Jangan lupa tinggalkan jejak, bestieeehh
Happy reading 💙
****
Satu menit dua puluh satu detik.
Satu menit dua puluh dua detik.
Satu menit dua puluh tiga detik.
Satu menit-
"Dah, selesai."
Bersamaan dengan rubik yang telah jadi, Rahma memencet pause di stopwach ponsel. Rekor terbaru hari ini, 1 menit lebih 23 detik. Sepuluh detik lebih cepat dibandingkan kemarin saat Aluna mencoba sendiri.
Setelah berusaha mati-matian mempelajari rumus, akhirnya Aluna bisa memainkan rubik. Satu minggu cukup untuk memecahkan waktu tak sampai satu menit setengah. Pencapaian yang membanggakan bagi dirinya. Jarang ada yang bisa bermain rubik. Makanya Aluna akan terus belajar agar semakin pro.
"Widiihh, keren!" puji Rahma.
Tak kalah kagum, Teresa geleng-geleng kepala. "Ajarin gue, dong!"
"Susah kalau gue yang ngajarin, baru bisa segitu. Kalau lo bener-bener mau latihan, nanti gue pinjemin buku sama ngasih rekomendasi video di youtube yang gampang dipahami. Dijamin langsung bisa!"
"Tapi gue males." Teresa memanyunkan bibirnya. "Nggak jadi, deh."
"Yeuh, dasar. Ma, acakin lagi, dong!"
Dengan semangat Rahma mengacak rubik itu. Membuat sesusah mungkin agar Aluna tak bisa. Sayangnya, mau dibuat bagaimanapun Aluna tetap bisa, meski melebihi satu setengah menit. Tak sampai dua menit.
"Capek gue ngacakin terus tapi lo gampang banget nyatuin warnanya."
Aluna tertawa, meraih rubik dan mengacak sendiri. Lalu menyatukan kembali. Seperti tebakan, tak sampai satu setengah menit sudah jadi. Terlalu mudah.
"Laper gue, ke kantin lagi, yuk!" ajak Rahma.
"Gue udah ke kantin tadi sama Luna," jawab Teresa, masih setia memperhatikan Aluna.
"Ih, nggak ngajak-ngajak." Rahma cemberut, pura-pura ngambek padahal tidak bisa.
"Lagian lo ngapain nggak ke kantin sama teman sekelas lo? Setiap istirahat ke sini terus. Iya, iya, paham. Kan ada doi."
Tak sepenuhnya salah ucapan Teresa, tapi tak sepenuhnya benar juga. "Males, tahu! Anak kelas nggak asik. Kalau boleh milih, mending gue sekelas sama kalian yang udah jelas akrab dari kelas 10. Ah, andai kita bisa balik ke kelas 10 lagi."
"Ogah!" Aluna dengan cepat menyahut, membuat dua temannya tertawa.
"Gue masih heran, deh, Lun. Kenapa dulu pas kelas 10 lo suka banget nyari masalah? Entah bolos tiga hari, bolos pelajaran matematika, nggak ikut upacara, tugas jarang dikerjain ...." Rahma mengabsen satu persatu keburukan Aluna saat masih kelas 10 semester 1. Masa-masa yang ingin sekali Aluna perbaiki. "...terus apa lagi, Res?"
Teresa berpikir. "Oh, iya! Yang paling gue inget si pas bolos pramuka terus dihukum jalan jongkok keliling lapangan. Sumpah, kalau gue jadi lo, Lun, udah nggak masuk sebulan. Apalagi habis itu banyak murid yang cap lo sebagai murid bandel."
Aluna memutar bola matanya. "Gue nggak peduli omongan orang. Yang jelas, sekarang gue udah berubah."
Rasanya, mengungkit masa-masa suram Aluna memang menjadi hal yang menyenangkan bagi Rahma dan Teresa.
"Gue juga masih heran, kenapa lo tiba-tiba langsung jadi murid rajin pas semester 2? Siapa, sih, yang nggak kaget lihat lo pas awal masuk semester 2 pakai seragam lengkap? Mana pakai sepatu hitam, lagi. Padahal biasanya pake warna biru." Rahma geleng-geleng. "Pas itu gue berasa lihat lo di dunia lain."

KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Untuk Bulan
Teen Fiction"Bintang emang keren, bisa memancarkan cahaya sendiri, tapi gue suka Bulan. Lo tau? Meski Bulan punya kekurangan, dia tetap berusaha buat menerangi bumi dengan bantuan Matahari. Gue bakalan jadi Matahari buat lo, Aluna." . . . . Cover by pinterest.