Setiap perbuatan memiliki alasan, begitu juga dengan apa yang Adam dan Mala lalukan kepada anak tengah mereka, Gery. Mereka memiliki alasan, mengapa memperlakukan Gery berbeda dengan kedua saudaranya yang lain.
Dulu, waktu Mala hamil anak kedua mereka, keduanya sangat menginginkan kehadiran anak perempuan diantara mereka, setelah sebelumnya anak pertama mereka berjenis kelamin laki-laki.
Awal sebelum keduanya memutuskan untuk menikah, Adam dan Mala memang sudah sepakat ingin memiliki dua anak saja, anak pertama laki-laki dan kedua perempuan.
Namun sayangnya, keinginan mereka memiliki anak kedua mereka berjenis kelamin perempuan sirna, saat hasil USG mengatakan jika jabang bayi di perut Mala laki-laki. Adam dan Mala tentu kecewa, dan memiliki pemikiran untuk menggugurkan bayi tersebut, tapi mereka menyangkal bahwa hasil pemeriksaan USG itu salah dan masih menaruh harapan bahwa anak kedua mereka perempuan.
Tidak ada yang bisa merubah takdir yang Tuhan tentukan, begitu juga Adam dan Mala yang harus menerima jika bayi kedua mereka terlahir sebagai anak laki-laki, bukan perempuan yang mereka harapkan.
"Mau laki-laki atau perempuan, keduanya sama-sama karunia dari Tuhan, keduanya sama-sama anugerah-Nya. Jika kalian belum diberi anak perempuan, itu berarti Tuhan belum memberikan izin kalian untuk merawatnya. Jangan hanya karena bayi ini laki-laki, kalian tidak mau merawatnya." Itu kata Hilda dulu, Ibu Adam, menasihati anak dan menantunya bahwa mau laki-laki atau perempuan sekalipun, keduanya sama-sama kado terindah yang telah Tuhan berikan.
Adam dan Mala mulai ikhlas dan menerima, ia menyayangi anak kedua mereka yang Adam beri nama Gevariel Alva Nugraha tersebut.
Dan beberapa bulan setelah anak kedua mereka lahir, Mala hamil lagi untuk yang ke tiga kalinya. Kalau kata orang Jawa sih kesundulan.
Mala merasa stres waktu itu, karena selain harus mengurus bayi mereka yang baru beberapa bulan itu, ia juga harus mengalami morning sickness karena hamil lagi. Sampai pada akhirnya, Adam menyuruh Mala untuk fokus kehamilannya yang ketiga itu, sementara bayi mereka akan ia percayakan pada baby sitter.
Adam dan Mala melupakan anak tengah mereka, apalagi setelah mengetahui bahwa kehamilan Mala yang ketiga ini mengandung anak perempuan, hal-hal yang sudah mereka tunggu sejak lama. Sejak saat itu, keduanya tak lagi peduli dengan bayi laki-laki yang baru berumur empat bulan itu dan menumpahkan penuh afeksi mereka pada calon gadis kecil mereka.
"Jadi, aku ini anak yang nggak diharapkan?" Tanya Gery dengan parau, cerita Mala barusan berhasil membuat hatinya terasa sakit. Setelah bertahun-tahun ia mencari jawaban, ternyata ini alasan Adam dan Mala tidak menganggapnya ada.
Hanya karena ia terlahir bukan sebagai anak perempuan, Adam dan Mala tidak mau menerima dan mengharapkannya. Memangnya Gery yang menentukan kelaminnya sendiri saat akan lahir ke dunia ini? Jelas tidak, dirinya bukan Tuhan!
Mengetahui fakta tersebut, Gery merasa sangat marah dan kecewa. Ia marah karena kedua orang tuanya tidak bisa menerima apa adanya, dan kecewa sebab tidak bisa membuat Adam juga Mala bahagia memiliki anak sepertinya.
Pantas saja selama ini Adam dan Mala memperlakukan dirinya berbeda, pantas saja keduanya sangat menyayangi Gara dan Hera. Karena memang, cinta Adam dan Mala sudah habis untuk kakak dan adiknya, tak ada sisa cinta baginya.
Mala mengalihkan perhatiannya melihat arah lain, terlalu sakit melihat tatapan penuh luka sang anak. "Maaf, karena memang itu alasannya. Selama ini, itu yang mau kamu tau 'kan? Itulah kebenarannya, karena Bunda nggak mengharapkan anak laki-laki lagi."
Mala cukup sadar, bahwa apa yang telah terlontar dari bibirnya sangat menyakiti hati Gery. Tapi mau bagaimana lagi? Gery sendiri yang mengingingkan penjelasan dirinya, dan ia pun tidak bisa menyembunyikan semua rahasia itu lebih lama lagi.
"Tapi aku ini anak Bunda, aku juga pernah ada di rahim Bunda kayak Gara sama Hera," lirih Gery, sekuat mungkin ia menahan air matanya agar tidak terlihat lemah di depan sang ibu.
"Benar, kamu memang anak Bunda. Tapi anak yang nggak Bunda harapkan." Mala menatap Gery yang kini menundukkan kepalanya, bisa ia lihat bahwa bahu itu bergetar.
