Gery adalah seorang pemimpi, ia memiliki cita-cita ingin menjadi seorang polisi. Alasannya simple, dirinya ingin menangkap seorang penjahat. Maka dari itu, ia selalu menjaga fisik dan kesehatannya agar bisa mendaftar dan lolos nantinya.
Namun sayang, mimpi besarnya itu harus Gery kubur dalam-dalam, bagaimana bisa ia menangkap penjahat sedangkan dirinya saja tidak bisa berdiri. Tidak ada polisi yang memakai kursi roda, yang ada penjahat keburu kabur.
"Kalaupun ada, itu mustahil Wa." Gery tersenyum miris, meratapi mimpinya yang sudah hancur bahkan sebelum dirinya memulai.
Dewa terdiam mendengarnya, sejauh ini ia belum pernah mendengar ada polisi berkursi roda, dan kalaupun ada, mustahil.
"Apa kaki lo nggak bisa sembuh? Karna gue liat-liat di internet ada yang sembuh dan normal kayak kehidupan mereka dulu," tanya Dewa, selama bekerja ia belum tahu bagaimana kondisi Gery yang sebenarnya, yang dirinya tahu hanya Gery lumpuh karena SCI yang disebabkan oleh kecelakaan yang dialaminya, entah itu permanen atau tidak.
Gery menggeleng pelan lemah, "cedera yang gue alami lumayan parah Wa, gue juga lupa detail penjelasannya gimana. Tapi yang pasti kalo kelumpuhan yang gue alami ini permanen. Setiap orang punya masalah yang beda-beda, dan emang ada sebagian yang bisa sembuh, bahkan ada yang sebulan udah bisa jalan dan itu nggak berlaku buat gue. Pipis aja pake selang, gimana mau jalan," lirihnya diakhir.
Gery menatap kakinya prihatin, kedua tungkai yang biasanya bisa ia ajak lari ke sana ke sini kini tak lagi berfungsi. Mau sekeras apapun Gery mencoba untuk menggerakkan kakinya, hasilnya nihil.
"Apa memang nggak ada cara lain? Kalo nggak bisa jalan, seenggaknya bisa buat lo nggak tergantung sama kateter." Dewa merasa sedih melihatnya, seharusnya anak seusia Gery masih senang-senangnya bermain di luar sana, bukan terkukung dan hanya bisa duduk diam di tempat.
"Gue nggak tau, tapi kayaknya gue nggak bisa lepas dari ini. Karena dari awal gue udah gini, gue nggak bisa kontrol buat itu." Lagi-lagi, Gery merasa tidak beruntung diantara orang-orang yang juga memiliki kondisi yang sama dengannya. Diantara mereka masih ada yang memiliki kesempurnaan berjalan, tidak bergantung dengan kateter dan pastinya didukung keluarga mereka.
"Kenapa? Gue nyusahin ya," lanjut Gery melihat Dewa yang terdiam setelah mendengar jawabannya. Apa Dewa juga merasa bosan kepadanya karena ia merepotkan? Apa Dewa lelah mengurusnya yang menyusahkan ini?
"Nggak, jangan mikir yang aneh-aneh dulu. Gue cuma ngerasa lo lebih kuat dari apa yang gue bayangkan. Lo bisa lewati semua ini sendirian. Lo sendiri capek, tapi tau nggak boleh nyerah gitu aja."
Gery tersenyum tipis, tentu saja ia merasa lelah dan muak dengan semua ini, tapi ia merasa tidak boleh menyerah begitu saja karena ia sudah diberi kesempatan oleh Tuhan, untuk memperbaiki segala perbuatan buruknya di masa lalu.
"Lo juga sosok yang kuat buat gue Wa. Lo sosok yang pekerja keras dan bertanggung jawab, walau cerewet banget sih. Tapi nggak papa," kata Gery apa adanya. Sejak awal ia sudah merasa kagum dengan Dewa yang rela pergi merantau demi membantu perekonomian keluarganya.
Dewa tertawa pelan, tak bisa menyangkal jika dirinya memang cerewet. "Makasih lho pujiannya, gue berasa terbang di atas awan."
Tok tok tok!
Keduanya lantas mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar yang diketuk, tanpa menunggu lama Dewa berdiri untuk membukakan pintu tersebut dan tampilah Mala di sana.
"Gery mana?" Tanyanya.
"Ada Bu, di dalem," jawab Dewa dengan sopan, ia menepi dari pintu agar Mala bisa masuk ke dalam.
"Dewa, kamu boleh tunggu di luar dulu ya. Saya mau ngobrol dulu sama Gery," ujar Mala, ia tersenyum tipis pada Dewa. Sementara Dewa sendiri hanya mengangguk patuh, ia melangkah pergi dari sana meninggalkan anak dan ibu itu.
Mala menghela napas pelan melihat punggung sang anak yang membelakanginya, "Ger, Bunda mau ngomong sebentar."
"Ngomong aja Bun, bakal aku dengerin kok," sahut Gery di tempatnya, tak berniat berbalik badan untuk melihat wajah sang ibu.
"Kamu nyaman dirawat sama Dewa?" Tanya Mala, wanita itu berjalan ke arah jendela dan menyingkap hordeng yang tepat di depan sang anak saat ini, sehingga ruangan yang tadinya gelap menjadi terang.
"Iya, aku nyaman sama dia." Walau sedikit heran, Gery tetap menjawab. Tumben sekali Mala beritanya seperti ini, jelas saja jawabannya adalah nyaman, Dewa membuatnya tak kesepian lagi.
Mala membalikkan badan, sehingga ia dan Gery saling pandang saat ini. Sejenak Mala menyadari jika Gery tidak sekurus saat pertama kali pulang dari rumah sakit, sepertinya bobot anak itu bertambah. Mengartikan jika Dewa memang merawatnya dengan baik.
"Syukurlah kalo dia kerjanya bagus. Kamu juga keliatannya udah lebih sehat dari waktu itu, jadi kayaknya bisa 'kan apa-apa sendiri?"
Kening Gery mengerut, "maksud Bunda gimana?"
"Kemaren Gara bilang sama Bunda, kalo sebaiknya kamu sekarang mulai mandiri, nggak bergantung sama orang lain termasuk Dewa. Karena nggak mungkin kamu seumur hidup bakal gantungin semuanya ke orang lain 'kan. Apa kamu juga nggak malu kalo setiap aktivitasnya dibantu sama orang? Kamu nggak mau mandiri?" Kemarin Gara datang padanya, dan berbicara untuk membahas Gery ke depannya seperti apa.
Gara memberikan pendapat bahwa sebaiknya Gery mulai mandiri melakukan apapun tanpa bantuan orang lain, hal itu bertujuan untuk kebaikan Gery sendiri ke depannya. Dan setelah dipikir-pikir, Mala setuju dengan apa yang Gara katakan.
"Jadi, Dewa bakal Bunda pecat gitu?" Gery mengepalkan tangannya tanpa Mala sadari, hatinya mendadak panas ketika mendengar nama Gara yang disangkut pautkan, pasti ini gara-gara kemarin saat ia gagal pindah sendiri. Gara s*alan!
"Iya, dan kamu harus belajar mandiri," tutur Mala dengan enteng.
Dada Gery naik turun tidak karuan, dirinya merasa dipermainkan. "Kenapa? Kenapa kalian jahat sama aku?" Tanyanya, ia mendongak melihat sang ibu dengan tatapan sendu.
"Apa maksudnya jahat? Semua ini juga buat kamu sendiri." Mala tak paham mengapa Gery menyebutnya jahat, semua ini ia lakukan juga untuk anak itu sendiri.
"Buat aku? Atau buat kalian? Kalo Dewa pergi, aku sama siapa?" Tanya Gery lagi dengan suara seraknya.
"Kok sama siapa sih, di sini ada Bunda, Ayah, kakak kamu sama adik kamu. Kamu tanya sama siapa?"
Gery tersenyum miris mendengarnya, "iya, aku punya kalian. Tapi aku selalu sendiri. Kalian memang ada di sini, tapi kalian nggak pernah anggap aku ada 'kan? Apa lagi setelah aku kecelakaan, kalian ngerasa jijik kalo deket aku, seolah aku memang sampah yang pantas buat dijauhi. Lalu setelah aku punya Dewa, yang nggak biarin aku sendirian, Bunda juga mau ambil satu-satunya temen aku?"
"Itu karna dia kerja! Makanya nggak biarin kamu sendirian! Terserah kamu setuju atau nggak Bunda pecat dia, yang bayar juga bukan kamu," papar Mala, ia seorang yang tidak suka dibantah.
"Kalo pada akhirnya Bunda egois, kenapa tanya pendapat aku? Bunda bahkan nggak nyangkal kalo kalian nggak menganggap aku, itu berarti aku benar 'kan? Aku jadi ragu apa dan siapa posisiku di rumah ini. Apa aku ini anak selingkuhan ayah atau bunda, sehingga aku nggak pernah dapet kasih sayang kayak Gara dan Hera."
"Tolong kasih penjelasan Bun, biar aku nggak bingung dan sadar apa kesalahanku."
[]
Lampung, 10082023
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓
FanfictionGery hidup dalam kesepian dan selalu diperlakukan berbeda oleh kedua orang tuanya. Namun, hidupnya semakin rumit ketika ia mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh. Cacatnya semakin membuat orang menjauh. Namun, di tengah kesepian, seorang perawa...