17. Izin

3.6K 357 7
                                    

Adam datang ke rumah sakit, sesuai janjinya untuk melihat anak tengahnya yang sakit. Adam tak tahu pasti apa yang terjadi, tapi yang ia tahu dari Iwan jika Gery sesak napas hingga akhirnya di bawa ke rumah sakit.

Pria itu ingin marah, sebab Iwan tak memberitahukan dulu dan meminta izin padanya untuk membawa Gery ke rumah sakit, karena mau bagaimana pun ia adalah ayahnya, ia berhak tahu. Tapi Adam juga sadar diri, dirinya bukanlah sosok ayah yang baik.

Kini, Adam ada di hadapan sang anak, raut pucat masih terlihat jelas menghiasi wajah tampan sang putra, tak lupa selang oksigen yang masih membantunya bernapas dengan baik.

"Gimana keadaanmu? Udah baikan?" Tanya Adam.

Gery mengangguk pelan di tempatnya, hatinya terasa sakit mendengar pertanyaan dari Adam barusan, karena itu mengingatkan dirinya pada fakta bahwa sang ayah tidak mengharapkannya. "Lumayan, Ayah dateng sendiri? Bunda mana?"

"Bunda masih ada klien, jadi mungkin ke sini nanti sore." Adam merasa ada yang berbeda dengan Gery saat ini, anak itu terlihat gelisah di dekatnya dan juga seperti ketakutan?

Melihat Gery yang diam, Adam putuskan untuk kembali bertanya, "kamu kenapa? Butuh sesuatu? Atau ada yang sakit?"

Gery menggeleng pelan, hatinya semakin terasa sakit saat Adam kembali bertanya kepadanya. Mengapa sang Ayah pandai berakting seolah peduli dengannya? Padahal pria itu tak mau dirinya ada di dalam keluarga bahagianya.

"Terus kenapa nangis?"

Anak itu justru semakin terisak mendengar ucapan Adam barusan. Memang tak ada nada bentakan dalam kalimat tersebut, tapi hatinya yang tengah sensitif saat ini, Gery mengartikan jika kalimat datar sang ayah adalah kemurkaan.

Adam menghela napas pelan, menurutnya Gery aneh karena tiba-tiba menangis seperti itu. Padahal dirinya tak berbuat apa-apa selain bertanya.

Tak lama setelah itu, datanglah sosok Dewa yang entah dari mana. Remaja itu terlihat kaget saat tahu Adam berada di sana, dan semakin dibuat bingung kenapa Gery tahu-tahu sudah menangis lagi. Apakah tidak lelah anak itu menangis dari kemarin? Cengeng sekali.

"Kamu dari mana aja Wa? Kok Gery ditinggal sendiri?"

Dewa yang baru saja datang sudah diinterogasi saja oleh Adam, ia urungkan niatnya yang akan bertanya pada Gery mengapa anak itu menangis pun lebih memilih untuk menjawab pertanyaan Adam terlebih dahulu. "Maaf Pak, saya habis makan tadi. Saya juga udah izin sama Gery buat ditinggal sebentar."

Adam mengangguk paham, matanya melirik pada Gery yang tak berkutik sedari tadi, dan saat ini anak itu menunduk dengan tangan yang memainkan selimut yang ia pakai.

"Kenapa Gery bisa sakit kayak gini? Emangnya dia main ke mana aja?" Pertanyaan terus saja Adam keluarkan, ia sebagai ayahnya berhak tahu dengan apa yang terjadi 'kan?

"Aku nggak papa Yah, jangan salahin Dewa. Dia udah jaga aku baik-baik," sahut Gery, ia mendongak sebentar sebelum akhirnya menunduk kembali di tempatnya.

"Kalo dia jaga kamu dengan baik, kenapa bisa sakit? Kamu nggak usah jawab, Ayah mau denger sendiri jawaban Dewa kayak gimana," ujar Adam dengan tegas.

"Kenapa Ayah peduli? Seharusnya Ayah seneng liat aku sakit, yang mungkin bentar lagi bakal mati!" Gery memberanikan diri menatap Adam, ia tahu dirinya cari mati saat ini karena berani melawan.

Dan benar saja, pria tiga anak itu terlihat marah saat Gery berkata seperti itu barusan. "Ngomong apa kamu barusan? Ayah peduli karena Ayah orang tua kamu! Nggak usah sembarangan bawa-bawa mati, emangnya mati semudah itu!"

