26. Menunggu waktu

3.4K 307 7
                                    

Reza mengusap telinganya yang terasa panas, saat Dewa tak hentinya memarahi. Bagaimana tidak, ia membawa Gery tanpa izin kakaknya, dan berujung Gery kesakitan karena sakit punggungnya kambuh, sementara dirinya tidak bisa berbuat apa-apa.

"Kalo nggak tau apa-apa itu nggak usah nekat, lo masih selamet karena Bapak nggak tau lo bawa mobil, kalo tau udah abis lo. Kalo lo sendiri mah nggak papa, ini lo juga bawa orang Za, sampe kenapa-kenapa mau tanggung jawab." Saat menginjakkan kakinya di rumah, Dewa langsung mendapatkan aduan dari Viona, jika adik nakalnya ini nekat membawa mobil dengan Gery bersamanya. Belum lagi pulang-pulang, Reza kelimpungan karena tidak tahu harus apa saat Gery kambuh.

"Maaf Mas, gue cuma mau bawa jalan-jalan aja. Lagian mana gue tau kalo dia nggak kuat duduk lama-lama," sesalnya, ini juga tidak sepenuhnya salahnya 'kan? Gery juga kenapa diam saja saat diajak Reza dan tidak mengatakan bahwa cowok itu merasa sakit jika duduk dalam jangka panjang.

"Udah Wa, nggak usah dimarahin terus Reza-nya. Ini juga salah gue yang nggak bilang apa-apa sama dia. Gue juga udah nggak papa, ini udah biasa," timpal Gery. Tadi mereka hanya pergi keliling saja dan berhenti untuk membeli jajanan, anak itu juga memperkenalkan dimana dirinya sekolah dan bercerita banyak hal.

Jika saja punggungnya tidak berulah, sudah Gery pastikan jika Reza terus saja mengajaknya keliling ke sana kemari sampai waktu sore.

Dewa menghela napas kasar. "Tapi tetep aja, nih anak bisa bahayain lo. Gimana kalo lo sesek napas lagi kayak waktu itu?"

"Gue 'kan udah minta maaf Mas. Janji besok nggak ngulangin. Tapi jangan bilang ini ke Bapak ya? Nanti uang jajan gue dipotong."

"Iya, gue maafin. Ya udah sana lo pergi, biarin Gery istirahat," usir Dewa. Setiap hari, selalu saja ada tingkah Reza yang membuatnya mengusap dada seraya istighfar.

"Lain kali kita pergi bareng-bareng bertiga ya Bang, soalnya Bang Gery banyak duitnya. Gue dijajanin banyak tadi," celetuk Reza sebelum benar-benar menghilang dari sana. Sementara Dewa mendelik dan bersiap akan melempar sisir di tangannya.

"Marah terus, cepet tua lo Mas!"

Anak itu, Dewa hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia meletakkan sisir yang tadi di genggamnya, beralih menatap Gery yang masih terlihat pucat. "Maafin Adek gue Ger."

Gery hanya berdehem, sakit di punggungnya sudah tak senyeri tadi karena sudah meminum obat dan mendapatkan pertolongan dari Dewa. Justru saat ini ia merasa mengantuk dan memutuskan untuk tidur.

Dewa membiarkan Gery tertidur, setiap kali anak itu menutup matanya Dewa selalu di rundung salah. Sungguh, awalnya Dewa tidak tahu jika Gery adalah orang yang ia senggol waktu itu.

"Jangan sakit terus Ger, gue semakin bersalah dibuatnya. Maaf," gumamnya pelan, tangannya menyibak pelan poni yang sedikit lepek itu dari kening.

Sementara itu, Gery yang belum sepenuhnya tidur itu membatin dalam hati. Apa maksud dari ucapan Dewa barusan?

***

Sudah hampir satu bulan setelah Gery pergi bersama Dewa. Adam merasa ada yang kurang, rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Hera, anak bungsunya itu tidak mau pergi sekolah selama hampir sebulan ini, dan terus memaksa dirinya agar membawa Gery pulang ke rumah.

Berbagi bujukan sudah Adam lakukan, tapi Hera tetap kekeuh dalam pendiriannya, tak mau sekolah jika Gery belum pulang me rumah.

Pria itu memijit pelipisnya pelan, kepalanya terasa pening dengan masalah di perusahaan dan juga di rumah. Dirinya harus menyelesaikan masalah keduanya secara bersamaan.

"Hera, jangan kayak gini. Ayah minta maaf."

Tidak ada pergerakan dari sang empu, yang bergelung dalam selimutnya itu. Segitu besarkah sayang Hera pada Gery hingga anak itu merasa sangat kehilangan sosoknya.

"Coba bilang sama Ayah, kamu mau apa?" Tanya Adam sekali lagi, pria paruh baya itu tidak hentinya membujuk sang anak.

"Aku mau Abang!" Jawab Hera dengan cepat, tetap di posisinya tanpa ada niatan merubah posisinya yang masih tidur dibalik selimut dan membelakangi sang ayah.

"Ayah nggak bisa."

"Kenapa nggak bisa! Abang 'kan anak Ayah. Ayah seharusnya ada perjuangan buat bawa Abang ke pulang!" Hera merasa hampa, ia merasa dibohongi oleh Gery yang katanya masih tetap bisa berkomunikasi dengannya. Karena nyatanya, nomor sang kakak tidak aktif atau mungkin memblokir dirinya. Di media sosial pun sama, tidak ada jawaban dari sang kakak walau sudah ratusan kali ia mencoba untuk mengirimkan pesan berisi kerinduannya.

"Ra, itu sudah keputusan Abang mu. Biarkan dia mencari kebebasan yang dia mau. Ayah nggak bisa memaksa dia untuk kembali kalo dia nggak mau," jelas Adam.

Ucapan itu membuat Hera semakin marah, ia menyibakkan selimut yang membungkus dirinya dan menghadap sang ayah dengan tatapan penuh kecewa. "Keputusan Abang juga gara-gara Ayah 'kan? Kenapa Ayah tega banget sama Abang? Apa kalo waktu itu Hera nggak terlahir sebagai perempuan, Ayah juga akan melakukan hal yang sama kayak Abang? Kalo terlahir sebagai anak laki-laki itu salah, berarti Tuhan juga salah udah kasih kesempatan Ayah buat jadi manusia! Ayah nggak pantes dianggap manusia, hati nurani Ayah udah hilang bersamaan dengan obsesi Ayah dulu!"

Adam tertegun akan ucapan sang anak, apakah benar dirinya bukan manusia? Ia sudah melukai dan menyia-nyiakan anak tengahnya saat ini, tidak memikirkan seberapa besar luka yang anak itu dapatkan. Jadi, dirinya pantas disebut bukan manusia.

"Tolong kembalikan Kakakku Yah... Tolong," pinta Hera, menangis pilu sembari mengharapkan sang kakak pulang ke rumah.

Melihat sang anak menangis, Adam langsung membawa si bungsu ke pelukannya. Dalam hati, ia meminta maaf karena sudah membuat sang anak menangis.

***

"Kemaren gue tanya sama Bang Gery tentang itu Mas, ceritanya sama kayak yang lo alamin, sebelum dia jatuh ada yang nyenggol motornya. Terus kata lo, waktu lo tanya kejadiannya sama Pak Iwan yang kerja di sana, bagian lo nyenggol nggak diceritain. Kenapa bisa gitu ya Mas?" Ujar Reza, menerka-nerka apa yang sebenernya terjadi. Mengapa ada teka-teki yang terselubung dari kecelakaan tersebut.

"Gue juga bingung sama itu Za, entah karena memang sengaja ditutupi atau memang Pak Iwan tau kalo gue pelaku itu. Atau memang ada hubungan sama kakaknya Gery, gue nggak tau harus gimana." Dewa tak menyangka, jika kejadian itu membawanya jauh sampai sini. Mungkin memang ini cara Tuhan menghukumnya, agar ia tidak lari dari masalah.

"Kenapa ya, keluarga Bang Gery jahat banget. Kalo memang kakeknya tau Mas pelakunya, itu keterlaluan sih, sengaja nutupin pelaku yang udah buat cucunya celaka. Tapi ya untung juga buat Mas yang nggak diseret buat tanggung jawab."

Dewa menghela napas pelan, menyandarkan punggungnya pada sofa. Jika dulu ia takut di penjara, Dewa harus siap menjalani hukuman jika kebohongan terungkap.

Melihat Dewa yang tidak menjawab, Reza membuka suara kembali. "Mas, mau sampai kapan lo sembunyiin ini dari Bang Gery? Lo nggak mungkin terus kayak gini terus 'kan?"

Dewa kembali menghela napas. "Gue masih nunggu waktu yang tepat."

Tanpa mereka sadari, jika orang yang sedari tadi menjadi topik pembicaraan mereka, mendengar semua percakapan tersebut.

[]

Lampung, 26082023

Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang