4. Dihancurkan lagi

3.6K 107 1
                                    

Segala bujuk rayu dan wejangan telah Dewa keluarkan, namun usahanya tidak sia-sia, sebab akhirnya Gery menyerah untuk dimandikan. Gery menyangka Dewa pendiam, namun ternyata jauh dari dugaannya, Dewa sangat cerewet dan tak ada hentinya berbicara, membuatnya melupakan anggapan bahwa Dewa pemalu dan enggan bersuara.

"Ternyata lo berat juga, padahal badan lo kurus. Banyak dosanya nih pasti," Dewa bergurau, sesaat setelah berhasil mendudukkan Gery di kursi roda. Dia tidak menyangkal bahwa memandikan Gery memang melelahkan; butuh tenaga ekstra untuk beberapa kali mengangkat tubuh Gery.

Tapi Dewa bersikeras kuat, bukankah ia baru bekerja sehari? Ia tak boleh menyerah begitu saja. Lagipula, hanya saat memandikan, mengganti baju, dan berpindah tempat saja ia harus mengeluarkan tenaga ekstra; selebihnya, cukup duduk diam menemani Gery di kamar. Dewa menerima kenyataan ini, dan berjanji pada diri sendiri untuk selalu menjadi penopang semangat Gery agar tetap tabah menghadapi kehidupan ini.

Gery hanya mendengus kesal di tempatnya, terlalu malas menanggapi karena yang ada Dewa akan semakin berisik. Namun, Gery harus mengakui bahwa Dewa memang sangat telaten mengurus dirinya. Setiap kali hendak melakukan sesuatu untuk Gery, pria yang lebih tua darinya itu selalu mencari referensi di internet, memastikan jika apa yang dilakukannya benar. Usahanya untuk memastikan kenyamanan Gery sungguh luar biasa.

"Kapan jadwal lo ke rumah sakit lagi? Pasti tetap ada jadwal kontrol 'kan?" Tanya Dewa, kini ia tengah memakaikan kaos kaki di kedua tungkai Gery yang sudah mulai mengecil dan lunglai, agar tidak kedinginan.

Gery sendiri memakai baju lengan pendek dan celana pendek, yang membuat tampak jelas betapa memprihatinkan kondisi kakinya. Keberadaan urine bagnya yang diikat di betis membuat penampilannya semakin menyedihkan. Sebenarnya, ia ingin memakai celana panjang, namun Dewa berkata bahwa itu akan menyusahkan dan memakan waktu lama.

Dengan hati berat, Gery pasrah menahan malu demi kenyamanan yang diupayakan oleh Dewa, orang yang setia mendampingi dan merawatnya di masa sulit ini.

"Minggu," jawabnya dengan singkat. Gery tahu, setelah keadaannya seperti ini ia tidak akan pernah jauh-jauh dari kata rumah sakit. Selain merasakan sakit di punggungnya, ia kadang dadanya terasa sesak, begitu menyedihkan nasibnya saat ini.

"Oke-oke, harusnya lo itu diurus sama caretaker, tapi ya ini juga menguntungkan bagi gue. Gajinya di sini lumayan gede, ya kali gue kerja berat tapi gaji kecil." Tadinya sebelum memutuskan untuk bekerja di sini, Dewa sudah berencana akan bekerja di minimarket atau seperti di restoran gitu. Namun mendengar jika gaji yang ditawarkan lebih besar di sini, Dewa mengurungkan niatnya dan jadilah ia berada di sini.

Kata Mala juga tidak masalah jika ia belum ada pengalaman kerja, nanti juga seiring berjalannya waktu bisa sendiri katanya.

"Mata duitan," gumam Gery, namun masih bisa di dengar oleh Dewa yang duduk di kursi sebelahnya.

"Ya mau gimana lagi, kebutuhannya bukan buat gue doang. Tapi buat orang tua gue sama adek yang masukan SMA tahun ini."

Gery menoleh ke arah Dewa, ia sedikit tercubit saat mendengar penuturan Dewa barusan. "Orang tua lo memangnya nggak kerja?"

"Ya kerja, Bapak kerja tapi upahan gitu, sementara Ibu di rumah aja ngurus rumah. Tapi yang namanya kebutuhan pasti tiap hari ada aja yang harus dibeli dan dibayar, gue cuma mau berguna aja buat keduanya," jelas Dewa, jika ia tidak mementingkan keluarganya, Dewa bisa saja ambil pekerjaan di kampung dan tak payah ke sini. Tapi lagi-lagi, keluarga prioritas utamanya.

"Keluarga lo pasti hangat ya? Nggak mungkin lo yang saat ini bukan didikan mereka," lirih Gery, sikap tanggung jawab dan perhatian yang Dewa tunjukkan sudah mengartikan bahwa kedua orang tuanya memberinya memberinya dukungan yang baik.

Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang