Pencet bintang di bawah dulu sabi kali
Ada typo tandai, ygy..
Happy reading 🙌****
Setiap bersama Samudera, waktu Aluna selalu habis begitu cepat. Baru rasanya kemarin Papanya pulang, besok sudah harus berangkat lagi. Maka dari itu, Aluna habiskan malam ini bersama Papanya. Takut besok tidak sempat ikut mengantar ke bandara.
Hanya ada mereka di ruang tv. Samudera menemani Aluna yang sedang menggambar sesuatu. Dibiarkan tv menyala, menayangkan pertandingan sepak bola liga Eropa. Sudah cukup larut, tapi Aluna belum mau tidur. Padahal, Samudera sudah menyuruh anaknya untuk kembali ke kamar, takut besok kesiangan. Dengan alasan akan memasang alarm besok agar tidak kesiangan, Samudera tak bisa menolak.
Memberikan sedikit warna gelap di baju yang dia gambar, dan selesai. Aluna mengamati gambar yang dia buat sejak beberapa hari lalu. Agak lama karena terhalang kesibukan lain.
"Dah selesai." Yang semula duduk di karpet lantai, kini Aluna duduk di sofa. Tepat di samping Samudera. "Bagus, nggak?" Aluna menunjukkan gambar dirinya bersama Samudera dulu saat jalan-jalan ke pantai.
Samudera mengalihkan perhatian dari layar tv, memperhatikan gambar Aluna. "Gambar Luna selalu bagus."
Pujian yang membuat Aluna begitu senang. Tentu saja Samudera berkata jujur. Gambar Aluna memang selalu memuaskan hasilnya. "Ini nanti Papa bawa, ya! Biar Papa ingat buat pulang, Luna nggak mau Papa terlalu betah di sana."
Tangan Samudera mengusap kepala Aluna. "Papa pasti selalu ingat kalian. Mama, Luna, Stella, Keyla, dan Bayu. Kalian harta Papa yang paling berharga." Lalu membawa Aluna ke pelukannya.
Tanpa ragu Aluna membalas pelukan itu. "Maafin Luna, ya, Pa. Kalau Luna belum bisa jadi anak yang bikin Papa bangga."
"Kata siapa? Luna pikir, piala di kamar Luna yang berjejer itu nggak bikin Papa bangga?"
"Tapi 'kan, itu bukan karena menang olimpiade kayak Stella. Itu semua piala dari Luna menggambar."
"Sama aja. Kalian sama-sama buat Papa bangga, dengan cara yang berbeda."
Sangat berbeda dengan Anjani, bukan? Hal yang membuat Aluna semakin menyayangi Samudera. Aluna berjanji, akan berusaha membuat Papanya semakin bangga.
Pelukan terlepas, Aluna mengusap air mata yang entah sejak kapan turun. "Luna mau nanya boleh?"
"Boleh, mau nanya apa?"
Punggungnya disandarkan ke sofa, dengan pandangan tertuju pada layar kaca yang baru saja menampilkan pemain bola berselebrasi usai mencetak gol. "Cita-cita Papa dulu apa?"
"Cita-cita?" Tampak Samudera berpikir. "Dulu, Papa mau jadi pemain bola. Kayak yang lagi Papa tonton."
Tertarik, Aluna merubah posisi duduk menjadi menghadap Samudera. "Terus?"
"Papa udah berusaha semaksimal mungkin. Bahkan, sampai pernah ikut tim yang cukup terkenal. Meski waktu itu masih jadi pemain cadangan. Sayangnya, pas Papa debut, malah cidera. Sejak hari itu, Oma kamu ngelarang Papa buat main bola lagi. Nggak bisa nolak, akhirnya Papa fokus belajar. Cita-cita Papa juga ganti jadi dokter. Dan lagi, Tuhan berkehendak lain. Sebelum Oma meninggal, Oma jodohin Mama sama Papa, dan berakhir ngurus perusahaan yang udah dibangun keluarga Mama kamu dari dulu."
Dari awal Samudera menjelaskan, Aluna tak berkedip. Ternyata tidak semulus yang dia bayangkan. "Apa Papa bersyukur sama yang Papa dapat sekarang?"
"Tentu! Papa yakin, apa yang Tuhan kasih adalah yang terbaik." Samudera memang selalu membuat Aluna terkesan. "Kalau Luna, cita-citanya apa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Untuk Bulan
Fiksi Remaja"Bintang emang keren, bisa memancarkan cahaya sendiri, tapi gue suka Bulan. Lo tau? Meski Bulan punya kekurangan, dia tetap berusaha buat menerangi bumi dengan bantuan Matahari. Gue bakalan jadi Matahari buat lo, Aluna." . . . . Cover by pinterest.