"Lalu, apa yang harus aku lakuin supaya Bunda sama Ayah mengharapkan kehadiranku? Aku nggak pernah minta dilahirkan, aku juga nggak bisa minta sama Tuhan siapa keluargaku nantinya. Kalo bisa, aku bakal minta sama Tuhan, supaya dilahirkan di keluarga yang menerima aku apa adanya." Gery mengigit bibirnya kuat, tak peduli jika nanti akan terluka karena terlalu kuat menggigit. Hatinya lebih terluka dibanding itu.
Hati Mala tercubit saat mendengar kalimat terakhir yang Gery katakan. Namun hatinya sudah terlanjur beku."Kamu nggak perlu ngelakuin apapun, cukup kamu diam dan turuti semua perintah Bunda sama Ayah. Dan, Bunda juga mengharapkan kamu terlahir di keluarga yang menerima kamu apa adanya, karena di sini, bukan keluarga yang bisa menerimamu."
Gery diam, Mala juga sama. Semuanya sudah jelas, tidak ada lagi yang harus dibicarakan. Mala memutuskan untuk melenggang pergi tanpa pamit, meninggalkan Gery yang menatap kosong ke depan.
Wanita itu menarik napas sedalam-dalamnya, sebelum ia merasakan tangannya di tarik oleh seseorang, yang tak lain adalah Hera. "Kenapa sih Ra?" Tanyanya bingung, menurut saja saat sang anak membacanya menjauh dari kamar Gery.
Hera menatap sang ibu penuh selidik dam membuka suara, "apa maksud Bunda ngomong gitu ke Abang? Itu nggak bener 'kan?"
Mala cukup terkejut mendengar pertanyaan Hera, apakah pertanyaanyanh dimaksud adalah pembicaraannya dengan Gery barusan. "Kamu denger semuanya? Berarti udah jelas 'kan? Nggak ada yang perlu Bunda jelasin lagi."
"Kenapa Bunda sama Ayah lakuin itu ke Abang? Abang nggak salah apapun. Apa Bunda nggak mikirin perasaan Abang, gimana sakitnya Abang denger waktu itu semua dari Bunda? Aku nggak nyangka kalo Bunda sejahat itu." Untuk ini, Hera pun baru mengetahui jika ia tidak memguping pembicaraan sang ibu dan kakaknya lewat pintu kamar yang tak tertutup rapat tersebut.
Hera yang mendengarnya saja merasa sakit, bagaimana dengan Gery yang mengalami? Seberapa dalam luka yang kakaknya dapatkan dari fakta tersebut. Hera benar-benar tidak tahu bahwa alasan Adam dan Mala memperlakukan Gery berbeda hanya karena Gery terlahir tak sesuai harapan mereka.
Yang Hera tahu bahwa kedua orang tuanya bersikap seperti itu karena Gery nakal, sering membolos sekolah dan langganan di panggil BK.
"Mau bagaimana lagi Ra, dia memang nggak diharapkan."
Hera menggelengkan kepalanya mendengar penuturan Mala barusan, wanita yang sangat ia hormati dan ia kira baik tanpa celah tersebut ternyata begitu jahat kepada anaknya sendiri, "aku bener-bener nggak ngerti gimana jalan pikiran Bunda selama ini. Orang yang aku anggap Ibu terbaik di dunia ini, ternyata begitu jahat!" Cercanya.
"Bunda nggak jahat! Dia yang jahat karena nggak memenuhi ekspetasi Bunda! Salah dia terlahir nggak sesuai harapan!" Sangkal Mala, tidak setuju dengan ucapan Hera yang mengecapnya jahat.
"Memangnya Abang juga mau terlahir dari rahim Bunda!" Hera membalas lagi dengan suara yang keras, ini adalah pertama kalinya ia berdebat dengan sang ibu sampai seperti ini.
Mala terkesiap mendengar bentakan sang anak, sejak kapan si bungsu berani meninggikan ucapannya. "Berani kamu bentak Bunda!"
"Tentu aja aku berani! Aku nggak terima Abang aku dijahatin sama ibunya sendiri kayak gini!"
"HERA! BUNDA NGGAK JAHAT!"
Hera tersenyum miring, selain keras kepala, hati sang ibu sepertinya juga sudah keras, " terserah! Tapi aku harap Bunda cepet sadar atas segala perbuatan Bunda ke Abang selama ini, sebelum menyesal!"
Gadis itu berbalik badan meninggalkan sang ibu yang masih terpaku di tempatnya begitu saja. Hera menghapus air matanya kasar seraya berlari menuju kamarnya yang berada di lantai dua.
Ia merasa sangat bersalah pada Gery, disaat kakaknya hanya memiliki dirinya sebagai sandaran, ia justru pergi dan terang-terangan mengatakan malu karena kondisi sang kakak saat ini. Padahal Gery lumpuh seperti itu juga karena dirinya.
"Maaf Abang, maafin Hera."
[]
Lampung, 11082023
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓
FanfictionGery hidup dalam kesepian dan selalu diperlakukan berbeda oleh kedua orang tuanya. Namun, hidupnya semakin rumit ketika ia mengalami kecelakaan yang membuatnya lumpuh. Cacatnya semakin membuat orang menjauh. Namun, di tengah kesepian, seorang perawa...