"Mulut Ayah memang bisa ngomong gitu! Tapi lain di hati Ayah! Aku mohon jangan gini, mending Ayah jujur sama perasaan Ayah yang sebenarnya. Hati aku makin sakit dengan perlakuan Ayah yang kayak gini."

"Maksud kamu gimana?" Adam tak tahu arah pembicaraan Gery, ia bingung mengapa Gery seperti ini.

"Sejak sebelum aku lahir, Ayah sama Bunda nggak mengharapkan aku untuk ada di dunia ini 'kan? Jadi Ayah jangan berpura-pura gini lagi sekarang. Aku udah tau, aku udah sadar. Ayah nggak perlu sandiwara dan takut buat hatiku sakit. Cukup sampai sini Yah, jangan buat aku semakin merasa bodoh, hanya aku minta afeksi yang nggak pernah Ayah kasih."

Deg!

Adam bungkam, ia kehabisan kata-kata untuk menyangkal bahwa ucapan Gery salah. Karena apa yang diucapkan anak itu benar, tak salah sasaran. Tapi, dari mana Gery tahu itu? Mengapa Adam merasa sakit mendengar kalimat itu keluar dari bibir Gery? Mengapa ia menjadi merasa bersalah?

"Yah, aku nggak papa kalo Ayah memang nggak mau aku seatap sama Ayah. Aku nggak papa kalo Ayah memang nggak mau peduli sama aku. Ayah seharusnya bilang dari awal agar aku nggak mewanti Ayah dateng buat aku. Seharusnya Ayah bilang dari awal, supaya aku nggak terlalu besar berharap dan nunggu kalian. Agar luka yang aku dapet nggak akan sebesar ini." Gery masih betah menatap sang Ayah dengan sendu, ia tak bisa menahan gejolak di hatinya sampai ia putuskan untuk mengeluarkan uneg-unegnya sekarang, di hadapan Adam.

"Ayah buang aku ke panti, hal itu lebih bagus dibanding harus hidup menunggu hal yang nggak menentu. Harusnya Ayah buang aku aja, biar aku nggak tau sekalian siapa sosok kedua orang tua aku. Ayah dan Bunda mungkin menganggap semua ini biasa, tapi buatku nggak. Aku punya hati, aku punya perasaan. Aku juga manusia yang bisa merasa sedih, aku hanya manusia biasa Yah."

Adam masih kehabisan kata-kata, ia hanya bisa diam mendengar keluh kesah yang anaknya keluarkan. Jauh sebelum ini, baik dirinya dan Mala sudah bisa menebak, jika suatu saat Gery pasti akan bertanya mengapa mereka pilih kasih kepadanya dan ia dan Mala sudah berjanji untuk tidak membahas dan memberitahu Gery alasan atas apa yang sudah mereka perbuat.

Adam memijit pelipisnya sejenak, ini pasti Mala yang memberitahu Gery alasan sebenarnya, istrinya mengingkarijanji. "Walau begitu, Ayah nggak lepas tanggung jawab untuk kamu. Ayah sekolahin kamu, beliin kamu baju, makan-makanan enak, dibeliin hp dan motor. Apa semua itu nggak cukup untuk mengganti kasih sayang Ayah ke kamu?"

Gery mengembangkan senyum tipisnya di bibirnya yang pucat, jejak air mata pun masih terlihat di pipinya. "Semua itu memang cukup buat aku Yah. Aku berterima kasih ke Ayah karena walau Ayah nggak suka akan kehadiranku, Ayah tetep kasih keperluan yang aku butuhin. Tapi Yah, apa Ayah lupa, kalo anak tetaplah anak, yang membutuhkan peran kedua orang tuanya. Nggak, bukan aku minta sama Ayah buat kasih aku kasih sayang Ayah. Karena aku nggak akan lagi mengharapkan itu."

"Lalu, kalo kamu nggak berharap lagi. Kamu mau apa?"

Gery yang masih mempertahankan senyum tipisnya itu menarik pelan tangan Dewa yang sedari tadi diam, menyaksikan buruknya hubungan antara dirinya dengan sang Ayah. "Yah, izinin aku pergi sama Dewa. Dengan begitu Ayah atau Bunda nggak akan merasa terbebani. Aku tau pasti Ayah risihkan ada aku di rumah? Apalagi sekarang aku lumpuh, pasti Ayah sama Bunda malu."

Gery harap, ini adalah keputusan terbaiknya. Bukan hanya untuk dirinya saja, namun bagi keluarganya juga.

[]

Pemanasan dulu nggak sih, wkwk
Spoilernya Gery bakal ikut Dewa kok.

Lampung, 14082023

Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang