32. Special part: Jika dulu seperti ini

5.6K 354 15
                                    

Kernyitan di dahinya terlihat, tengah berusaha membuka matanya yang terasa berat. Ia mengerang tertahan, karena harus merasakan tubuhnya yang terasa sangat sakit.

Ingin berteriak sekencang, sebagai pelampiasan rasa sakit, tapi tidak bisa saat merasakan tenggorokannya sangat sakit, ada selang besar yang menyumpal mulutnya.

Gery, tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya, yang ia ingat dirinya menabrak truk dari arah berlawanan dan berakhir kehilangan kesadaran. Apakah tubuhnya terluka parah, karena untuk menggerakkan jari tangannys saja ia tidak bisa.

Air matanya menetes dari sudut matanya yang masih tertutup, ia sangat frustasi dengan apa yang tengah terjadi. Ia menangis dalam diam, berharap seseorang datang untuk menyelamatkannya.

"Adek, bisa denger suara?"

Gery dapat mendengar suara tersebut, bersamaan suara berisik entah dari alat mana, yang pasti itu berasal dari samping tubuhnya. Ingin menjawab, mengangguk pun tidak bisa sebab lehernya tertahan cervical collar.

"Ini Bunda Nak, buka matanya pelan-pelan."

Kini, Gery bisa merasakan suara sang ibu di dekat telinganya. Ia juga bisa merasakan bahwa tangan sang ibu mengelus rambutnya dengan lembut. Dengan paksaan, Gery mencoba untuk membuka matanya walau sedikit, samar-samar ia bisa melihat orang-orang tengah mengelilinginya, senyum bahagia dan haru tersemat pada bibir mereka.

"Iya, seperti itu. Kita semua menunggu kamu kembali. Jangan nangis lagi, Bunda tau kamu kuat"

***

Seminggu sejak dirinya sadar, Gery sudah bisa merespon ucapan orang-orang walau dirinya hanya bisa mengangguk. Penyangga di lehernya belum di lepas, begitu pula dengan selang oksigen yang masih betah berada di bawah hidung bangirnya.

"B-bunda?" Suara seraknya terdengar, mengalihkan perhatian wanita yang sibuk mengelap tubuhnya menggunakan wastlap.

"Iya Nak, butuh apa? Atau ada yang sakit?" Tanyanya, ia menghentikan sejenak kegiatannya agar bisa menanggapi perkataan putra keduanya.

Gery diam tidak bersuara, sedangkan Mala hanya tersenyum tipis dan kembali pada kegiatannya. Kata dokter, Gery masih kesulitan untuk berbicara, jadi keluarganya harap memaklumi.

Gery menatap langit-langit kamar rawatnya, ia sudah tahu apa yang terjadi pada tubuhnya. Cedera tulang belakang, itu yang ia tahu saat dokter menjelaskan kondisinya. Ia mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah, dan sempat melakukan operasi di punggungnya yang patah.

Ia tidak memberikan respon lebih kecuali diam saat dokter mengatakan dirinya lumpuh, Gery merasa ia sudah pernah menghadapi ini sebelumnya. Orang-orangnya terdekatnya sampai takut jika mental anak itu tertekan karena mendengar berita buruk tentang kondisinya. Tapi anggapan mereka salah, Gery baik-baik dan anak itu menerima kelumpuhannya dengan iklhas. Walau tentu saja mereka tahu, jika diam-diam Gery merasa kacau.

"Kamu tidur lama banget, Bunda sampe takut kamu nggak bakal buka mata lagi. Tapi alhamdulilah, Bunda masih diberi amanah untuk merawat kamu," ujar Mala dengan semyum di wajah cantiknya. Setelah ia selesai membersihkan tubuh sang anak, wanita itu beralih menyisir rambut Gery yang sudah gondrong.

"Beneran?" Katanya menanggapi ucapan sang Ibu.

"Iya, Hera sampe nggak mau jenguk kamu sebelum kamu bangun. Ternyata ancaman adek kamu manjur juga buat kamu bangun." Mala tertawa kecil, membuat Gery juga melakukan hal yang sama.

"Ayah, mana?" Tanyanya lagi, suaranya masih terdengar serak.

"Ayah masih ada kerjaan, nanti sore ke sini kok. Pakde Adi sama Makde Viona juga nanti ke sini, bareng Dewa sama Reza, buat jenguk kamu."

Cahaya Di Antara Bayangan [End]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang