat.
"Apaan sih Mas, ganggu aja. Ngapain juga sih ngomongin dia!" Jawab Reza ketus, selain merasa terganggu karena Dewa menggangunya, Reza juga malas sang kakak membahas orang lain.
"Lo beneran nggak suka sama dia?" Tebak Dewa, merasa kesal akan sikap Reza yang tak berubah, masih saja menyebalkan seperti dulu.
Reza mematikan ponselnya dan meletakkannya asal, karena diganggu sang kakak ia jadi kalah bermain game. "Lagian kenapa Mas mau aja sih bawa dia ke sini? Dia punya keluarga 'kan di sana? Kenapa harus Mas bawa? Dengan adanya dia di sini justru nyusahin tau nggak! Apa untungnya bawa orang cacat kayak dia!"
"REZA! Mas nggak pernah ngajarin kamu buat ngomong kayak gitu! Kamu tuh anak sekolah, seharusnya bisa jaga tutur kata! Kalo memang kamu nggak suka, ngomong baik-baik. Mas juga tanya sama kamu baik-baik. Mas juga punya alasan kenapa bawa dia ke sini, Mas nggak asal bawa orang lain ke keluarga kita!" Dewa tak menyangka jika jawaban yang keluar dari sang adik seperti itu, kata-kata yang menyakitkan untuknya dan Gery sekalipun.
"Terus apa alasannya Mas! Dia memang orang lain 'kan!" Ujar Reza tak mau kalah.
Deg!
Dewa kehilangan kata-kata, ia menelan salivanya kasar, tangannya yang terkepal di sisi tubuh itu bergetar pelan. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan rahasia yang selama ini dirinya simpan. "K-karena, Mas yang udah buat dia cacat. Mas yang udah buat dia menderita, Za."
[]
Fahreza Anggara
Waduh, apa tuh maksudnya Dewa?
Kalo tembus 35 vote & 10 komen sampe malem ini, aku double up⭐️
23082023
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓
FanfictionGery hidup dalam kesepian dan selalu diperlakukan berbeda oleh kedua orang tuanya. Namun, hidupnya semakin rumit ketika ia mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh. Cacatnya semakin membuat orang menjauh. Namun, di tengah kesepian, seorang perawa...