21. Bintang

108 30 6
                                        

Jangan lupa tinggalkan jejak

****

Aluna menghela nafas saat tak mendapati bahan makanan di kulkas. Anjani dan Samudera belum pulang sejak pagi. Keyla juga sama. Tadi Bayu sempat masak, tapi sudah habis karena Aluna malah tidur. Padahal sudah dibangunkan, jadilah dia sekarang kelaparan. Mungkin, dia terpaksa makan mie instan. Tak ada pilihan lain. Dan keberuntungan sedang tidak berpihak padanya. Stok mie instan di lemari ikut habis. Padahal, hanya Aluna yang suka makan mie instan. Seingatnya, minggu lalu dia sudah membeli banyak. Mungkin di makan oleh yang lain.

Berdecak sebal, Aluna menuju kamar Bayu, minta diantar ke minimarket terdekat untuk membeli beberapa makanan. Perutnya tidak bisa dikompromi, bisa-bisa nanti tidak bisa tidur kalau tidak makan.

Pergerakan tangannya terhenti saat ingin mengetuk pintu kamar Bayu. Melihat jam tangan, sudah menunjukkan pukul 9 malam kurang. Pasti Bayu sudah tidur. Terpaksa dia pergi sendiri. Oke, tidak apa-apa. Aluna bukan gadis manja yang kemana-mana minta diantar. Selama bisa sendiri, akan dia lakukan sendiri.

Sebelum pergi, Aluna memakai hoodie agar tidak kedinginan. Membawa dompet kecil berwarna biru dan disimpan di saku. Niatnya ingin pamit pada Samudera, tapi pasti papanya sedang sibuk dengan laptop. Jadi, Aluna langsung pergi.

Malam ini cukup terang. Bulan dan bintang saling menghiasi langit. Mungkin, hanya dirinya yang masih di luar. Kebanyakan sudah berada di rumah. Kecuali beberapa yang memiliki kesibukan.

Beruntung karena jarak rumah ke minimarket cukup dekat. Hanya ada beberapa pengunjung. Kebetulan minimarket itu buka 24 jam, jadi Aluna tak perlu terburu-buru.

Seperti biasa, setelah membeli mie instan, Aluna akan membeli beberapa cemilan. Juga susu kotak, tidak boleh lupa. Tak sampai sepuluh menit, dia sudah keluar dengan satu kresek sedang belanjaan. Niatnya yang ingin langsung pulang lenyap begitu saja kala melihat penjual martabak.

“Malem-malem gini makan martabak manis kayaknya asik.” Aluna berjalan menghampiri penjual martabak. “Mas, martabak manis satu. Yang full cokelat, ya!”

“Oke, ditunggu, ya!” jawab penjualnya sambil tersenyum. Sial, manis sekali, melebihi manisnya martabak yang akan Aluna beli.

Mungkin alasan banyak yang beli, selain karena memang rasanya enak, juga karena penjualnya ganteng. Walaupun ganteng, Aluna tidak akan jatuh cinta. Hanya sekedar mengagumi. Karena cintanya hanya untuk—

Maaf, Aluna lupa jika dia tidak punya crush saat ini. Oke, lupakan saja.

Sambil menunggu, Aluna duduk di kursi yang disediakan. Mengamati cara pembuatan martabak dengan fokus, sampai tak sadar seseorang duduk di sebelahnya.

“Ilernya netes, tuh.”

Mendengar ucapan itu, Aluna reflek mengelap sudut bibir. Alhasil, seseorang di sampingnya tertawa. “Ish, El! Bikin panik aja!” Aluna memanyunkan bibirnya.

Tawa Elio mereda. “Ngapain keluar malam-malam sendiri? Dingin, loh!”

“Gue udah pakai jaket, jadi nggak bakalan kedinginan.”

“Tapi tetep nembus. Malem ini nggak tau kenapa lagi dingin banget.”

“Udah tau dingin, kenapa masih keluar?”

Pandangan Elio beralih pada angkringan yang tak jauh dari tempat mereka berdua. “Lagi nongkrong sama temen.”

Aluna mengikuti arah pandang Elio. “Gue baru tahu kalau ada angkringan di sana.”

“Baru dua minggu lalu. Kebetulan, yang punya pamannya teman gue. Jadi, kami berinisiatif jadi pelanggan setia.”

Aluna terkekeh. “Gitu? Terus, kenapa malah ke sini? Mau beli martabak juga?”

Matahari Untuk BulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang